NovelToon NovelToon
CEO Cantik Vs Satpam Tampan

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Tunangan Sejak Bayi / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Pengawal
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: MakNov Gabut

Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

Bab 9

Sore mulai berubah menjadi malam ketika lampu-lampu taman vila menyala, memantulkan cahaya hangat di antara pepohonan dan meja-meja panjang yang sudah tertata rapi. Udara dingin khas daerah pegunungan terasa menenangkan, bercampur dengan aroma gurih daging dan sosis yang mulai dipanggang. Malam itu dua keluarga berkumpul, menikmati pesta barbeku sederhana namun penuh keakraban.

Aryo tampak sibuk sejak tadi. Kaos hitamnya sudah sedikit basah oleh keringat, tapi dia tetap bersemangat. Tangannya cekatan membalik sosis, memoles daging dengan saus, dan sesekali meniupkan asap dari panggangan agar tidak mengenai wajah Meliana yang duduk agak jauh. Suara percikan lemak di atas bara membuat suasana terasa lebih hidup.

“Pangganganmu oke juga, Aryo,” puji Pak Kamal, dengan nada kagum. Lelaki paruh baya itu menatap puas hasil panggangan yang matang sempurna. Dari sisi lain meja, ayah dan ibu Thania Hari ikut mengangguk setuju.

“Mantap ini, aromanya sedap sekali,” timpal ayah Thania, menatap daging yang tampak juicy.

Obrolan ringan pun mengalir antara orang tua mereka, sebagian besar tentang bisnis dan prospek usaha masing-masing. Sesekali mereka tertawa kecil, membahas hal-hal ringan seperti cuaca di Kota J yang makin tak menentu belakangan ini. Sementara itu, Aryo mendengarkan sambil lalu, lebih fokus pada tugasnya menjaga suhu bara agar tetap stabil.

Ketika semua sudah matang, Aryo menata sosis dan daging panggang di atas piring besar, lalu membawanya dengan hati-hati ke meja makan. “Silakan, Bu CEO,” katanya sambil tersenyum menggoda, menyajikannya ke Meliana dan Thania.

Meliana hanya mendengus pelan, menatapnya datar.

Sebaliknya, Thania langsung bertepuk tangan kecil sambil tersenyum cerah. “Manis sekali, Aryo,” katanya.

Meliana memalingkan wajah pura-pura tak tertarik, tapi matanya sempat melirik sosis yang kelihatan menggoda.

“Coba deh, enak banget ini. Matangnya pas. Rugi kalau gak nyoba,” bujuk Thania dengan gaya khasnya yang centil.

“Mending aku manggang sendiri,” jawab Meliana ketus, bangkit sambil mengambil sosis dan daging mentah. Ia berjalan ke panggangan dengan langkah tegap — tapi baru beberapa detik kemudian terdengar teriakan kecil.

“Aduh!”

Aryo segera menoleh. Rupanya jari Meliana tersentuh bagian besi panas pemanggang. Tanpa berpikir panjang, Aryo buru-buru mengambil es batu dari ember minuman dan menghampiri. “Sini, aku bantu.”

Namun begitu dia berusaha memegang tangan Meliana, gadis itu malah menariknya cepat-cepat. “Jorok!” bentaknya refleks, matanya melotot.

Aryo hanya mengangkat alis, sedikit tersenyum. “Oke, oke, maaf. Tapi kamu harus tempelkan es batu ini dulu biar gak tambah parah.”

“Iya, iya, sok tahu banget,” jawab Meliana masih kesal, tapi diam-diam menuruti sarannya.

Di sisi lain meja, Thania yang memperhatikan adegan itu langsung menutup mulut menahan tawa. “Ih, kenapa sih gak mau jarinya diisap? Enak lho, geli-geli basah,” katanya menggoda.

Meliana langsung memelototinya. “Jorok!”

“Lho, aku cuma bercanda,” Thania terkekeh. “Kamu tuh cocok banget sama Aryo.”

“Ah, dia kan jatahnya kamu,” Thania menambahkan cepat sambil terkekeh. “Aku mah gampang.”

Canda tawa kecil terdengar di antara mereka. Meski awalnya canggung, suasana mulai terasa hangat dan cair.

---

Setelah pesta barbeku selesai, ketiganya kembali ke vila. Malam sudah benar-benar turun. Lampu-lampu vila menyorot lembut ke arah taman. Udara dingin mulai menusuk kulit. Pak Kamal ikut sebentar, ingin melihat kondisi vila anaknya. Di ruang utama, televisi layar lebar menyala, sementara meja biliar di sudut ruangan tampak mengilap seperti baru dibersihkan.

“Tempat kalian bagus juga,” komentar Pak Kamal. “Jaga mereka berdua ya, Aryo.”

“Siap, Pak,” jawab Aryo dengan hormat.

Begitu Pak Kamal dan istrinya pergi, Thania langsung memutar saluran musik dan mulai berjoget. Tubuhnya lentur mengikuti irama, sementara Meliana hanya duduk di sofa, memegangi jarinya yang masih perih.

Aryo tanpa sadar menatap Thania, dan Meliana yang menyadarinya langsung mengambil bantal kecil dan melemparkannya ke arah lelaki itu. “Keasyikan ya kamu!”

Aryo mengangkat alis, tersenyum tolol. “Aku cuma lihat-lihat doang, kok.”

“Ayolah Meliana, ikut joget. Masa aku sendirian di sini,” rayu Thania, mengulurkan tangan.

Meliana menggeleng keras. “Enggak, makasih.”

“Oh, aku tahu! Gimana kalau kita ke diskotik aja? Bosan ih di sini terus. Capek pura-pura santun di depan keluarga,” usul Thania, matanya berbinar.

“Pergi gih sama Aryo sana,” jawab Meliana, nada suaranya ketus tapi ada sedikit nada iri yang tak disadarinya sendiri.

Thania mendekat dan berbisik nakal, “Ooo… ada yang ngambek nih. Gak seru kalau gak ada kamu, Mel. Yuk, kita bertiga aja. Joget bareng. Aryo boleh liatin dari jauh. Atau kalau dia mau ikutan, ya gak apa-apa juga sih.”

Meliana menatapnya tajam. Ia ingat malam-malam buruk di masa lalu, di mana rasa takut membuatnya sulit percaya pada lelaki mana pun. “Kalau kamu takut dan kenapa-kenapa, aku yang tanggung jawab,” ujar Thania lembut, seolah tahu apa yang berkecamuk di benak temannya.

Setelah berpikir sebentar, Meliana akhirnya menyerah. “Oke deh, tapi jangan pulang terlalu larut.”

“Asyik!” seru Thania. “Tapi ke mana nih?”

Aryo mengecek ponselnya. “Ke sini aja, namanya Havana Club. Ramai tapi aman.”

Meliana langsung merasa waswas. “Havana” kedengaran seperti tempat yang terlalu bebas. Dia cepat berbisik ke Thania.

“Ke Nirwana Club aja yuk. Lebih dekat.”

Thania mengangguk, memahami ketakutan temannya. “Oke, Nirwana aja.”

Mereka pun berangkat. Mobil milik Thania, tapi Aryo yang menyetir. Sepanjang jalan, suasana terasa ringan. Musik dari radio mengalun lembut, dan Thania tetap saja tidak bisa diam. Ia berdansa kecil di kursinya, membuat Meliana akhirnya tertawa juga.

Sampai di diskotik, lampu warna-warni berkilat memantul ke wajah mereka. Musik berdentum keras, membuat dada bergetar. Thania langsung menuju bar, memesan tiga botol bir dingin.

“Hei, Aryo, dudukmu agak jauhan ya,” kata Meliana, masih waspada.

“Eh, kenapa jauh-jauh?” potong Thania cepat. “Sini duduk di sampingku aja, Aryo.”

Meliana melotot. Thania malah nyengir. “Yaudah deh, kita ikuti permintaan Bu CEO,” katanya sambil menepuk kursi di sebelahnya.

Beberapa saat kemudian, Thania menatap lantai dansa yang mulai penuh. “Yuk, kita turun! Berdansa! Hidup cuma sekali. Persetan sama perjodohan!”

Mau tak mau, Meliana ikut terseret suasana. Musik cepat membuat mereka melupakan sejenak segala beban pikiran. Aryo hanya duduk memperhatikan, matanya tenang tapi waspada. Ia menjaga agar tak ada pria iseng yang mendekat.

Namun kecurigaan Meliana belum hilang. Ia sesekali melirik Aryo, seolah takut lelaki itu menaruh sesuatu di minumannya. Nyatanya, Aryo tetap duduk diam sambil menatap mereka.

“Ajaklah dia berdansa,” kata Thania berteriak di tengah musik.

Meliana menatapnya, bingung. Musik tiba-tiba melambat — tempo berubah jadi lembut. Thania langsung mengambil inisiatif, menarik tangan Aryo ke lantai dansa, lalu mendorongnya ke arah Meliana.

“Udah, kalian berdua aja. Aku nonton dari bar!” katanya sambil tertawa.

Aryo mengulurkan tangan. Meliana menatapnya ragu. “Kamu gak naruh pil atau apapun di minuman kami, kan?”

“Hei, aku bukan pemerkosa,” jawab Aryo, menatapnya serius. “Kalau gak percaya, silakan periksa.”

Meliana benar-benar melakukannya. Tangannya memeriksa jaket, kemeja, hingga kantong celana Aryo. Saat tangannya tanpa sengaja menyentuh bagian sensitif, Aryo berdeham pelan. Wajah Meliana langsung merah padam.

Dari jauh, Thania menjerit sambil tertawa. “Wah, langsung grepe-grepe, dasar Meliana!”

Isi kantong Aryo kosong — cuma dompet dan beberapa lembar uang. “Lihat? Aman, kan?” katanya tenang.

“Aku akan terus mengawasimu,” bisik Meliana dingin.

“Aku juga,” jawab Aryo lembut. “Itu tugas seorang tunangan, kan?”

“Hei! Kita batal ya tunangannya!” sergah Meliana, mendorong dadanya.

“Iya, iya, aku tahu. Aku cuma anjing penjaga,” sahutnya, masih setengah bercanda.

Meliana mencubit perutnya, tapi matanya berkaca-kaca.

Musik melambat lebih dalam. Tanpa sadar, kepala Meliana bersandar di dada Aryo. Aroma tubuh lelaki itu menyeruak — campuran sabun dan asap barbeku.

“Kamu harum,” bisik Aryo tulus.

Meliana langsung sadar dan mendorongnya. “Ambil kesempatan kamu, ya?”

“Aku cuma memuji.”

“Trik penjahat kelamin!” bentaknya keras.

Ia pergi meninggalkan Aryo di tengah lantai dansa. Lelaki itu hanya diam, mematung sesaat, lalu kembali ke bar.

“Kalian mesra banget dansanya,” goda Thania begitu Meliana duduk.

“Dasar oportunis dia itu,” sahut Meliana, masih menahan malu. Ia memesan minuman baru, tak mau menyentuh gelas yang tadi.

“Bukannya kamu yang grepe-grepe dia?” Thania meledek lagi.

“Ih! Itu inspeksi keamanan, tahu!”

“Tapi ketemu pilnya?”

Meliana menggeleng.

“Nah kan. Aku bilang juga, Aryo itu baik.”

Meliana terdiam. Hatinya campur aduk. Ia benci mengakuinya, tapi ada sesuatu pada Aryo yang membuatnya sulit untuk tidak memikirkannya.

Tak lama kemudian, seorang pria tinggi besar mendekati Thania. “Hai, boleh kenalan?” katanya genit.

“Apaan sih,” Thania mendengus.

“Wah, galak banget. Aku suka yang galak,” jawab pria itu.

Meliana berdiri cepat. “Enyah kau dari sini!”

Pria itu malah tertawa. “Hot juga kamu.”

Thania akhirnya bangkit, menatapnya tajam. “Pergi, atau mau dihajar kakak iparku?”

Aryo nyaris tersedak birnya. “Aku?”

“Ya, kamu,” jawab Thania, tegas.

Pria itu menatap meremehkan. “Ah, pengecut.”

Aryo menatapnya dingin, tapi tetap tenang. “Aku gak punya waktu buat meladeni orang mabuk. Ayo, kita keluar dari sini.”

Thania tampak tak terima. “Hajar dia, Aryo. Dia sudah menghina kamu.”

Meliana diam. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang menusuknya — tentang harga diri, tentang keberanian, tentang batas di antara cinta dan tanggung jawab.

Aryo mengepalkan tangannya pelan, matanya menatap pria itu dengan tenang.

Bersambung.

1
Edana
Gak bisa tidur sampai selesai baca ini cerita, tapi gak rugi sama sekali.
Hiro Takachiho
Aku akan selalu mendukungmu, teruslah menulis author! ❤️
Oscar François de Jarjayes
Serius, ceritanya bikin aku baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!