Ivana Joevanca, seorang wanita ceria dan penuh ide-ide licik, terpaksa menikah dengan Calix Theodore, seorang CEO tampan kaya raya namun sangat dingin dan kaku, karena tuntutan keluarga. Pernikahan ini awalnya penuh dengan ketidakcocokan dan pertengkaran lucu. Namun, di balik kekacauan dan kesalahpahaman, muncul percikan-percikan cinta yang tak terduga. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai, sambil menghadapi berbagai tantangan dan komedi situasi yang menggelitik. Rahasia kecil dan intrik yang menguras emosi akan menambah bumbu cerita.
“Ayo bercerai. Aku … sudah terlalu lama menjadi bebanmu.”
Nada suara Ivy bergetar, namun matanya menatap penuh keteguhan. Tidak ada tangis, hanya kelelahan yang dalam.
Apa jadinya jika rumah tangga yang tak dibangun dengan cinta … perlahan jadi tempat pulang? Bagaimana jika pernikahan ini hanyalah panggung, dan mereka akhirnya lupa berpura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 - Between Us
“Jangan pergi,” katanya lirih.
Calix menoleh, kaget. Untuk sesaat ia melihat Ivy seperti orang lain—mata jernihnya bergetar, wajahnya rapuh. Namun sebelum ia sempat menanggapi, Ivy malah menyeringai kecil.
“Kau harus menemaniku di rumah sore ini. Kau tahu, jadi suami yang baik itu bukan cuma soal pekerjaan.”
Calix menahan napas, lalu mendesah. “Kau benar-benar … menyebalkan.”
“Salah sendiri sering membuatku kesepian.” Ivy terkekeh, melepaskan genggaman tangannya sambil berbalik mengambil sebiji stoberi di mangkuk. Seolah-olah kalimat “jangan pergi” barusan tidak pernah terucap.
Calix hanya berdiri terpaku. Ia tahu, Ivy sedang menyembunyikan sesuatu. Namun sisi menyebalkan Ivy itu justru membuatnya tidak bisa marah.
Calix melangkah pelan mendekat, menatap punggung Ivy yang tampak kecil meski sikapnya selalu berisik.
“Kau tidak akan pernah berhenti membuatku bingung, ya?” ucapnya setengah serius.
Ivy menoleh dengan senyum lebarnya, mengunyah stroberi dengan gaya seenaknya. “Baguslah kalau bingung. Itu artinya aku berhasil jadi istri yang berkesan. Kau tak akan lupa padaku meskipun suatu hari nanti —”
Kalimatnya menggantung, pura-pura batuk, lalu menutupi mulutnya dengan punggung tangan. “Maksudku, meskipun suatu hari nanti kau sibuk sekali sampai tak sempat pulang.”
Calix mengerutkan kening, matanya tajam meneliti wajah istrinya. “Ivy …”
“Apa?” Ivy mengangkat bahu, sengaja terlihat santai. “Aku hanya merindukan suamiku, tahu.”
Calix menekan pelipisnya, setengah ingin tertawa, setengah ingin memeluknya. “Kau benar-benar —”
“Cantik? Kau tahu hal itu dengan pasti. Aku wanita yang sempurna.” Ivy menyambar cepat, matanya berkilat nakal.
"— menyebalkan,” jawab Calix, tapi nada suaranya melembut, jauh lebih hangat dari biasanya.
Ivy terkekeh lagi, namun ada detik singkat di mana tawanya terdengar tipis, seolah hampir pecah. Ia segera menutupinya dengan melompat ke sofa, menggulir ponselnya sambil bersenandung.
Calix berdiri di sana, memperhatikannya lama. Baginya, Ivy seperti teka-teki yang tak akan pernah selesai.
Dan anehnya, ia tidak ingin menyelesaikannya.
“Mulai besok, kau tidak boleh pulang larut lagi. Aku akan membuat aturan baru untukmu," katanya lagi setelah pria itu ikut duduk di sampingnya.
Calix menaikkan alis. “Aturan?”
“Ya,” jawab Ivy sambil menarik dasinya lebih dekat hingga wajah mereka hampir sejajar. “Suami harus tunduk pada istri. Itu hukum alam!”
Ia terkekeh puas, lalu dengan sengaja mencium pipi Calix ringan sebelum bergerak mengambil stroberi lagi di mangkuk. Gaya seenaknya itu sudah biasa ia lakukan dan Calix tentu tidak pernah menolaknya.
"Kau semakin berani ya." Suaranya tegas, dingin, seolah memberi peringatan. Lengan besar Calix sudah melingkar di pinggangnya, mengunci dirinya dalam rengkuhannya.
“Salah sendiri sering membuatku kesepian,” ujarnya dengan nada pura-pura merajuk.
Calix menatapnya tajam. “Kau ini —” Ia menahan diri untuk tidak memarahi, karena tahu Ivy memang tidak pernah benar-benar melawan. Gadis itu hanya suka mencari perhatian dengan cara kekanak-kanakan.
"Apa? Memang benar, kan?"
Calix tidak menjawab. Ia hanya mengangkat dagu Ivy dengan ujung jarinya. Ivy menggeliat sebentar, tapi tidak berani menghindar. Napasnya tercekat ketika pria itu menunduk, lalu menempelkan bibirnya pelan ke bibir Ivy.
Bukan ciuman panjang, hanya singkat, cukup untuk membuat Ivy diam membeku.
“Kau terlalu berisik sejak pagi,” bisik Calix dingin di antara jarak tipis mereka.
Ivy menelan ludah, wajahnya memerah. “I — Itu … salahmu. Kalau kau ada di rumah lebih lama, aku tidak akan merasa bosan.”
“Kau memang semakin berani.” Suara Calix rendah, nyaris seperti ancaman.
Ivy tersenyum ceria. “Kalau begitu hukum saja aku. Mulai sekarang aku akan membantahmu!"
Pria itu tidak menunggu lagi. Dengan gerakan cepat ia menunduk, menempelkan bibirnya ke bibir Ivy. Ciumannya dalam, tak memberi ruang untuk protes. Ivy sempat terkejut, tubuhnya kaku sesaat, tapi segera luluh, tangannya refleks mencengkeram kerah kemeja Calix.
“Hmph …,” gumam Ivy di sela ciuman, napasnya terengah, pipinya memerah.
Calix hanya memperdalam ciuman itu, menuntut lebih, seolah ingin menghukum sekaligus menguasai. Lengan kokohnya menarik pinggang Ivy hingga tubuh kecil itu rapat menempel padanya.
Saat akhirnya ia melepaskan, Ivy benar-benar terengah. Bibirnya basah, matanya berair, dan wajahnya menunduk. “K — kau jahat …,” katanya pelan, suaranya nyaris seperti rengekan anak kecil.
Calix menyentuh dagunya, memaksa Ivy menatap. “Kau sendiri yang menantangku.”
Ivy menggeleng cepat, pipinya makin merah. “Bukan berarti seperti itu!”
Pria itu tersenyum tipis, bukan mengejek, tapi hangat dan penuh kuasa. Ia menunduk lagi, mengecup singkat bibir Ivy sebelum berbisik di telinganya.
“Mulai sekarang, jangan pernah berkata kau kesepian. Aku tidak akan membiarkanmu merasa begitu lagi.”
Ivy memejamkan mata, jantungnya berdebar. Ia ingin membantah, ingin pura-pura marah, tapi tubuhnya malah menempel erat pada Calix, seakan mencari perlindungan.
Dan Calix, meski berusaha terlihat tenang, tahu betul ia sudah kalah — bukan pada sikap menyebalkan Ivy, tapi pada pesona rapuh yang selalu ia sembunyikan di baliknya.
Calix memperdalam ciumannya lagi, kali ini lebih menuntut. Tubuh Ivy hampir terangkat ketika pria itu menariknya makin rapat ke dadanya. Lengan kokoh Calix menahan pinggangnya, mendorong perlahan hingga punggung Ivy menempel ke sofa.
“Ngh … Ca — Calix ...” Ivy mendorong dada suaminya dengan kedua telapak tangan mungilnya, tapi tenaganya sama sekali tidak sebanding.
“Apa?” Suara Calix berat, napasnya panas membelai wajahnya. Bibirnya masih terus mengejar, sesekali menggigit ringan bibir bawah Ivy.
“K — kita … jangan di sini,” gumam Ivy terbata, matanya berkeliling panik. “Ruangan ini … bisa saja ada yang masuk! Kalau ketahuan karyawan lain bagaimana?”
Ini bukan ruangan CEO jika tidak ingat!
Calix tersenyum miring, tatapannya berbahaya. “Biar saja. Mereka akan tahu siapa pemilikmu sebenarnya.”
“C — Calix!” Ivy hampir menangis saking gugupnya. Ia menggeliat, mencoba melepaskan diri. “Aku serius! Tolong — jangan sekarang.”
Aku masih ingin bekerja dengan damai!
Pria itu menahan gerakan Ivy dengan mudah, jari-jarinya mengusap lembut pipinya yang merah padam. “Kau selalu tahu cara membuatku kehilangan kendali.”
Ivy menggigit bibirnya, lalu memohon lirih. “Aku takut ....”
Kali ini Calix terdiam. Ia menunduk, menempelkan dahinya ke dahi Ivy, menarik napas panjang seolah berusaha menahan diri.
“Baiklah,” katanya akhirnya, meski suaranya terdengar berat. “Kau menang kali ini.”
Ia melepaskan pelukan kuatnya, namun sebelum benar-benar mundur, Calix menempelkan kecupan terakhir di bibir Ivy — dalam dan penuh penegasan.
Ivy menunduk cepat, bersembunyi di balik rambutnya, wajahnya merah sekali. Tangannya gemetar memegang ujung bajunya.
Calix menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. “Jangan kira kau bisa kabur. Malam ini … aku akan menagih.”
Ivy langsung menoleh dengan mata membelalak. “Apa!”
Pria itu hanya terkekeh kecil, berdiri dengan santai sambil merapikan dasinya, seakan tidak terjadi apa-apa. Sementara Ivy, masih terduduk di sofa, tidak bisa mengendalikan degup jantungnya yang kacau balau.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Kita sambung dengan yang manis-manis dulu ya🤭 biar ga terlalu tegang karena novel ini akan aku buat cukup berat konfliknya....
...Btw sebagai informasi. Aku tidak bisa janji untuk up setiap hari ya, tapi aku usahakan up jika ada waktu! Jujur aku mayan cape dan kadang ga ada waktu karena kerja seharian. jadi susah atur waktu buat nulis ontime. Terima kasih❤❤...
respon Calix yg membuatku terdiam thor.
Jangan macam² ya Calix, awas memang km
mungkin si ivy klo melek jg bakal meleyot ya /Applaud/emhh manisnya abang cal/Kiss/
semangat kaka sehat selalu
pliss thor jangan sampai hiatus lagi yaa and jaga kesehatan selalu