Lady Seraphine Valmont adalah gadis paling mempesona di Kekaisaran, tapi di kehidupan pertamanya, kecantikannya justru menjadi kutukan. Ia dijodohkan dengan Pangeran Pertama, hanya untuk dikhianati oleh orang terdekatnya, dituduh berkhianat pada Kekaisaran, keluarganya dihancurkan sampai ke akar, dan ia dieksekusi di hadapan seluruh rakyat.
Namun, ketika membuka mata, ia terbangun ke 5 tahun sebelum kematiannya, tepat sehari sebelum pesta debutnya sebagai bangsawan akan digelar. Saat dirinya diberikan kesempatan hidup kembali oleh Tuhan, mampukah Seraphine mengubah masa depannya yang kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celestyola, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbangun ke Lima Tahun yang Lalu
...**✿❀♛❀✿**...
Harum aroma mawar putih membelai indra penciuman Seraphine begitu ia membuka mata. Gadis itu termenung sejenak, menatap lamat langit-langit kamar yang terasa akrab. Ia mengalihkan pandangannya pada sekitar, tampak ukiran-ukiran bunga menghiasi dinding kamar dengan dominan warna krem dan putih, sungguh terasa familiar hingga seolah membawanya kembali pada masa lalu.
Seraphine ingat, ini adalah kamar lamanya. Tapi, kenapa ia berada di sini? Bukankah ia sudah dieksekusi mati? atau mungkinkah Tuhan berbaik hati memberikan kamar lamanya sebagai tempat beristirahat untuknya di surga?
Ketika kebingungan masih melandanya, suara ketukan pintu terdengar. “Nona, boleh saya masuk?”
Itu suara yang familiar, suara Clarisse, pelayan pribadinya. Clarisse telah setia mendampinginya sejak ia masih berusia sepuluh tahun hingga pada hari ia dieksekusi. Kenapa Clarisse ada di sini? bukankah dirinya sekarang telah berada di surga? Lalu, kenapa Clarisse bisa mengikutinya hingga kemari?
“Masuklah,” jawab Seraphine, suaranya terdengar sedikit ragu.
Mendengar jawaban Seraphine, pintu kamar terbuka. Sosok gadis muda berambut cokelat muncul dengan senyumnya yang cerah. Di tangannya ada baki perak berisi teh hangat dan roti manis.
Clarisse menunduk sopan, “Selamat pagi, Nona. Tidur Anda nyenyak? Besok malam adalah malam besar Anda, saya harap Anda tak terlalu gugup.”
Seraphine mematung. Besok malam? Malam besar? apa maksudnya? benak Seraphine bertanya-tanya.
Seolah tak menyadari kebingungan nonanya, Clarisse meletakkan baki di atas meja, lalu mulai membuka gorden jendela. Cahaya pagi menelusup masuk, membanjiri ruangan dengan rona keemasan.
“Clarisse…,” suara Seraphine terdengar sedikit bergetar. “Tanggal berapa hari ini?” tanyanya kemudian.
Pelayan itu menoleh, sedikit heran. “Tentu saja … tanggal 14 Solaris, Nona. Sehari sebelum pesta debut Anda di istana.”
Debut. Istana. Tanggal 14 bulan Solaris.
Seraphine merasa dunianya berputar. Itu berarti, ia kembali tepat ke lima tahun sebelum eksekusinya dilakukan. Malam debutnya adalah awal dari segalanya. Awal ia menarik perhatian Kaisar, awal intrik istana menyeretnya, dan awal dari jalan yang membawanya menuju kehancuran.
Tangan Seraphine terkepal di atas pangkuan. Manik matanya gemetar. "Apakah ... ini kesempatan kedua?" gumamnya pelan.
“Terima kasih, Clari. Tinggalkan saja teh itu,” ucapnya pelan. Ia menoleh pada jendela, burung-burung tampak terbang dengan bebas, menikmati hangatnya udara pagi pada awal musim panas.
Begitu Clarisse keluar, Seraphine segera beranjak dari tempat tidur, ia berjalan menghampiri cermin besar yang berada di sudut ruangan.
Wajah yang menatap balik dari cermin membuat dadanya terasa sesak. Itu bukan wajah pucat letih yang ia lihat di hari-hari terakhir hidupnya, melainkan wajah muda dengan kulit yang mulus, mata hazel yang berbinar cerah, bibir yang merah alami, serta rambutnya yang berkilau bak permata.
Ia mengangkat tangan, menyentuh pipinya sendiri. Tanpa sadar, air matanya jatuh membanjiri pipi. "Ternyata, Aku memang benar-benar kembali. Aku ... sungguh kembali," ucapnya setengah tak percaya.
Seketika, ingatan akan masa lalu membanjiri pikirannya. Senyum pura-pura para bangsawan, janji manis yang berbalut racun, malam-malam di mana ia sendirian menghadapi tuduhan yang tak pernah ia lakukan. Dan tentu saja, wajah-wajah mereka yang telah mengkhianatinya.
“Tidak… kali ini tidak akan sama,” bisiknya pada pantulan dirinya di cermin. “Aku tak akan lagi menjadi bunga yang mudah dipetik. Aku akan menjadi bunga yang tubuhnya diselimuti duri.” Seraphine bertekad kuat bahwa ia akan menggunakan kesempatan kedua yang diberikan oleh Tuhan dengan baik.
Kali ini, Ia tak akan membiarkan orang-orang itu merenggut hidupnya. Tidak akan!
...
Seraphine menghabiskan pagi itu dengan memperhatikan setiap detail rumah. Dari lorong-lorong marmer yang ia lewati, suara para pelayan yang sibuk mengerjakan pekerjaan mereka, hingga aroma roti panggang yang menguar dari dapur. Semuanya sama persis seperti ingatannya, ternyata ia merindukan suasana ini.
Saat ia tiba di taman, angin musim panas menyapa kulitnya dengan lembut. Bunga mawar putih bermekaran di setiap sudut Taman. Namun, sekarang ia tahu, keindahan seperti ini ibaratnya hanyalah penutup tipis untuk dunia bangsawan yang penuh darah dan tipu daya.
Di kejauhan, ia melihat sosok ayahnya, Marquis Lionel Valmont, tengah berbicara dengan seorang tukang kebun. Wajah ayahnya masih terlihat sama seperti dulu, hanya saja kini tampak lebih muda dari ingatan terakhirnya.
Wajahnya tetap tegas, berwibawa, namun memiliki kesan dingin. Meski ia tak pernah memberi putrinya kasih sayang yang hangat, tapi ia tetap berusaha melindunginya hingga akhir.
Pelupuk mata Seraphine sedikit bergetar. Dadanya sesak bila mengingat bagaimana Sang Ayah tewas dengan tragis. Ia juga menyesal tak pernah berusaha memperbaiki hubungan mereka, di kehidupan kali ini, gadis itu berjanji akan melindungi orang-orang yang berharga baginya.
Seraphine berusaha menenangkan diri, ia menarik napas dalam lalu menghembuskannya. Sembari memasang senyum tipis Seraphine mendekati ayahnya, lalu membungkuk sopan. “Selamat pagi, Ayah," sapanya.
Marquis hanya mengangguk singkat. “Besok malam, jagalah perilakumu. Jangan sampai membuat masalah di hadapan Yang Mulia Kaisar.”
Kalimat itu sama persis seperti yang ia dengar dahulu. Tapi kali ini, Seraphine tersenyum samar. “Tentu, Ayah. Saya akan mengesankan Kaisar dengan cara saya sendiri.”
Marquis tampak heran mendengar nada suara putrinya, namun dirinya memilih tak bertanya lebih lanjut.
Setelah itu, Marquis pergi meninggalkan Taman. Masih banyak pekerjaan, katanya. Akhirnya, Seraphine memilih duduk di kursi Taman. Karena kursi itu berada di bawah pohon, gadis itu tetap merasa nyaman meski cuaca mulai panas karena hari kian beranjak siang.
Seraphine duduk bersandar pada kursi, menatap kosong pada langit biru. Ia berusaha menyusun semua ingatannya. Siapa yang akan mendekatinya dan siapa yang akan tersenyum hanya untuk menusuknya dari belakang.
Ia bahkan berusaha mengingat percakapan-percakapan kecil yang dulu ia abaikan, sembari mencatat poin-poin penting pada sebuah buku yang tadi ia bawa.
Lama ia berada di sana. Bahkan mengabaikan tatapan heran para pelayan dan pekerja Rumah. Meski Clarisse telah berulang kali memintanya untuk masuk ke dalam Mansion, Seraphine menolak, ia hanya ingin berada di sini sendirian sekarang.
Waktu kian beranjak, hingga malam pun akhirnya datang. Clarisse berdiri di dekat Seraphine, sambil menatap cemas pada junjungannya itu. Apa yang terjadi? kenapa Nonanya bersikap begitu aneh hari ini? ia bahkan tak menyentuh satu pun makanan yang dirinya bawakan.
Saat malam semakin larut, akhirnya Seraphine memutuskan kembali ke kamarnya. "Ayo, Clari," ajaknya pada Clarisse yang termangu. Gadis itu berjalan menyusuri taman dan lorong Mansion hingga sampai ke kamarnya.
Ia Duduk di tepi ranjang, lalu menghela napas panjang.
“Lima tahun…,” gumamnya. “Aku harus bisa mengubah semuanya dalam lima tahun," tekad Seraphine sembari menatap ujung kakinya.
Lalu, matanya beralih menatap mawar putih di vas. Ia akan menjadi seperti itu, tampak indah dan rapuh, namun akan berbahaya jika disentuh sembarangan.
Seraphine mengulurkan tangan, meraih satu tangkai mawar putih, lalu mencabuti durinya satu per satu. “Kali ini, aku akan menentukan siapa yang boleh memetik ku, dan siapa yang akan tertusuk oleh duriku," gumamnya pelan.
"Clari," panggilnya. Clarisse yang memang masih berada di kamar itu pun segera menghampiri Nona nya.
"Aku lapar." Seraphine berujar setengah merengek pada Clarisse. Ia melemparkan mawar putih yang tangkainya telah bersih dari duri itu ke sembarang arah.
Mendengar itu, pelayan pribadinya itu pun segera melesat ke dapur kediaman, mengambilkan makanan untuk Nona nya.
Sepeninggalan Clarisse, senyum tipis terukir di bibir Seraphine. Pesta debutnya hanya tinggal satu malam lagi, dan permainan yang telah ia rencanakan seharian ini, akan segera dimulai.
...**✿❀♛❀✿**...
...TBC...