Lima tahun pernikahan Bella dan Ryan belum juga dikaruniai anak, membuat rumah tangga mereka diambang perceraian. Setelah gagal beberapa kali diam-diam Bella mengikuti proses kehamilan lewat insenminasi, dengan dokter sahabatnya.
Usaha Bella berhasil. Bella positif hamil. Tapi sang dokter meminta janin itu digugurkan. Bella menolak. dia ingin membuktikan pada suami dan mertuanya bahwa dia tidak mandul..
Namun, janin di dalam perut Bella adalah milik seorang Ceo dingin yang memutuskan memiliki anak tanpa pernikahan. Dia mengontrak rahim perempuan untuk melahirkan anaknya. Tapi, karena kelalaian Dokter Sherly, benih itu tertukar.
Bagaimanakah Bella mengahadapi masalah dalam rumah tangganya. Mana yang dipilihnya, bayi dalam kandungannnya atau rumah tangganya. Yuk! beri dukungungan pada penulis, untuk tetap berkarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab dua puluh, Hari yang sial!
Firasat Bella tidak enak, dan menyesali keputusannya masuk ke kantin perusahaan.
"Ini Bu," pelayan kantin meletakkan secangkir kopi di hadapan Bella, berikut beberapa potong roti. Bella tetap berusaha santai, meskipun pandangan nakal beberapa pria di kantin itu seolah hendak melahapnya.
Buru-buru Bella menikmati kopinya, setelah tersisa separuh, Bella membayar minuman yang dia pesan. Saat dia berbalik hendak meninggalkan kantin tiba-tiba saja sebuah suara memanggilnya.
Bella menoleh, ke arah sumber suara. Seorang wanita cantik, tubuhnya tinggi semampai. Pakaian yang dia kenakan menonjolkan bentuk tubuhnya yang seksi.
Bella merasa wajah itu tidak asing. Tapi sial, dia lupa samasekali dimana pernah melihatnya.
"Wao! Pantaslah suasana disini auranya mendadak serem. Ternyata memang ada penghuninya." suara itu terucap lantang.
Bella merasa bingung mendengar kata-kata itu. Karena merasa tidak kenal, dan ucapan itu juga mungkin tidak ditujukan padanya. Karenanya, Bella melanjutkan langkahnya.
Suara itu kembali menyapanya, membuat Bella menghentikan langkahnya, lagi.
"Duh, sombongnya. Lupa sama aku ya, atau pura-pura tidak kenal." sindirnya dengan senyum sinis.
"Maaf, saya tidak kenal Anda," sahut Bella tegas.
"Aha, benar juga. Kita memang tidak perlu saling kenal karena kita tidak selevel. Tapi untuk menyentil ingatanmu yang amnesia tidak ada salahnya juga aku kenalkan ulang siapa aku." ujarnya angkuh.
"Tidak perlu, aku tidak ada urusan dengan Anda. Permisi," tukas Bella, dan bergegas pergi. Namun, langkahnya lagi-lagi dicegat.
"Sombong amat! Aku Soraya, mantan kekasih Gavin." sebutnya kesal melihat reaksi Bella.
Mendengar nama itu, ingatan Bella langsung kembali. Perkenalan yang berakhir panas di rumah kakek.
"Oh, maaf, aku benar-benar lupa," reaksi Bella melunak saat ingat pertemuan pertama mereka.
"Masih muda sudah pikun," sindir Soraya. Bella tersenyum datar.
"Ngapain kamu disini. Memata-matai Gavin? Takut juga kamu kalau dia selingkuh ya?"
"Gak, tadi aku diajak kemari. Gavin sedang rapat. Aku hanya sedikit haus, jadi mampir kesini." ucap Bella santai.
"Kamu sendiri? Bukankah kantor kalian berbeda?"
"Ya, kantorku disana. Aku sudah terbiasa mampir disini. Aku sering kok makan bareng atau minum bersama Gavin disini." ucap Soraya, sepertinya sengaja memancing Bella agar cemburu.
"Oh ya? Lantas apa yang salah dari itu?" ucap Bella datar. Seolah tidak ada masalah dari itu. Soraya mengernyit heran.
"Kamu tidak cemburu?"
"Buat apa?" tandas ucapan Bella. Semakin membuat Soraya heran dan kali ini panas, karena gagal memancing emosi Bella.
"Aku sangat mempercayai Bang Gavin. Dia tidak akan berbuat macam-macam dibelakangku. Apalagi mengulang kembali masa lalunya. Kalian terhubung hanya karena urusan bisnis, iya kan?" ucapan Bella seolah tamparan keras di wajah Soraya. Sehingga rona wajahnya berubah-ubah.
'Sial! Rutuk Soraya dalam hati. Dia tidak menduga kalau Bella yang kelihatan polos akan memberi jawaban telak padanya.
"Syukurlah kalau kamu punya hati seluas itu. Tapi aku peringatkan kamu ya, lelaki dimanapun sama saja. Kalau disuguhkan hidangan pasti suka mencicipi." balas Soraya sengit.
"Tergantung hidangannya dong. Aku yakin, Gavin pasti suka milih-milih. Karena tidak semua makanan itu sehat, sekalipun terlihat enak dan menarik." sahut Bella membalas sindiran Soraya. Wajah Soraya semakin memerah. Bahkan hatinya juga ikut memanas. Terlihat dari sikapnya yang mulai gerah.
Sungguh, Soraya tidak menyangka Bella akan memberi pukulan telak padanya atas sindirannya itu.
Jika hanya soal bermain kata-kata, aku bukan lawanmu, Soraya. Monolog Bella. Saat melihat Soraya yang mendadak nervous. Bella segera berbalik. Takut Gavin sudah selesai rapat dan mencarinya karena tidak berada dalam ruangannya.
Bella bergegas menuju ruangan Gavin. Tapi sepertinya nasibnya memang sial sehari ini. Selalu bertemu dengan orang-orang yang selalu ingin menyakitinya.
Saat memasuki lobi menuju ruangan Gavin, Bella berpapasan dengan Ryan dan Karin. Mereka barusan saja keluar dari lif. Karin yang lebih dulu melihat Bella berjalan ke arah mereka.
"Astaga! Dunia ini sempit sekali. Bisa-bisanya kita bertemu disini." ucap Karin. Bella nyaris menabrak tubuh Karin, karena dia berhenti tepat di hadapannya.
"Maafkan saya Bu," ucap Bella tanpa melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Langkah kakinya yang tergesa membuatnya tidak fokus. Saat menyadari siapa yang hendak ia tabrak. Bella menarik nafasnya panjang dan menghelanya perlahan.
"Maaf, aku tidak sengaja," Bella mundur selangkah dan melanjutkan langkahnya lagi. Namun, Ryan menangkap lengan Bella. Terpaksa Bella berhenti.
"Lepaskan tanganmu itu, menjijikkan tau," Bella menepis cekalan tangan Ryan.
"Kenapa terburu-buru, Bella. Kamu takut ya, melihat kami." ejek Ryan.
"Takut? Kamu berubah jadi vampir sekalian pun aku tidak takut." tantang Bella acuh.
"Dih, sombongnya. Mentang-mentang telah dinikahi Ceo. Lagaknya seperti nyonya besar saja." sindir Karin.
"Trus, apa urusannya dengan kalian. Sirik ya, setelah lepas dari kamu hidupku berubah lebih baik. Terserah aku mau bagaimana, tidak ada hubungannya dengan kalian." kecam Bella sengit.
"Tentu saja tidak. Tapi kami hanya ingin mengingatkan. Bagaimana reaksi suamimu itu kalau dia tau kamu tidak bisa memberinya keturunan. Aku yakin kamu akan segera dibuang seperti sampah." cecar Ryan.
"Apa kamu mau melapor? Kamu kira semua orang seperti kamu. Bodoh dan terlalu dibutakan oleh ambisi? Padahal diri sendiri tidak mampu. sampai kamu menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisimu itu. Aku sangat kasihan padamu kalau pada akhirnya nanti kamu mengetahui kebenaran itu." Bella melirik Karin dengan sudut mata melecehkan.
"Maksud kamu apa? Kebenaran apa yang harus aku ketahui itu."
"Hem, tanyakan sendiri pada wanita jalangmu itu." Wajah Karin sontak memucat mendengar ucapan Bella.
Ryan menyipitkan matanya. Menatap Bella dan Karin bergantian penuh selidik. Ucapan Bella barusan berhasil mengusik pikirannya.
"Apakah ini soal uang? Kamu hendak memerasku ya. Apakah kamu kepikiran soal harta gono gini. Lantas kamu mau menuntutku. Atau akhirnya kamu mengetahui rahasia yang aku simpan selama ini? Oke, aku akan mengakuinya."
Bella sedikit bingung dengan ucapan Ryan. Ungkapannya apa jawabannya apa. Tapi hatinya juga penasaran apa maksud ucapan itu.
"Kuharap kamu tidak syok, Bell. Kalau selama ini aku memang telah membohongi kamu. Semua itu terjadi karena kebodohan kamu. Kamu begitu mudahnya diperdayai," kekeh Ryan semakin membingungkan Bella.
"Kamu tau tiidak," Ryan merengkuh Karin ke dalam pelukannya, " Karin adalah mantan pacarku. Dan kami kembali bertemu empat tahun yang lalu. Yah, aku sudah membohongimu selama empat tahun ini." Bella merasakan tubuhnya hendak jatuh. Dia sangat terguncang mendengar ucapan mantan suaminya yang tidak tau malu itu.
Jadi selama ini empat tahun ini dia telah dibohongi?
"Mengenaskan bukan, Bell. Ternyata kamu selama ini hanya istri pajangan. Dimanfaatkan sebagai pembantu gratis. Duh, betapa malangnya." cibir Karin tanpa perasaan.
"Berbuat dosa kok bangga. Karin, Karin. Justru nasibmu lah yang tragis. Kamu tinggal menunggu karma dari perbuatanmu. Aku harap bila saat itu tiba kamu sudah siap menerimanya."***