Di tahun 2070, nama Ethan Lawrence dirayakan sebagai pahlawan. Sang jenius muda ini telah memberikan kunci masa depan umat manusia: energi tak terbatas melalui proyek Dyson Sphere.
Tapi di puncak kejayaannya, sebuah konspirasi kejam menjatuhkannya.
Difitnah atas kejahatan yang tidak ia lakukan, sang pahlawan kini menjadi buronan nomor satu di dunia. Reputasinya hancur, orang-orang terkasihnya pergi, dan seluruh dunia memburunya.
Sendirian dan tanpa sekutu, Ethan hanya memiliki satu hal tersisa: sebuah rencana terakhir yang brilian dan berbahaya. Sebuah proyek rahasia yang ia sebut... "Cyclone".
(Setiap hari update 3 chapter/bab)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27: Debu Merah di Tangan
Mars adalah neraka berwarna karat.
Profesor Aris Thorne berdiri di anjungan observasi Tambang Calicite-7, menatap ke bawah ke dalam jurang buatan manusia yang menganga. Debu merah halus, setajam pecahan kaca, melapisi segalanya, termasuk bagian dalam paru-parunya. Udara daur ulang di habitat tambang terasa tipis dan berbau logam panas. Gravitasi buatan (hanya 0.8g standar Bumi untuk menghemat energi) membuat setiap langkahnya terasa berat dan lamban.
Dia sudah berada di sini selama tiga minggu. Tiga minggu terpanjang dan terburuk dalam hidupnya.
Di bawahnya, di dasar kawah tambang yang diterangi oleh lampu sorot industri yang keras, mesin-mesin bor plasma raksasa meraung siang dan malam. Para pekerja Tier-D—sosok-sosok kecil berseragam oranye kotor—bergerak seperti semut di sekitar mesin-mesin monster itu. Jadwal kerja 18 jam yang dia perintahkan terlihat jelas di wajah mereka yang kuyu dan gerakan mereka yang lamban dan putus asa.
Ini adalah pemandangan dari mimpi buruk industri. Dan dialah sutradaranya.
"Produksi naik 3% lagi minggu ini, Profesor," sebuah suara serak berkata di sebelahnya.
Thorne menoleh. Manajer Operasi Borin berdiri di sana, seorang pria Tier-C bertubuh kekar dengan wajah yang tampak dipahat dari batu Mars itu sendiri. Mata Borin—satu asli, satu sibernetik murah—menatap lurus ke depan, tidak menunjukkan emosi.
"Hanya 3%?" kata Thorne, mencoba terdengar tegas, seperti yang diharapkan Rostova. "Itu tidak cukup baik, Borin. Kuota Kuartal 4 harus dipenuhi. *Harus*."
Borin tidak menoleh. "Kami mendorong mesin dan orang-orang melewati batas merah, Profesor. Tiga reaktor bor plasma lagi rusak kemarin. Dan kami kehilangan dua pekerja lagi. 'Kelelahan ekstrem'." Dia mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar yang mengerikan.
Thorne merasakan sengatan rasa bersalah yang dingin, tetapi dia menekannya. "Kecelakaan bisa terjadi. Pastikan kompensasi keluarga diurus... secara diam-diam."
"Tentu saja," kata Borin. "Seperti biasa."
Keheningan yang tidak nyaman menggantung di antara mereka. Thorne benci berada di dekat Borin. Pria itu tahu terlalu banyak. Dia melihat terlalu banyak. Dia adalah saksi hidup dari kekejaman yang terjadi di sini.
"Saya ingin laporan insiden lengkap di meja saya dalam satu jam," kata Thorne, mencoba menegaskan kembali otoritasnya.
"Anda akan mendapatkannya," kata Borin. "Bersama dengan permintaan *lagi* untuk meninjau protokol keselamatan."
"Permintaan itu sudah ditolak," balas Thorne tajam. "Jangan ajukan lagi."
Borin akhirnya menoleh, mata sibernetiknya berputar pelan untuk fokus pada Thorne. "Dengan hormat, Profesor. Ini bukan lagi tentang efisiensi. Ini tentang menjaga agar tempat ini tidak meledak. Mesin-mesin ini tidak dirancang untuk berjalan 24/7 di bawah tekanan seperti ini. Dan orang-orang... mereka membuat kesalahan bodoh karena kelelahan. Cepat atau lambat, seseorang akan menekan tombol yang salah."
"Itu tidak akan terjadi di bawah pengawasanmu, kan, Manajer?" kata Thorne dingin. "Itulah mengapa kau dibayar mahal."
Ekspresi Borin tidak berubah, tetapi Thorne melihat sesuatu berkedip di mata aslinya. Kebencian? Atau hanya kelelahan yang tak terhingga?
"Saya akan melakukan pekerjaan saya, Profesor," kata Borin pelan. "Tapi jangan katakan saya tidak memperingatkan Anda." Dia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Thorne sendirian di anjungan observasi, dengan suara raungan mesin bor yang tak henti-hentinya sebagai teman satu-satunya.
Thorne bersandar di pagar kaca yang dilapisi debu. Dia benci tempat ini. Dia benci debu merah yang masuk ke mana-mana. Dia benci bau logam terbakar. Dia benci mata kosong para pekerja Tier-D.
Dan yang paling dia benci adalah dirinya sendiri karena berada di sini, melakukan ini.
Dia ingat hari ketika Rostova memberinya "otonomi penuh". Dia merasa menang saat itu. Dia pikir dia akan menjadi pahlawan yang menyelamatkan proyek. Tapi dia salah. Dia bukan pahlawan. Dia adalah algojo.
Dia mengeluarkan data-pad pribadinya. Tidak ada sinyal jaringan publik di sini, hanya tautan internal tambang yang dipantau secara ketat. Tapi dia punya satu koneksi rahasia: saluran terenkripsi langsung ke kantor Rostova.
Dia memeriksa pesan. Tidak ada yang baru dari Senator. Itu membuatnya semakin gugup. Keheningan Rostova lebih menakutkan daripada perintahnya.
Dia membuka file laporan produksi. Angka-angkanya memang naik. Tapi begitu juga angka kecelakaan, kerusakan peralatan, dan... kematian. Dia menutup file itu dengan cepat, merasa mual.
Dia melihat jadwalnya. Pukul 15:00. Pertemuan "pribadi" mingguannya dengan Borin. Di kantor Borin, bukan di kantornya. Itu adalah bagian dari fasad—Thorne berpura-pura mendengarkan kekhawatiran manajernya.
Dia berjalan menuju lift yang akan membawanya turun ke tingkat administrasi tambang. Saat dia menunggu, dia melihat bayangannya sendiri di pintu logam yang dipoles. Dia tampak lebih tua. Garis-garis stres terukir di sekitar mata dan mulutnya. Dia telah kehilangan berat badan. Tangannya sedikit gemetar.
Dia memikirkan Ethan Pradana. Bocah itu, duduk di kantor mewahnya, mungkin sedang menggambar persamaan di papan holografik, tidak menyadari neraka yang diciptakan atas namanya di sini. Kemarahan memberinya sedikit kekuatan. Dia melakukan ini karena Pradana. Karena kesombongan bocah itu. Karena idealismenya yang berbahaya.
Ya. Itu alasannya. Dia meyakinkan dirinya sendiri.
Lift tiba. Dia masuk. Saat pintu tertutup, memisahkannya dari pemandangan kawah tambang, dia merasa sedikit lega. Di bawah tanah, setidaknya dia tidak perlu melihat mata para pekerja.
Kantor Borin kecil, berantakan, dan berbau kopi murah yang dibakar. Tumpukan data-pad dan cetak biru memenuhi mejanya. Satu-satunya hiasan adalah foto seorang wanita dan dua anak kecil yang tersenyum—keluarga Borin di Bumi, yang mungkin tidak pernah dia lihat lagi.
Borin sudah menunggunya, duduk di belakang mejanya, tampak sama lelahnya seperti Thorne.
"Profesor," kata Borin datar, tidak berdiri.
"Manajer," balas Thorne, duduk di kursi tamu yang keras. "Langsung saja. Bagaimana situasi sebenarnya?"
"Buruk," kata Borin. "Semangat kerja di titik terendah. Orang-orang takut. Mereka tahu ada yang tidak beres. Rumor tentang sabotase mulai menyebar."
Thorne menegang. "Sabotase? Omong kosong."
"Apakah begitu?" Borin menatapnya tajam. "Tiga ledakan kecil di terowongan sekunder minggu ini? Kegagalan sistem pendingin yang hampir menyebabkan kehancuran reaktor? Itu bukan kecelakaan biasa, Profesor. Seseorang... atau sesuatu... secara aktif mencoba memperlambat kita."
Thorne merasakan keringat dingin di punggungnya. *Prometheus.* Informan sialan itu. Dia pasti masih aktif. "Apakah kau punya bukti?"
"Tidak ada bukti fisik," Borin mengakui. "Hanya... perasaan. Dan log data yang aneh. Fluktuasi daya kecil tepat sebelum setiap insiden. Seolah-olah seseorang sedang menguji pertahanan kita."
"Tingkatkan keamanan," perintah Thorne. "Periksa semua log akses. Aku ingin tahu siapa yang berada di area itu sebelum setiap insiden."
"Sudah kulakukan," kata Borin. "Tidak ada. Siapa pun ini, dia hantu. Atau dia punya akses tingkat tinggi."
Thorne memikirkan Pradana. Tidak mungkin. Bocah itu terjebak di Bumi, diawasi oleh Frost. Kecuali... A.I. sialan itu. Aurora. Apakah mungkin A.I. itu masih aktif? Rostova meyakinkannya bahwa A.I. itu sudah diisolasi. Tapi jika tidak...?
"Periksa semua komunikasi non-standar," kata Thorne. "Setiap transmisi data yang tidak sah, sekecil apa pun."
"Akan kulakukan." Borin bersandar di kursinya. "Tapi itu tidak akan menyelesaikan masalah utamanya, Profesor. Masalah utamanya adalah orang-orang ini didorong terlalu keras. Mereka kelelahan. Mereka putus asa. Kondisi ini... ini adalah lahan subur bagi pembangkangan. Atau sabotase sungguhan."
"Apa yang kau sarankan?" tanya Thorne, meskipun dia sudah tahu jawabannya.
"Kembalikan jadwal 12 jam," kata Borin. "Berikan mereka satu siklus istirahat penuh. Lakukan inspeksi keselamatan yang benar. Tunjukkan pada mereka bahwa kita masih peduli."
Thorne tergoda. Sangat tergoda. Itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Hal yang manusiawi.
Tapi kemudian dia memikirkan Rostova. Dia memikirkan ancaman terselubungnya. Dia memikirkan kuota produksi itu.
"Tidak," kata Thorne pelan. "Kita tidak bisa. Kita terlalu dekat dengan target. Kita tidak bisa mengendur sekarang."
Borin menatapnya lama, ekspresinya tidak terbaca. "Kalau begitu," katanya pelan, "Saya sarankan Anda menyetujui permintaan saya untuk persenjataan keamanan tambahan. Karena jika terjadi sesuatu... itu tidak akan menjadi kecelakaan kecil lagi."
Thorne menggigil, meskipun kantor itu hangat. "Aku akan... mempertimbangkannya." Dia berdiri. "Itu saja untuk hari ini, Manajer. Terus laporkan padaku. Setiap jam."
"Tentu saja, Profesor."
Thorne berjalan keluar dari kantor Borin, merasa lebih buruk dari sebelumnya. Dia bukan hanya algojo; dia adalah kapten kapal yang berlayar lurus ke arah gunung es, dan dia baru saja memerintahkan awaknya untuk mendayung lebih cepat.
Dia kembali ke habitat pribadinya—sebuah kabin kecil tapi nyaman yang disediakan untuk manajemen tingkat tinggi. Dia mengunci pintu. Dia menuang segelas besar scotch Mars (minuman keras lokal yang terasa seperti bahan bakar roket).
Dia duduk di kursinya, menatap dinding kosong.
Dia perlu bicara dengan seseorang. Dia perlu melepaskan tekanan ini. Tapi siapa? Dia tidak bisa bicara dengan Rostova; wanita itu hanya akan menganggapnya lemah. Dia tidak bisa bicara dengan Frost; pria itu akan menikmatinya.
Dia memikirkan Pradana. Ironis sekali. Satu-satunya orang di alam semesta yang mungkin mengerti tekanan menjadi penanggung jawab proyek ini adalah bocah yang paling dia benci.
Dia tertawa getir pada gagasan itu.
Ponsel pribadinya berbunyi—ponsel aman yang dia gunakan untuk komunikasi non-proyek. Itu adalah pesan terenkripsi. Dari Bumi.
Jantungnya melompat. Mungkin dari Rostova? Instruksi baru?
Dia membukanya. Itu bukan dari Rostova. Itu dari Julian Frost.
`Thorne. Aku tahu kau di Mars. Aku butuh bantuanmu. Pradana merencanakan sesuatu. Aku bisa merasakannya. Dia terlalu tenang. Terlalu patuh. Itu tidak benar. Dia pasti masih mengerjakan Lensa Fraktal itu secara rahasia. Aku butuh bukti. Aku butuh akses ke log server pribadinya. Kau satu-satunya yang bisa memberikannya dari sana. Bantu aku menjatuhkannya. Demi kebaikan proyek. -J.F.`
Thorne menatap pesan itu. Frost. Anjing penjaga yang setia itu masih menggonggong. Meminta bantuan padanya? Setelah semua yang terjadi?
Thorne seharusnya menghapus pesan itu. Mengabaikannya. Itu bukan urusannya lagi.
Tapi kemudian dia berpikir. Jika Pradana *benar-benar* masih mengerjakan Lensa Fraktal itu... jika dia *benar-benar* melanggar perintah... itu akan menjadi amunisi yang sempurna. Bukan untuk Frost. Tapi untuk *dirinya*.
Jika dia bisa membuktikan Pradana tidak stabil dan tidak bisa dipercaya... mungkin Rostova akan mempertimbangkan kembali kepemimpinan proyek. Mungkin Thorne bisa mendapatkan kembali apa yang telah dicuri darinya.
Dia tersenyum tipis untuk pertama kalinya hari itu. Senyum seekor ular.
Dia mulai mengetik balasan untuk Frost.
`Julian. Menarik sekali. Mungkin aku bisa membantu. Tapi bantuan seperti ini... ada harganya.`
Dia mengirim pesan itu. Permainan belum berakhir. Belum.