NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 29: Melumpuhkan Sang Monster

Kabut pagi menggantung rendah di atas hutan gunung. Suara serangga dan desiran angin menyatu menjadi nyanyian samar yang menegangkan.

Liang Chen berdiri di tepi lembah, Kesunyian Malam tergantung di punggungnya, menghitam di bawah sinar redup matahari yang baru terbit. Di hadapannya, deretan gua kecil terbuka di tebing batu, sarang para Serigala Berbulu Baja.

Guru Kui Xing berdiri di sampingnya, menatap hening ke arah gua-gua itu. Udara di sekitar mereka dingin, tetapi wajah sang guru tetap tenang. Di tangannya tergenggam tongkat bambu panjang, bukan pedang.

“Hari ini, kau akan berlatih di sana,” katanya datar. “Satu per satu, kau akan melumpuhkan setiap monster yang keluar. Tidak boleh satu pun mati.”

Liang Chen menatap ke arah gua. Dari dalam terdengar geraman berat. Udara bergetar ketika seekor serigala besar berlapis bulu perak keluar, tubuhnya sekeras baja. Mata merahnya berkilat liar, giginya meneteskan busa.

“Tidak boleh membunuh?” tanya Liang Chen pelan, memastikan.

Guru Kui Xing mengangguk sekali. “Melumpuhkan saja. Tulang kakinya, ekornya, sayapnya kalau mereka punya. Tapi jangan menyentuh jantung. Sekali kau membunuh, kau gagal.”

Liang Chen menarik napas dalam. Tugas itu terdengar sederhana, tetapi ia tahu tidak sesederhana itu.

Jalan Asura yang mengalir di tubuhnya selalu berbisik untuk membunuh, untuk mengakhiri perlawanan dengan satu tebasan. Kini, ia harus menahan naluri itu, memaksa dirinya mengayun pedang tidak untuk membinasakan, melainkan untuk menahan.

Guru Kui Xing melangkah ke samping, memberi ruang. “Mulai.”

Serigala pertama mengaum keras dan melompat ke depan. Liang Chen menghunus Kesunyian Malam, energi merah mulai mengalir di sepanjang bilahnya.

Tebasannya turun cepat, dan dalam sekejap, kaki depan serigala itu terbelah setengah, tapi Liang Chen menarik bilahnya sebelum mencapai dada. Serigala itu jatuh, meraung kesakitan. Ia masih hidup. Liang Chen menatapnya, jantungnya berdetak cepat, darahnya mendidih.

Dari belakang, Guru Kui Xing berbicara tenang. “Baik. Itu satu. Tapi jangan puas. Jalanmu baru dimulai.”

Seekor lagi keluar dari gua, lebih besar, matanya menyala keunguan. Liang Chen berlari, pedangnya bergetar oleh energi pembantaian yang hampir lepas kendali.

Ia menebas ke arah leher, tapi di detik terakhir, ia memutar pergelangan tangan dan mengubah arah tebasan, hanya mematahkan kaki belakang monster itu. Tubuhnya sendiri bergetar menahan tekanan. Ia merasakan Energi Pembantaian di dadanya berputar liar, mencari jalan keluar.

Bisikan itu datang lagi, dalam pikirannya. “Bunuh mereka. Hentikan raungan itu. Mereka pantas mati.”

Liang Chen menggertakkan giginya. “Tidak kali ini.”

Tebasan ketiga, keempat, kelima, semuanya berhenti setengah langkah sebelum fatal. Tapi dengan setiap serangan yang ia tahan, tubuhnya semakin berat. Energi Pembantaian tidak mendapatkan jalan keluar, mengendap di tubuhnya seperti lava dalam gunung yang tertutup rapat.

Ketika serigala terakhir keluar dari gua, tubuh Liang Chen sudah gemetar, matanya merah darah. Ia menebas terlalu keras kali ini. Bilah Kesunyian Malam menghantam kepala monster itu, membelah kulit baja dan menembus sedikit lebih dalam dari yang ia niatkan. Monster itu jatuh, tak bergerak.

Sunyi. Liang Chen menatap tubuh itu lama. Jantungnya berdetak keras di telinganya. “Tidak…”

Guru Kui Xing berjalan mendekat tanpa suara. Ia berjongkok di samping bangkai monster itu. “Gagal.”

Nada suaranya tidak marah, tetapi datar dan tegas. Liang Chen menunduk, tangannya bergetar. Energi Pembantaian di dalam tubuhnya bergejolak, mencari alasan untuk meledak. Ia bisa merasakan amarahnya sendiri memukul dinding pikirannya, menuntut dilepaskan.

Guru Kui Xing berdiri. “Kau tahu kenapa kau gagal?”

Liang Chen menggeleng, masih menahan napas berat.

“Karena kau berpikir membunuh itu lebih mudah daripada menahan diri. Jalan Asura bukan jalan mudah. Membunuh memang memberimu kekuatan, tapi hanya orang bodoh yang mengira kekuatan bisa tumbuh dari kebiasaan menghancurkan.”

Liang Chen menggenggam pedangnya. “Kalau begitu apa artinya semua ini? Jalan ini sendiri lahir dari pembunuhan.”

Guru Kui Xing menatapnya tajam. “Benar. Tapi hanya Asura yang bisa menahan pedangnya di atas kepala musuh dan tidak menurunkannya yang pantas menyebut dirinya manusia.”

Liang Chen terdiam lama. Ia menatap Kesunyian Malam di tangannya, bilah itu memantulkan cahaya merah samar, seolah pedang itu pun menertawakan kelemahannya.

Guru Kui Xing berbalik, melangkah perlahan. “Kita akan ulangi dari awal. Semua gua ini penuh monster. Selesaikan tanpa membunuh satu pun. Jika kau gagal lagi, kita tidak akan turun gunung sampai kau bisa menahan pedangmu sendiri.”

Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan dingin, “Pahami satu hal, Chen’er. Jalan Asura bukan tentang membunuh dunia di luar. Jalan Asura adalah perang melawan dirimu sendiri.”

Hari berikutnya turun dengan kabut yang lebih pekat. Embun menetes dari ujung daun, dan aroma logam samar memenuhi udara, bau darah yang tertinggal dari latihan kemarin.

Liang Chen duduk bersila di tepi lembah, Kesunyian Malam tergeletak di pangkuannya, bilahnya tampak tenang, tetapi ia tahu itu menipu.

Di dalam tubuhnya, Energi Pembantaian berputar liar. Sejak kemarin, ia belum menyalurkannya keluar. Setiap tarikan napas terasa seperti menelan bara.

Hatinya panas, dadanya berdenyut keras. Ia tahu jika dibiarkan, energi itu akan melukai meridiannya sendiri. Namun perintah gurunya jelas: jangan membunuh, jangan lepaskan secara liar.

Ia membuka mata perlahan. Dari balik kabut, seekor Serigala Berbulu Baja muncul, lebih besar dari sebelumnya, bulunya basah oleh embun, matanya penuh kebencian.

Liang Chen berdiri, meraih pedang, dan ketika serigala itu melompat, ia mengayun. Tebasannya cepat, tepat, namun di detik terakhir ia berhenti, bilah hanya memotong ujung bulu baja. Serigala itu jatuh terguling, tak terluka parah, tetapi segera bangkit lagi.

Liang Chen menahan napas. Setiap kali ia menahan tebasan, Energi Pembantaian yang ingin keluar dari tubuhnya justru semakin panas. Amarahnya meningkat. Ia bisa mendengar suara samar di dalam pikirannya, dingin dan menggoda.

“Kau menahan dirimu demi apa? Mereka tidak akan mengasihanimu. Lepaskan pedang itu, biarkan darah membasahi tanah.”

Liang Chen menutup mata sejenak, menenangkan diri. Ia membayangkan wajah ibunya, senyum ayahnya di pagi terakhir di Desa Hijau. “Aku tidak akan menjadi monster,” bisiknya.

Suara itu tertawa pelan, seperti gema di gua kosong. “Kau sudah jadi satu. Lihat matamu, lihat tanganmu. Kau meminum darah untuk hidup.”

Liang Chen membuka mata. Di sana, serigala lain muncul dari sisi kiri. Ia berputar cepat dan menebas. Tebasan itu tidak mematikan, hanya menggores perut makhluk itu, tapi darahnya memercik ke wajah Liang Chen.

Seketika, aroma darah itu membuat Energi Pembantaian dalam dirinya bergolak lebih keras, dan bisikan itu berubah menjadi teriakan.

“Lanjutkan! Minum amarah mereka! Itulah kekuatanmu!”

Tangan Liang Chen bergetar, ujung pedangnya hampir menembus leher musuhnya. Namun tepat saat bilah itu akan turun, suara keras memotong udara.

“Cukup.”

Guru Kui Xing berdiri di belakangnya, wajahnya dingin, tongkat bambu di tangan siap menekan bahu Liang Chen. “Aku bilang melumpuhkan, bukan membunuh.”

Liang Chen terengah. “Aku… hampir tidak bisa menahannya.”

Guru Kui Xing menatap matanya dalam. “Itulah pelajaran hari ini. Energi Pembantaian akan memohon padamu untuk dibebaskan. Tapi kendali sejati bukan tentang kekuatan, melainkan tentang menolak permohonan itu.”

Liang Chen terdiam. Tangannya gemetar keras, tapi ia menggigit bibir hingga berdarah. “Kalau aku menahannya terus, tubuhku akan terbakar dari dalam.”

Guru Kui Xing mengangguk pelan. “Benar. Maka kau harus menyalurkannya dengan cara lain. Kendali bukan berarti menekan. Kendali berarti mengubah arah arus.”

Ia menggerakkan tongkatnya, menyentuh dada Liang Chen. Energi hangat namun menekan mengalir masuk, menenangkan sedikit pusaran di tubuh Liang Chen.

“Rasakan jalannya,” kata Guru Kui Xing lirih. “Jangan biarkan ia menumpuk. Salurkan ke otot, tulang, udara di sekitarmu, apa pun, asal bukan ke jantung musuhmu.”

Liang Chen mengangguk, menutup mata, mencoba meniru. Ia memusatkan kesadarannya ke dada, tempat Energi Pembantaian menggeliat seperti ular api.

Perlahan ia mengarahkan energi itu ke tangan dan kaki, membiarkannya menguatkan otot dan tulang tanpa meledak. Rasa sakitnya mereda sedikit, meski keringat dingin membasahi punggungnya.

Guru Kui Xing menatapnya lama. “Itu langkah pertama. Kau harus belajar menjadi wadah api yang tak meledak. Kalau kau bisa menahan ini, kau bisa menahan apa pun.”

Liang Chen menarik napas berat. “Aku tidak tahu apakah aku bisa setiap kali mendengar bisikan itu.”

Guru Kui Xing menjawab pelan, “Kau tidak harus membungkamnya. Kau hanya harus memastikan bahwa suara itu bukan pemilikmu.”

Liang Chen menatap tanah, mendengarkan jantungnya sendiri yang berdetak pelan, seperti palu yang menempa baja. Energi Pembantaian berdenyut di nadinya, tapi kini sedikit lebih jinak.

Hari berlalu dalam diam. Ia berlatih melumpuhkan, menyalurkan, mengalihkan. Setiap kali gagal, ia merasakan tubuhnya hampir pecah.

Tapi dengan setiap keberhasilan kecil, suaranya sendiri di dalam dada menjadi lebih kuat daripada bisikan yang menggoda.

Malam menjelang, dan Guru Kui Xing akhirnya berkata, “Cukup untuk hari ini. Besok, aku akan tunjukkan cara sejati menahan pedang tanpa menahan kekuatan.”

Liang Chen menatap tangan dan pedangnya yang kini bergetar ringan. Ia tahu, latihan itu baru permulaan, dan ia belum menang. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa dirinya masih memiliki kendali atas api yang membara di dalamnya.

Keesokan harinya, kabut pagi menyelimuti lereng gunung seperti tirai abu yang turun perlahan. Hening, namun di dalam keheningan itu, Liang Chen dapat mendengar desiran halus napas para makhluk yang bersembunyi di balik pepohonan. Dunia seakan menunggu.

Guru Kui Xing berdiri di puncak batu besar, jubahnya berkibar oleh angin lembut. Matanya tajam, mengawasi Liang Chen yang berdiri di bawah, tubuhnya masih penuh luka kecil dari latihan kemarin.

“Hari ini,” ucapnya datar, “kau akan melihat perbedaan antara kendali dan ketakutan.”

Dari semak, seekor monster muncul, seekor Beruang Batu, tubuhnya besar, kulitnya keras bagai karang. Suara geramannya mengguncang udara.

Liang Chen bersiap, namun sebelum ia sempat melangkah, Guru Kui Xing mengangkat tongkat kayunya. Gerakan itu nyaris tidak terlihat, hanya satu kilasan kecil.

Suara angin terbelah terdengar, dan tiba-tiba monster itu terhenti. Tidak ada darah, tidak ada luka besar, hanya satu garis tipis di lutut kirinya. Beberapa detik kemudian, makhluk itu ambruk ke tanah, kehilangan keseimbangan. Guru Kui Xing menurunkan tongkatnya.

“Ia akan hidup. Tapi tidak akan bisa berlari selama sebulan.”

Liang Chen terpaku. Gerakan itu sederhana, namun kekuatannya luar biasa. Tidak ada aura yang dilepaskan, tidak ada Energi Pembantaian yang tercium. Hanya keheningan dan presisi.

Guru Kui Xing menatapnya. “Kau melihatnya? Kekuatan sejati bukanlah letusan. Ia adalah garis tipis antara hidup dan mati yang bisa kau tentukan sesuka hati.”

Liang Chen mengangguk pelan. Ia mengangkat Kesunyian Malam, mencoba meniru. Seekor serigala kecil datang menerjang. Liang Chen berputar, menebas ke arah kakinya.

Darah memercik, tapi bukan fatal. Monster itu jatuh, melolong, masih hidup. Liang Chen menghela napas berat, mencoba menenangkan getaran di dadanya.

Namun bisikan itu datang lagi, pelan tapi menusuk. “Kenapa berhenti di situ? Selesaikan. Darah itu milikmu.”

Tangannya bergetar. Ia menggertakkan gigi, menatap bilah hitam di tangannya. “Aku sudah cukup minum darah,” gumamnya. “Sekarang aku harus belajar menahannya.”

Guru Kui Xing mendekat. “Setiap kali kau menolak bisikan itu, bagian kecil dari jiwamu menjadi baja. Tapi setiap kali kau menyerah, baja itu berkarat.”

Liang Chen menunduk. “Aku masih takut. Kadang aku merasa kalau aku berhenti menahan, aku tidak akan bisa kembali.”

Guru Kui Xing meletakkan tangan di pundaknya. “Rasa takut itu yang membuatmu tetap hidup. Asura yang kehilangan rasa takut hanya akan menjadi iblis. Pertahankan rasa takutmu.”

Sore itu, latihan berlanjut. Liang Chen menahan setiap tebasan di batas yang semakin tipis. Beberapa kali ia gagal, tebasannya menembus terlalu dalam, darah muncrat, dan ia merasa Energi Pembantaian di tubuhnya melonjak. Namun ia terus mencoba.

Hingga malam tiba, bulan naik di langit, menebar cahaya pucat di atas lembah. Liang Chen berlutut di antara bangkai monster yang masih bernapas lemah. Tubuhnya penuh debu dan darah. Napasnya berat, tapi matanya jernih.

Guru Kui Xing berdiri tak jauh darinya, membawa kendi arak yang belum dibuka. “Apa yang kau rasakan?” tanyanya.

Liang Chen menatap ke arah pedangnya yang berlumur darah tipis. “Aku merasa kosong. Tapi anehnya, kosong itu menenangkan.”

Guru Kui Xing mengangguk pelan. “Itulah awal dari kendali. Asura yang masih bisa merasakan kehampaan berarti belum kehilangan dirinya.”

Ia berjalan mendekat dan mengangkat tongkatnya. “Sekarang, perhatikan.”

Di hadapan Liang Chen, seekor monster terakhir muncul, seekor Harimau Awan, lebih cepat dan licik. Ia menyerang dengan kilatan cahaya dari cakarnya. Liang Chen mencoba menangkis, tapi Guru Kui Xing menahan bahunya.

“Jangan. Biarkan aku yang melakukannya kali ini.”

Guru Kui Xing melangkah ke depan. Gerakannya lembut, tidak tergesa, seperti seorang tua yang sekadar berjalan. Harimau itu menerjang, tapi saat cakar monster itu hampir menyentuh, Guru Kui Xing mengayunkan tongkat bambunya. Tidak ada suara keras, tidak ada percikan energi. Hanya satu sentuhan ringan ke dada makhluk itu.

Harimau itu berhenti. Matanya melebar, tubuhnya membeku. Lalu ia roboh, pingsan tanpa luka. Liang Chen menatap, tidak mengerti.

Guru Kui Xing menjelaskan dengan suara rendah, “Aku memukul titik energi di dada. Aliran kehidupan di tubuhnya berhenti sekejap, cukup untuk menjatuhkannya tanpa membunuh. Itulah yang akan kau pelajari nanti. Kendali bukan hanya pada pedang, tapi pada napas dan niatmu.”

Liang Chen tertegun. “Aku bisa belajar itu?”

Guru Kui Xing menatapnya. “Kau sudah mulai.”

Malam semakin larut. Di bawah sinar bulan, Liang Chen kembali mengayunkan pedang. Tidak ada kemarahan kali ini, hanya kesunyian dan niat.

Kesunyian Malam berkilat tipis, memantulkan cahaya seperti darah yang membeku. Ia mengayun, memotong udara, dan tebasan itu berhenti tepat sebelum menyentuh batu di depannya. Sebuah garis tipis muncul di permukaan batu, tapi tidak retak.

Guru Kui Xing tersenyum samar. “Kau sudah belajar melumpuhkan dengan niat, bukan dengan tenaga. Itulah pedangmu.”

Liang Chen menatap pedangnya lama. “Apakah ini berarti aku mulai memahami Jalan Asura?”

“Tidak,” jawab Guru Kui Xing. “Kau baru saja belajar menahannya agar tidak menelanmu. Jalan Asura bukan sekadar amarah yang dijinakkan, tapi amarah yang diarahkan. Saat kau bisa menggunakan kemarahanmu untuk melindungi, bukan menghancurkan, saat itulah kau akan benar-benar memahami jalanmu.”

Liang Chen menunduk, mengingat wajah orang tuanya lagi. Kali ini, tidak ada api di dadanya, hanya kehangatan yang sunyi.

Ia berdiri dan menatap ke arah hutan yang diterangi bulan. Monster-monster yang tersisa berlari menjauh, tubuh mereka pincang, tapi hidup. Liang Chen tahu, latihan ini tidak hanya tentang kekuatan, tapi tentang menahan diri untuk tetap menjadi manusia di tengah Warisan yang haus darah.

Guru Kui Xing menatap muridnya itu dengan pandangan dalam. “Kau telah melangkah jauh, Chen’er. Tapi ingatlah, semakin tinggi langkahmu, semakin tipis batas antara kendali dan kehilangan. Jangan pernah berhenti mendengarkan suaramu sendiri.”

Liang Chen menunduk hormat. “Aku mengerti, Guru.”

Guru Kui Xing menatap langit. “Besok kita akan turun sedikit ke lembah bawah. Di sana, akan ada ujian baru, bukan monster, tapi manusia.”

Liang Chen menatapnya, dan kali ini, tidak ada ketakutan di matanya. Hanya ketenangan yang tajam.

Angin malam meniup lembah, membawa aroma darah yang tertahan dan embun yang baru. Liang Chen menggenggam Kesunyian Malam lebih erat, merasakan bilah itu berdenyut pelan di tangannya, seolah memahami bahwa pedang itu kini tahu: ia tidak lagi dipandu oleh amarah, tetapi oleh kehendak.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!