Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.
Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.
Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Barang Bukti Ditemukan
Malam itu jalanan kota lengang, hanya lampu-lampu jalan yang menyinari dengan cahaya kekuningan. Angkasa menancap gas, mengejar mobil hitam yang melesat di depannya. Giginya terkatup rapat, napasnya memburu, ini bukan sekadar pengejaran biasa, ini tentang reputasi dan kehormatan yang bisa hancur seketika.
Di dalam mobil yang dikejarnya, dua pria yang sejak tadi diperingatkan oleh Langit tampak gelisah. Mereka menoleh ke belakang berkali-kali. Lampu mobil Angkasa terus membayangi, membuat mereka panik.
“Dia tidak nyerah-nyerah!” salah satu pria memukul setir.
“Kita tidak bisa terus-terusan seperti ini. Kalau dia dapat flashdisk itu, tamat kita!” sahut yang satunya, berkeringat dingin.
Dengan panik, mereka memutar setir tajam, berbelok ke sebuah jalan kecil yang nyaris gelap total. Jalannya menanjak dan sempit, membawa mereka ke sebuah bangunan tua. Dari luar, bangunan itu tampak menyeramkan, dinding kusam, jendela pecah, cat mengelupas. Sekilas, seperti rumah hantu yang ditinggalkan bertahun-tahun.
Tapi di dalamnya, tersimpan sebuah sarang, markas berandalan, gembong perampok, pencuri, juga para pengedar narkoba.
Mobil mereka berhenti di halaman yang dipenuhi motor-motor berderet. Belasan pria dengan tatapan bengis keluar satu per satu dari pintu dan sudut gelap bangunan itu. Bau rokok dan minuman keras menyergap udara.
“Kita aman di sini,” gumam salah satu dari dua pria itu, lalu melangkah cepat masuk ke ruang kerja di dalam bangunan. “Biar anak-anak yang urus Angkasa. Kita fokus upload videonya di yutup.”
^^^
Mobil Angkasa berhenti di depan bangunan tua itu. Mesin masih menyala, namun dirinya sudah keluar, menutup pintu dengan hentakan keras. Matanya menyapu sekeliling, ia tahu ini bukan sekadar markas kecil.
Beberapa pria berotot dengan tato di lengan mulai mengelilinginya. Salah satu maju dengan batang besi di tangan.
“Udahlah, bos. Malam ini lo nyasar ke tempat yang salah,” ucapnya dengan nada mengejek Angkasa.
Angkasa tak menjawab. Ia menarik napas dalam, lalu berdiri tegak, kedua tangannya mengepal.
Serangan pertama datang, batang besi mengayun deras. Angkasa menunduk cepat, tubuhnya merunduk ke samping, lalu sebuah tendangan memutar mengenai dada pria itu. Tubuh sang lawan terlempar menghantam motor di belakangnya.
Serangan lain menyusul. Tiga orang langsung maju, menghantam dengan tinju dan kayu. Angkasa melawan balik, bergerak lincah, pukulan kanan mengenai rahang, siku menghantam perut, tendangan melayang ke kepala.
Namun jumlah mereka terlalu banyak. Satu demi satu kembali datang. Angkasa sempat menahan, tapi tubuhnya mulai babak belur. Darah menetes di sudut bibir, napasnya tersengal. Ia sempat jatuh tersungkur, lututnya menyentuh tanah.
Salah satu dari mereka menendang perutnya. “Habis lo malam ini!”
Namun di titik itu, Angkasa justru tersenyum samar. Ingatannya melayang ke masa lalu, ketika sekolah, ia sabuk hitam taekwondo, juga seorang yang tak pernah gentar dalam tawuran. Ia teringat kembali bagaimana ia selalu bangkit, meski dikeroyok.
Dengan sisa tenaga, Angkasa bangkit. Pukulan bertubi-tubi ia layangkan. Suara tulang beradu, jeritan singkat, beberapa tubuh tumbang satu per satu.
Keringat bercucuran, darah mengalir, tapi mata Angkasa tetap tajam. Ia menerobos masuk ke dalam bangunan, menuju ruang kerja dua pria itu.
^^^^^
Dua pria itu panik di depan laptop. Flashdisk sudah terpasang, video yang mereka yakini bisa menghancurkan Angkasa dan Talita mulai terupload 85%. Wajah mereka tampak pucat dan tubuh gemetar.
“Cepet, cepet!”
“Sedikit lagi… tinggal klik…”
Pintu tiba-tiba terbuka keras. Angkasa berdiri di sana, tubuhnya lebam, kemeja berantakan, tapi sorot matanya menyala penuh amarah.
“Masih sama aja kalian…” suaranya berat, serak, “…iri dari dulu tidak pernah hilang.”
Kedua pria itu membelalak. “Kau… Angkasa?”
“Dulu di kampus kalian tidak pernah bisa kalahin gue. Dan sekarang masih sama, kalian cuma bisa main kotor.”
Pertarungan kembali terjadi di ruang kerja. Meja terbalik, kursi terlempar, laptop hampir jatuh ke lantai. Angkasa menghajar mereka satu per satu dengan brutal, meski tubuhnya sendiri sudah goyah.
Akhirnya, dengan satu hentakan, Angkasa menumbangkan mereka. Ia meraih flashdisk itu dari laptop, mencabutnya sebelum video sempat terkirim.
Laptop berkedip, sambungan internet terputus. Video batal ter-upload.
^^^^^
Dengan langkah gontai, Angkasa keluar dari bangunan tua itu lewat pintu belakang. Tangannya masih menggenggam flashdisk erat-erat, seolah benda itu adalah nyawanya sendiri.
Ia masuk ke mobil, menyalakan mesin, dan melajukan mobil menuju rumah.
Namun tubuhnya sudah tak sanggup lagi. Luka-luka dan pukulan membuatnya kehilangan banyak tenaga. Sampai di depan rumah, ia masih sempat turun dari mobil, tapi baru beberapa langkah sebelum membuka pintu rumah… tubuhnya jatuh terkapar di teras.
“Ugh…” hanya suara lirih yang keluar sebelum pandangannya gelap.
^^^^
Pintu terbuka pelan dari dalam. Bintang yang hendak keluar karena mendengar mesin mobil Angkasa, terkejut melihat Angkasa tergeletak tak sadarkan diri.
“Tuan Angkasa…?” suara kecilnya tercekat.
Bintang segera berlari, tubuh mungilnya mengguncang Angkasa yang penuh darah dan luka. Matanya melebar, panik, lalu berteriak memanggil Talita dari dalam rumah.
“Mama! Cepet! Tuan Angkasa jatuh di depan pintu!”
Talita buru-buru keluar, rambutnya masih terurai, wajahnya lelah setelah seharian menjaga Langit. Dan di sana… ia melihat Angkasa. Tergeletak. Babak belur. Nafasnya tersengal, wajahnya lebam, darah menetes dari pelipis.
Sekejap jantung Talita berdegup kencang. Pemandangan itu membuatnya nyaris tak percaya, Angkasa, pria arogan yang selalu berdiri di atasnya, kini lunglai tak berdaya di depan matanya.
“Tuan…Tuan…” suara Bintang bergetar, air matanya mengalir. “Mama, tolongin Tuan Angkasa…”
Talita menunduk, memandang Angkasa lama. Ada sekelebat rasa panik… namun segera ditelan oleh sesuatu yang lebih kuat, sebuah kepuasan dingin.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghela dengan senyum samar.
“Hah… jadi begini akhirnya. Aku nggak perlu repot-repot melukaimu, Angkasa. Kau sudah melukai dirimu sendiri.
Bintang menatap Mamanya dengan bingung. “Mama? Kok… Mama diem aja? Tuan Angkasa butuh bantuan…”
Talita berjongkok sebentar, menatap wajah Angkasa yang penuh luka. Dalam hati, ia merasakan kenikmatan aneh melihat pria itu terbaring tak berdaya. Semua kesombongan, semua ejekan, semua luka batin yang Angkasa tanamkan padanya… malam ini seolah sedikit terbalaskan.
“Sudah sepantasnya dia merasakan ini,” gumam Talita dingin.
Bintang menggeleng keras, mulai menangis. “Mama jahat! Tuan Angkasa nanti mati…”
Talita berdiri perlahan, menepuk bahu Bintang dengan lembut. “Sudah, Bintang. Biar dia urus dirinya sendiri. Kita tidur. Besok juga bangun sendiri.”
“Mama…” Bintang memeluk Talita erat-erat, masih menoleh ke arah Angkasa yang tak bergerak.
Tanpa lagi menoleh, Talita menarik Bintang masuk ke dalam rumah. Ia menutup pintu dengan tenang, lalu berjalan ke kamarnya.
Sementara di luar, Angkasa masih terbaring, tubuhnya dingin diguyur angin malam, sendirian.
makasih sudah mampir