Setelah menaklukan dunia mode internasional, Xanara kembali ke tanah air. Bukan karena rindu tapi karena ekspansi bisnis. Tapi pulang kadang lebih rumit dari pergi. Apalagi saat ia bertemu dengan seorang pria yang memesankan jas untuk pernikahannya yang akhirnya tak pernah terjadi. Tunangannya berselingkuh. Hatinya remuk. Dan perlahan, Xanara lah yang menjahit ulang kepercayaannya. Cinta memang tidak pernah dijahit rapi. Tapi mungkin, untuk pertama kalinya Xanara siap memakainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayalifeupdate, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Yang Tidak Di Rencanakan
Malam itu, Xanara pulang dengan pikiran yang kacau tapi anehnya ringan. Kata-kata Harvey terus bergema di kepalanya, ‘aku gak akan mundur, jadi kamu juga jangan’. Rasanya seperti pesan yang tak sekedar manis, tapi juga penuh tantangan.
Keesokan paginya, ia membuka butik sedikit lebih awal. Di meja kerja, ia memandangi sketsa setengah jadi semalam yang gagal ia selesaikan. Bukan karena taka da ide, tapi karena wajah Harvey terus menyelinap di benaknya, mengacaukan fokusnya dengan senyum dan tatapan yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang.
Tak lama kemudian, pintu terbuka dan suara yang sudah ia kenal terdengar menyapanya.
“Pagi, sayang” ucap Harvey berdiri disana, mengenakan kemeja biru langit dengan lengan tergulung, satu tangan membawa kopi, tangan lainnya kantong kertas berisi croissant.
“Sarapan untuk desainer favoritku”
“Favorit? Ada berapa desainer yang kamu kasi makan begini?” tanya xanara dengan mengangkat alis, dan tersenyum setengah geli.
“Hanya satu, dan kebetulan dia buat aku gak bisa tidur semalam” jawab Harvey.
Ucapan itu membuat pipi Xanara sedikit menghangat, tapi ia pura-pura sibuk membereskan meja.
“Kamu datang hanya untuk memberi makan atau ada misi lain?”
Harvey memeluk Xanara dari belakang, yang membuat Xanara terperanjat.
“Aku mau ajak kamu pergi ke luar kota, butuh udara segar”
“Kok mendadak, ada urusan kerja?”
“Bisa dibilang iya, bisa dibilang gak. Lebih tepatnya akum au urusan sama kamu”
Cara Harveymengucapkannya membuat bulu kuduk Xanara meremang, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu di tatapan itu yang membuatnya merasa ia sedang diajak ke dalam lingkaran pribadi Harvey, sesuatu yang tak semua orang bisa memasuki.
Mereka pun duduk bersama, membicarakan detail rencana kecil itu, kapan berangkat, kemana tujuannya, dan bagaimana agar tidak terlalu menarik perhatian orang, mengingat hubungan mereka baru saja menjadi bahan gosip.
Xanara pura-pura acuh, tapi dalam hatinya ia sudah membayangkan suasana di perjalanan nanti.
Saat Harvey hendak pergi, ia menahan langkahnya.
“Sayang… gak usah hawatir sama yang lain. Perjalanan ini cuma buat kita” ucap Harvey dengan suaranya yang rendah.
Xanara mengangguk, meski ia tahu perjalanan ini bisa membawa hubungan mereka ke level yang lebih jauh, dan mungkin akan terlalu jauh.
Mobil hitam Harvey melaju mulus meninggalkan hiruk-piruk ibu kota. Music mengalun pelan dari speaker, namun lebih sering diiringi tawa kecil atau sindiran ringan diantara mereka.
Xanara duduk di kursi penumpang, menatap jalanan yang mulai menjadi pemandangan hijau.
“Jadi kita beneran gak mampir kemana-mana dulu?” tanya Xanara.
“kalau aku bilang mau mampir, itu cuma untuk hal-hal yang gak ada di itineravy wisata” jawab Harvey melirik sekilas.
“Misalnya?” tanya xanara pura-pura tidak paham.
“Misalnya cari tempat sepi,negobrol berdua atau—”
“—atau kamu mulai melantur” potong Xanara dengan cepat tapi senyumnya tidak bisa disembunyikan.
Harvey tertawa kecil, lalu tanpa banyak bicara, tangannya menjangkau tangan Xanara di kursi penumpang. Ia menggenggamnya, hangat, mantap tapi tidak terllau erat.
“Nyetir yang bener” ucap Xanara
“Nyetirnya udah bener, ini bonus”
Sepanjang perjalanan genggaman itu tak dilepas. Ada kalanya ibu jari Harvey mengusap pelan punggung tangan Xanara, Gerakan sederhana tapi membuat napasnya sedikit tak teratur.
Setelah hampir dua jam, mereka melewati jalan berkelok di pinggir danau. Harvey melambatkan laju mobilnya lalu berhenti di area parkir kecil yang sepi.
“istirahat sebentar” ucap Harvey singkat.
Begitu mesin dimatikan, hening menyelimuti mereka, hanya terdengar suara angin dan gemercik air dari kejauhan. Harvey menoleh sepenuhnya kearah Xanara mempelajari setiap detail wajahnya.
“Sayang, aku sudah lama ingin momen seperti ini, gak ada orang, gak ada kamera. Cuma kamu” ucap Harvey nyaris berbisik.
Xanara merasa tatapan itu terlalu dalam, terlalu dekat. Dan sebelum ia sempat menjawab, Harvey sudah memiringkan tubuhnya, menyandarkan tangannya disandaran kursi penumpang, mendekat begitu dekat hingga napasnya menyapu pipi Xanara.
“Harvey” suara xanara melemah, tapi bukan karena takut, lebih karena suara detak jantungnya yang berpacu cepat.
“Tenang, aku gak buru-buru” ucap Harvey dengan tersenyum tipis dan sedikit mundur.
Harvey kembali menyalakan mesin mobilnya, dan melanjutkan perjalanan dengan senyum yang membuat Xanara bertanya-tanya, ‘buru-buru untuk apa?’.