NovelToon NovelToon
Shadow Of The Seven Sins

Shadow Of The Seven Sins

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Anak Yatim Piatu / Epik Petualangan / Dunia Lain
Popularitas:160
Nilai: 5
Nama Author: Bisquit D Kairifz

Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.

suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.

apa yang menanti anzu didalam portal?

ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.

ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kebetulan?

Pagi tiba di kota Lambergeth.

Kicauan burung menggema di udara, menandai datangnya hari baru. Matahari perlahan memanjat di balik atap-atap rumah bata merah. Para warga mulai bersiap: ada yang menuju ladang, ada pula yang mendorong gerobak ke pasar untuk berjualan. Kehidupan dimulai seperti biasa—tenang, hangat, dan penuh semangat.

Di salah satu penginapan sederhana di pinggir kota, Anzu sudah terbangun sejak fajar. Ia berdiri di halaman belakang, melakukan latihan fisik untuk meningkatkan kekuatan dan staminanya. Keringat menetes dari pelipisnya, membasahi tanah di bawah kakinya.

“Huft... huft...”

Napasnya berat, tapi sorot matanya tajam dan fokus.

Setelah berlatih cukup lama, Anzu duduk di tepi sumur untuk mengatur napasnya, lalu bergegas mandi. Sementara itu, di dalam kamar, Alfred baru saja terbangun. Rambutnya acak-acakan, matanya masih sayu.

“Hoaaam... Anzu?” gumamnya sambil menguap. Ia memandang sekeliling kamar yang kosong. “Hah? Di mana dia?”

Ekspresinya berubah panik.

“Jangan-jangan... Anzu pergi duluan dan meninggalkanku!?”

Tanpa pikir panjang, Alfred meloncat dari tempat tidur dan berlari ke arah pintu. Namun begitu ia membukanya—

...Krrriiitt...

“Hey, kau mau ke mana?” suara Anzu terdengar dari luar.

Alfred membeku. Begitu melihat Anzu berdiri di depan pintu, tubuhnya langsung melompat dan menerjang.

“ANZUUUU!!”

Ia memeluk Anzu dengan mata berkaca-kaca.

“Hei! Apa-apaan sih kau ini!? Lepaskan aku!” seru Anzu, berusaha melepaskan diri.

“Huhuhu... kukira kau pergi meninggalkan aku...” Alfred merengek seperti anak kecil.

Anzu menghela napas panjang.

“Dasar bodoh! Makanya bangun pagi-pagi! Sekarang pergi mandi sana!”

“Baik, baik~!” Alfred menjawab sambil berlari kecil ke kamar mandi.

---

Beberapa saat kemudian, setelah Alfred selesai mandi dan berpakaian, keduanya meninggalkan penginapan. Mereka mengenakan jubah hitam panjang untuk menyamarkan identitas, sebab mereka tahu—ksatria kerajaan Celestia pasti masih mencari mereka.

Sebelum keluar, Anzu menatap Alfred dengan serius.

“Kau ingat kan, nama samaran kita?”

Alfred menepuk dadanya bangga. “Tentu! Namamu ‘Alex’, dan aku ‘Harry’!”

“Bagus. Nama ini hanya sementara. Begitu kita cukup jauh dari wilayah Celestia, kita tak perlu menyamar lagi.”

Alfred mengangguk mantap.

---

Mereka tiba di sebuah kedai makan kecil di tepi jalan utama. Bau sup panas dan roti panggang menyambut dari arah dapur. Anzu dan Alfred duduk di sudut ruangan, memesan makanan sambil diam-diam mendengarkan percakapan para pelanggan lain.

“Hey, kau sudah dengar?” kata seorang pria paruh baya di meja sebelah. “Katanya kemarin ada tujuh kesatria berpakaian putih datang ke kota ini.”

“Tujuh ksatria putih? Pasti dari kerajaan Celestia,” jawab kawannya.

“Celestia? Kenapa mereka jauh-jauh datang ke Lambergeth?”

“Aku dengar, mereka mencari seorang buronan yang diincar langsung oleh Raja Celestia. Hadiahnya sekantung besar emas kalau berhasil menangkapnya!”

“Serius!? Wah, ayo kita cari posternya! Siapa tahu wajahnya familiar—kalau beruntung, kita bisa kaya!”

“Hahahaha! Benar juga!”

Anzu menunduk sedikit, wajahnya tanpa ekspresi, namun matanya tajam mengawasi sekitar. Ia memberi isyarat pada Alfred.

“Makan cepat. Kita pergi setelah ini,” bisiknya.

Alfred mengangguk cepat sambil menyuap makanan terakhirnya. Setelah membayar, mereka segera meninggalkan kedai itu dan masuk ke jalan sempit di antara dua bangunan.

---

Namun, baru beberapa langkah, suara serak seorang lelaki menghentikan mereka.

“Tunggu sebentar, anak muda.”

Keduanya spontan berhenti. Seorang pria tua berdiri di ujung lorong—berjubah lusuh, berambut putih panjang, dan matanya memancarkan ketenangan aneh.

Anzu langsung waspada. Tangannya perlahan menyentuh gagang pedang di balik jubah.

“Hohoho... tak perlu tegang begitu,” ucap pria tua itu dengan senyum tipis. “Kalian... sedang dikejar, ya?”

Anzu dan Alfred saling berpandangan. Mereka terkejut—bagaimana mungkin orang ini tahu?

“Bagaimana kau tahu?” tanya Anzu dengan suara datar, namun matanya tetap tajam.

“Hanya... kebetulan,” jawab pria tua itu sambil mengelus jenggotnya.

“Ikut aku sebentar. Ada hal yang perlu kalian dengar.”

“Untuk apa?” Anzu menatap curiga. “Kau bisa saja melapor pada ksatria Celestia.”

Pria tua itu tertawa kecil. “Kalau aku ingin melapor, aku sudah lakukan sejak tadi, bukan?”

Ia berbalik, berjalan perlahan ke dalam gang sempit di sebelah kanan. Anzu masih ragu, tapi langkahnya mengikuti, diiringi Alfred yang sedikit gugup.

---

Mereka tiba di depan sebuah rumah tua dari kayu lapuk. Cat dindingnya terkelupas, tapi terasa hangat dan tenang.

“Masuklah dulu,” kata pria tua itu.

Anzu dan Alfred saling pandang sejenak, lalu masuk.

Di dalam, hanya ada satu kursi kayu tua, tungku kecil, dan tumpukan kayu bakar di pojok ruangan. Tak ada yang mencurigakan, tapi kewaspadaan tetap mereka jaga.

Pria tua itu masuk ke dapur sebentar, lalu kembali membawa dua cangkir air.

“Minumlah. Tidak usah terlalu waspada, anak muda. Apa yang perlu kalian takutkan dari seorang kakek renta sepertiku? Hahaha!”

Alfred menatap gelas itu ragu. Anzu diam sejenak, lalu mengambil satu dan meminumnya tanpa banyak bicara. Alfred pun akhirnya mengikuti.

Begitu mereka selesai, Anzu meletakkan gelas dan menatap pria tua itu lurus-lurus.

“Sekarang katakan. Untuk apa kau membawa kami ke sini?”

Pria tua itu menatap mereka dalam-dalam sebelum menjawab.

“Karena aku melihat kalian... dalam mimpiku.”

“Mimpi?” Alfred mengangkat alis.

Anzu mengerutkan dahi.

“Dan hanya karena itu kau memanggil kami?”

“Jangan remehkan mimpi, anak muda,” jawab sang pria tua tenang. “Selama ini, sembilan dari sepuluh mimpiku selalu menjadi kenyataan. Tapi... mimpiku tentangmu agak berbeda.”

“Berbeda bagaimana?”

“Aku melihatmu tertangkap oleh para ksatria itu...” ujarnya pelan.

“Namun setelah itu... sesuatu terjadi. Tapi anehnya, aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi selanjutnya. Seolah ada tirai yang menutup bagian akhir mimpiku.”

Ia menghela napas panjang, lalu menatap Anzu lagi.

“Yang jelas, kalian sebaiknya bersembunyi di sini untuk sementara. Para ksatria itu belum pergi.”

Anzu berdiri. “Tidak perlu. Kami tak bisa diam di satu tempat terlalu lama.”

Namun sebelum ia melangkah, pria tua itu berbicara lagi—dengan suara yang membuat Anzu berhenti.

“Kau... sedang mencari cara untuk memperkuat dirimu, bukan?”

Deg.

Detak jantung Anzu terasa lebih cepat. Ia menatap pria tua itu tajam.

“Sepertinya kau tahu banyak tentangku, Pak tua. Benar, aku ingin menjadi lebih kuat. Tapi apa yang kau tahu tentang itu?”

Pria tua itu tersenyum samar.

“Yang kau cari... adalah Aura, bukan?”

Anzu membelalak. “Bagaimana kau tahu?”

Pria tua itu tak menjawab. Ia berjalan ke arah tumpukan kayu bakar di sudut ruangan, lalu menggali tanah di bawahnya. Dari sana, ia mengeluarkan sebuah buku catatan tua yang terbungkus kain lusuh.

“Ini,” katanya sambil menyerahkan buku itu kepada Anzu.

“Bertahun-tahun lalu, seseorang memberikannya padaku dan berkata: ‘Suatu hari, seorang pemuda dari mimpimu akan datang. Serahkan catatan ini padanya.’ Awalnya aku mengira itu omong kosong... tapi beberapa bulan terakhir, aku terus bermimpi tentangmu, anak muda.”

Anzu menerima catatan itu dengan raut bingung. Ia membuka beberapa halaman — di dalamnya tertulis teknik dan metode latihan Aura, bahkan ada beberapa catatan tentang kemampuan yang bisa dikembangkan.

Anzu terdiam lama, sementara Alfred menatap penuh rasa ingin tahu.

Pertemuan antara Anzu, Alfred, dan pria tua itu terasa seperti takdir.

Namun satu hal masih menjadi misteri—siapa sebenarnya pria tua itu, dan mengapa ia tahu begitu banyak tentang masa depan Anzu?.

1
Nagisa Furukawa
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
Bisquit D Kairifz: Semangat bree, walau masalah terus berdatangan tanpa memberi kita nafas sedikit pun
total 1 replies
Rabil 2022
lebih teliti lagi yah buatnya sebabnya ada kata memeluk jadi meneluk
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!