Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.
Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.
Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 — Seperti Perang
Deru napas para prajurit bercampur dengan suara logam beradu. Matahari pagi kian meninggi, menimpa alun-alun utara yang kini dipenuhi debu, keringat, dan suara perintah dari para pelatih.
Tiga sosok di tengah lapangan menjadi pusat perhatian.
Suraghana, Sempakwaja, dan Wirabuana, tiga pangeran pewaris Galuh, kini sedang ditempa oleh latihan paling berat dalam bulan itu.
Bukan hanya memanah.
Hari ini, latihan mereka mencakup tombak, tameng, bahkan kuda perang.
“Serang dari kanan, Wira!” teriak Sempakwaja sambil memutar tombak di tangannya.
Tombaknya beradu dengan senjata Suraghana, mengeluarkan bunyi nyaring.
Wira melompat ke samping, menangkis serangan dengan perisai bulat di lengannya. Napasnya tersengal.
Keringat menetes dari pelipisnya, bercampur dengan debu.
Satu tebasan hampir mengenai pundaknya. Ia mundur setapak, lalu menangkis cepat.
Suara logam kembali beradu.
“Nggh... Kakang ini kalau bertarung sampai matahari di atas kepaal, rasanya nafasku hampir habis…” keluh Wira.
Suraghana menatapnya tajam, tapi bahunya pun naik turun menahan lelah. “Kau... lemah!” katanya tegas — tapi suaranya ikut berat, napasnya juga tersengal-sengal.
Sempakwaja yang di sisi lain tertawa kecil sambil menahan dorongan tombak dari prajurit.
“Apakah ini masih lama? Aku sudah ingin meneguk air kendi,” ujarnya setengah berbisik, setengah mengeluh.
“Diam! Kalau Ayahanda dengar, bisa-bisa kita disuruh dua kali lipat latihan,” balas Suraghana dengan napas tersengal.
Mereka masih bertarung, tapi kini, lebih mirip perang rahasia penuh bisik-bisik dan keluhan kecil.
Sesekali Suraghana menahan senyum melihat dua adiknya yang masih sempat bercanda di tengah keringat dan debu.
Kemudian,
Suara trompet panjang terdengar dari sisi timur alun-alun.
Dari balkon tinggi istana, tampak sosok Raja Galuh berdiri tegap.
Jubahnya berkibar tertiup angin. Ia mengangkat tangan kanan perlahan, tanda latihan selesai.
Begitu tangan itu terangkat, seluruh lapangan berhenti serempak.
Tiga pangeran itu nyaris bersamaan menjatuhkan diri di tanah, duduk bersandar pada lutut masing-masing, kehabisan napas.
“Puji Sang Hyang Widhi…” desah Wira di antara napasnya yang tersisa.
“Berkali-kali latihan, tetap saja seperti perang sungguhan,” ujar Sempakwaja sambil tertawa kecil, menyeka keringat di lehernya.
Suraghana menancapkan tombaknya ke tanah, berdiri tegap walau napasnya masih berat.
“Latihan ini... bukan hanya tentang kuat. Tapi tentang bertahan. Dalam perang, tak ada waktu memilih kapan lelah boleh datang.”
Wira menatap kakaknya, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu… bolehkah lelah ini datang setelah minum air kendi dulu, Kakang?”
Sempakwaja langsung terkekeh, “Nah, itu benar Wira.”
Beberapa prajurit mulai merapikan alun-alun.
Kuda-kuda yang tadi dilepaskan dikembalikan ke kandang. Hanya sisa debu yang masih melayang.
Dari balkon, Raja Galuh menatap ketiga putranya lama. Senyum tipis terlukis di wajahnya.
Ketiga pangeran itu segera bangkit berdiri, menegakkan tubuh, dan memberi hormat ke arah balkon istana.
Raja Wretikandayun berdiri tegap di sana, disampingnya Ibu Ratu yang anggun, sementara di sisi kiri tampak Puspa dan Kencana berdiri sopan, ditemani para emban.
Suraghana menepuk bahu dua adiknya pelan.
“Jadi… pakaian yang di samping kiri Ibu Ratu itu yang kalian tertawakan, ya?” suaranya datar, tapi mata tajamnya menyiratkan nada menggoda.
Sempakwaja buru-buru menahan senyum.
“Bukan begitu, Kakang…” ujarnya dengan nada yang dibuat serius, padahal ujung bibirnya hampir terangkat.
Wirabuana menyahut cepat, “Aku malah lebih fokus ke sisi yang lain, Kakang.”
Sempakwaja menoleh dengan alis terangkat, pura-pura heran. “Sisi yang lain? Maksudmu siapa, Wira?”
Wira menghela napas, lalu menatap lurus ke arah balkon. “Tentu saja… Puspa, Kakang.”
Sempakwaja langsung tertawa pelan, menepuk bahu adiknya. “Ah, kukira Ayahanda yang menarik perhatianmu.”
Suraghana menggeleng sambil menarik napas panjang, melihat tingkah mereka.
“Cukup kalian berdua. Bersihkan diri. Ayahanda dan Ibu pasti akan segera menuju ke di Sri Manganti. Jangan buat mereka menunggu lama.”
Ketiganya kembali memberi hormat saat Raja Wretikandayun berbalik.
Beliau berjalan masuk ke arah istana bersama Ibu Ratu, diikuti Puspa, Kencana, dan para emban.
“Ayo, Kakang… kita harus segera membersihkan diri. Aku tidak ingin bertemu Puspa dengan bau seperti lutung!” seru Wira, menarik tangan kedua kakaknya.
“Ah… aku ingin minum air di kendi itu dulu, Wiraaa!” keluh Sempakwaja sambil menahan langkah.
“Sudah, minum saja di Sendang Pangurasan, airnya lebih sejuk!” Wira menariknya makin cepat.
Surughana hanya tertawa pasrah mengikuti dua adiknya. “Sepertinya aku akan menghabiskan nasi sebakul setelah ini…”
Ketiga pangeran sudah tiba di Sendang Pangurasan. Udara terasa sejuk, pepohonan besar menaungi sendang yang airnya berkilau memantulkan cahaya matahari.
Asap tipis dupa cendana dari wadah tembaga di sudut sendang masih mengepul pelan, menebar wangi yang menenangkan.
Sempakwaja langsung meneguk air dari gayung tembaga.
“Ahh… ini baru namanya hidup,” katanya sambil menghela napas lega. “Kalau latihan seperti tadi terus, aku bisa kurus seperti anak gembala.”
Wira terkekeh. “Kau tidak akan kurus, Kakang. Perutmu sudah seperti domba hamil.”
Surughana mulai melepas kain yang melilit badannya.
“Kalian ini seperti bocah pasar? Kalau prajurit mendengar, kabar ini bisa sampai ke Ayahanda.”
Tanpa menjawab, Wira menanggalkan kain luarnya dan terjun ke air. Cipratannya mengenai wajah Sempakwaja.
“Wira!” seru Sempakwaja, tapi beberapa detik kemudian ia ikut menceburkan diri, membuat air sendang beriak lebar.
Surughana berdiri di tepi bersiap untuk bergabung.
“Kau pikir sendang ini masih muat untuk kita bertiga bermain? Nanti kalau emban Ratu lewat—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara lembut dari arah gapura batu di sisi timur sendang.
“Apakah Kakang-Kakang Pangeran sudah selesai membersihkan diri…?”
Ketiganya sontak menoleh. Dari balik gapura, tampak Kencana berdiri bersama dua emban, membawa lipatan kain di atas nampan.
Wira sontak merunduk ke dalam air, menutupi dadanya, begitu juga Sempakwaja.
“Kencana?! Apa yang kau lakukan di sini?! Ini tempat para pria!” Jawab Surughana yang menaikkan pakaiannya lagi.
Kencana sedikit menunduk sopan. Suaranya tenang.
“Ibu Ratu memintaku membawa baju ganti kalian, Kakang. Akan aku taruh di atas batu pelinggihan.”
Sempakwaja berdeham. “Seharusnya para abdi saja yang mengantarkan, bukan putri dari kadipaten yang sedang berkunjung…”
Kencana hanya tersenyum tipis. “Para abdi sibuk menyiapkan santapan siang. Aku kebetulan tidak sibuk, jadi membantu.”
Surughana menegakkan tubuhnya, nadanya tetap tegas.
“Baiklah, Kencana. Terima kasih. Sampaikan pada Ibu Ratu, kami akan segera menyusul ke Sri Manganti.”
Kencana mengangguk. “Baik, Kakang.”
Namun sebelum berbalik, matanya sempat melirik sekilas ke arah Wirabuaba dan Surughana, lalu ia tersenyum samar dan pergi bersama para emban.
Begitu langkah mereka menghilang Sempakwaja meledak tertawa.
“Hahaha! Wira, kenapa kau diam saja di air begitu...Kau pikir badanmu tertutup oleh jernihnya air sendang?”
Wira menghela napas, memercikkan air ke wajah kakaknya. “Kakang, demi semua leluhur, lain kali aku akan berendam di sungai belakang saja.”
"Lebih sabarlah kalian,” ujar Surughana sambil menyeka air dari rambutnya.
Surughana sudah masuk ke air, dia tampak tenang di antara dua adiknya yang masih menggerutu.
“Bagaimana bisa sabar, Kakang?” sahut Wira dengan nada sebal. “Kencana itu sudah seperti....apa ya...seperti bayangan yang muncul di mana-mana!”
“Benar!” timpal Sempakwaja cepat. “Tiba-tiba muncul di pendopo, di aula pertemuan, di alun-alun, sekarang tiba-tiba di sendang… besok jangan-jangan muncul di kamar kalian!”
Surughana memutar bola matanya, berusaha menahan tawa. “Kalau begitu, aku akan menambah dua pengawal di depan bilikku.”
Wirabuana mengangguk serius,
“Aku juga, Kakang. Siapa tahu malam-malam ada yang membawa nampan berisi pakaian.”
Sempakwaja berdiri mengambil baju gantinya. “Atau membawa dupa dan berkata, ‘Kakang, aku hanya lewat.’”
Mereka bertiga tertawa, hingga suara mereka menggema di antara pepohonan di sekitar sendang.
Setelah selesai bersiap. Ketiganya melangkah meninggalkan Sendang Pangurasan. Tubuh mereka sudah bersih, pakaian telah diganti, dan aroma cendana masih menempel di kulit. Langkah mereka tegap, meski wajah masih menunjukkan sisa lelah dari latihan pagi.
Lorong menuju Sri Manganti terbentang panjang, diterangi cahaya matahari yang menembus kisi-kisi jendela berukir. Dari kejauhan, terdengar lembut suara gamelan, tanda jam santap siang kerajaan dimulai.
Begitu mereka tiba, aroma masakan rempah langsung menyambut.
Meja besar sudah dipenuhi hidangan: nasi gurih, ayam panggang, sayur lodeh, dan mangkuk-mangkuk kecil berisi sambal kacang serta buah.
Di ujung meja, Raja Wretikandayun duduk berwibawa, di sisi kanannya Ratu, sementara di sisi kiri tampak Jagatpati, dengan tatapan tajam.
Puspa duduk tenang di dekat Ibunda Ratu, senyumnya lembut namun matanya menunduk sopan.
Sementara Kencana, di seberang meja, tampak anggun khas bangsawan.
Begitu ketiga pangeran masuk, para pelayan segera membungkuk hormat.
Raja menatap ketiganya. “Kalian datang tepat waktu,” suaranya berat namun tidak marah. “Ayo segera duduk.”
Ketiganya memberi hormat dalam-dalam.
Wira berusaha menatap ke arah Puspa, matanya sempat menangkap senyum tipis gadis itu, senyum yang membuat detak jantungnya kembali tak teratur.
Jagatpati tak berkata apa pun untuk waktu yang lama.
Kemudian bibirnya bergerak pelan, suaranya rendah namun cukup jelas terdengar di seluruh ruangan.
“Jadi… inikah gadis yang kau pilih itu Wira?”