NovelToon NovelToon
Jadi Istri Om Duda!

Jadi Istri Om Duda!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Duda
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Galuh Dwi Fatimah

"Aku mau jadi Istri Om!" kalimat itu meluncur dari bibir cantik Riana Maheswari, gadis yang masih berusia 21 Tahun, jatuh pada pesona sahabat sang papa 'Bastian Dinantara'

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galuh Dwi Fatimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hubungan Rahasia

Raden memukul pelan meja sambil tertawa. “Wah, wah, ketahuan nih. Anak Papa lagi jatuh cinta yaaa. Iya kan? jujur aja Ri..”

“Papa! Nggak ada! Beneran deh!” Riri berusaha menyangkal, tapi semakin ia mengelak, semakin kedua orang tuanya saling pandang dengan ekspresi jahil.

Rahayu menepuk bahu Riri. “Ya sudah, nanti Mama cari tahu sendiri siapa yang bikin anak Mama senyum-senyum begini. Cepat makan, jangan sampai telat kerja. Kamu kan sekarang anak kantoran, harus jaga wibawa. Apalagi kamu anak baru.”

"Iya Ma.."

Riri hanya mendengus kecil, tapi dalam hati… bayangan wajah Bastian semalam kembali muncul, lengkap dengan momen di dalam mobil itu. Senyum tipis kembali menghiasi wajahnya tanpa sadar.

Raden memperhatikan itu dan berbisik ke istrinya. “Papa yakin, ini pasti soal cowok Ma.”

Rahayu membalas lirih. “Iya. Senyumnya… beda.”

___

Lift kantor Dinantara Group pagi itu tidak terlalu ramai. Riri berdiri di depan pintu lift dengan jantung berdegup kencang. Semalam, pikirannya dipenuhi bayangan momen bersama Bastian—mulai dari tatapan mata, hingga kedekatan keduanya yang membuatnya sulit tidur. Dan sekarang, takdir seolah iseng mempertemukan mereka di pagi hari.

Begitu pintu lift terbuka, sosok tinggi dengan kemeja putih rapi dan jas hitam elegan itu berdiri di dalam. Ya betul, sosok itu adalah Bastian.

Riri tertegun sepersekian detik. Ia menunduk cepat, berusaha menyembunyikan rona pipinya yang mulai memanas.

“Masuk,” ucap Bastian dengan suara datar tapi tenang.

Riri melangkah masuk, berdiri di sampingnya. Hening. Hanya suara “ting” dari tiap lantai yang dilewati.

Bastian melirik sekilas. Riri tampak gugup, kedua tangannya meremas ujung tas kerjanya sendiri. Ia menarik napas pelan.

“Kamu selalu segugup ini kalau sama atasan?” tanya Bastian dengan nada ringan tapi menggoda.

Riri langsung menoleh, sedikit terkejut. “Hah? Nggak… aku… cuma… ya… pagi-pagi gini.”

“Pagi-pagi gini kenapa?” goda Bastian, matanya menyimpan senyum samar.

Riri makin gugup. “Om.. jangan ngeledekin aku dong…”

Lift berhenti beberapa lantai, tapi tak ada yang masuk. Pintu kembali tertutup, menyisakan mereka berdua lagi. Hening kembali menyeruak.

Tiba-tiba, Bastian menggerakkan tangannya perlahan ke arah Riri. Riri yang menunduk tidak menyadari sampai jari-jarinya merasakan sentuhan hangat. Ia menatap ke bawah—Bastian menggenggam tangannya. Terasa hangat, mantap, namun lembut.

Riri mendongak, menatap Bastian dengan mata membulat. “Om…” bisiknya pelan.

Bastian menatap lurus ke depan, tapi sudut bibirnya terangkat tipis. “Biar kamu tenang,” katanya datar, tapi justru membuat jantung Riri makin tak karuan.

“Om… ini lift… nanti kalau ada yang lihat…”

“Tenang. Nggak ada siapa-siapa. Lagian…” Bastian menoleh pelan, menatap mata Riri dalam-dalam, “aku nggak suka lihat kamu gugup kayak tadi.”

Riri langsung salah tingkah, tapi genggamannya tidak ia lepaskan. Jari-jarinya malah perlahan menggenggam balik, seolah jawaban jujur dari tubuhnya.

Lift berdenting—lantai mereka sudah sampai. Bastian menarik tangannya perlahan sebelum pintu terbuka.

“Jangan terlalu tegang pagi-pagi,” ucapnya sambil melangkah keluar dengan tenang.

Riri tertinggal sepersekian detik di dalam lift, pipinya memanas hebat. Ia menyentuh jemarinya yang tadi digenggam dan tersenyum kecil. “Om…” gumamnya pelan, sebelum buru-buru menyusul keluar.

Lorong kantor Dinantara Group pagi itu cukup ramai. Beberapa karyawan menyapa satu sama lain sambil membawa kopi dan map. Riri berjalan di samping Bastian dengan langkah agak canggung, sementara Bastian seperti biasa terlihat tenang dan berwibawa.

Begitu mereka keluar dari lift, refleks tangan Riri hampir saja masih ingin menggenggam tangan Bastian. Untung saja ia cepat sadar. Ia langsung menjaga jarak setengah langkah ke belakang.

“Jaga jarak sedikit,” bisik Bastian pelan tanpa menoleh.

“Aku tahu kok, Om,” balas Riri lirih sambil menunduk, takut kalau ekspresinya terbaca orang lain.

Beberapa rekan kerja dari divisi Humas lewat sambil menyapa ramah. “Pagi Pak Bastian!”

“Pagi Riri!”

Riri membalas dengan senyum kaku, sementara Bastian hanya memberi anggukan ringan khas seorang atasan. Begitu mereka sedikit menjauh dari kerumunan, Riri mendekat pelan, menyamakan langkah.

“Om, tadi di lift kenapa tiba-tiba genggam tangan aku?” Riri berbisik cepat.

Bastian melirik sekilas, lalu menjawab tenang, “Karena kamu kelihatan gugup banget.”

“Ya jelas gugup, Om. Kalau ketahuan gimana?”

Bastian berhenti sejenak, pura-pura mengecek jam tangan agar orang lain yang lewat tak curiga. “Makanya sekarang kamu tenangin diri. Kita nggak boleh kelihatan canggung.”

Riri menghela napas pelan. “Iya, aku ngerti. Tapi…” ia melirik kanan-kiri, lalu mendekat sedikit, “Om tahu gak? Om kelihatan keren banget pagi ini, jadi bikin aku susah tenang.”

Bastian menatapnya datar, tapi mata itu menyimpan sesuatu yang hangat. “Riri…” katanya dengan nada peringatan, tapi ujung bibirnya nyaris tersenyum.

“Apa?” Riri pura-pura polos, matanya berbinar.

Bastian mendekat sedikit ke telinganya, suara rendah dan tenang, “Jangan bikin saya lupa posisi kita sekarang.”

Kalimat itu sukses membuat wajah Riri memanas. Ia langsung mundur satu langkah dengan wajah merah merona, sementara Bastian kembali berjalan seperti tak terjadi apa-apa.

Beberapa meter kemudian, mereka sampai di persimpangan lorong—arah ke ruang Bastian dan arah ke divisi Humas. Sebelum berpisah, Bastian berbisik pelan tanpa menatapnya, “Nanti sore, jam enam. Di ruangan saya.”

Riri langsung menoleh cepat. “Ngapain?”

Bastian melangkah pergi sambil berkata tenang, “Katanya kamu mau bantu revisi proposal event bulan depan. Atau kamu lupa?”

Riri hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, bibirnya membentuk senyum kecil. “Bukan cuma proposalnya yang bikin deg-degan…” gumamnya pelan.

---

Senja mulai turun, langit di luar jendela kantor perlahan memerah keemasan. Suasana kantor sudah sepi—hanya beberapa orang yang masih bertahan lembur. Lampu ruangan Bastian menyala temaram, memberi kesan tenang tapi hangat.

Riri masih duduk di sofa ruangan Bastian dengan laptop terbuka, jari-jarinya mengetik cepat menyelesaikan revisi proposal. Sesekali ia melirik ke arah Bastian yang duduk di meja kerjanya, tampak fokus membaca berkas namun sebenarnya matanya beberapa kali diam-diam memperhatikan Riri.

“Udah hampir selesai, Om,” ucap Riri sambil mengeklik halaman terakhir.

“Bagus. Kerja kamu cepat juga.,” jawab Bastian tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen, tapi nada suaranya terdengar hangat.

Beberapa menit kemudian, Riri menutup laptopnya dan berdiri. “Selesai!” serunya kecil, seperti anak kecil yang bangga dapat nilai bagus.

Bastian menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Good job.”

Riri merapikan kertas di meja. “Kalau gitu aku pulang dulu ya, Om. Takut Mama Papa nanyain.”

Ia berjalan ke arah pintu, namun sebelum tangannya menyentuh gagang, tiba-tiba ia merasakan sentuhan hangat di pergelangan tangannya. Dalam sekejap, tubuhnya ditarik pelan ke belakang dan terhenti dalam dekapan Bastian.

1
Grindelwald1
Wah, mantap!
Galuh Dwi Fatimah: terimakasih!!
total 1 replies
Niki Fujoshi
Capek tapi puas baca cerita ini, thor! Terima kasih sudah membuatku senang.
Galuh Dwi Fatimah: Terimakasih kak, semoga harimu selalu menyenangkan
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!