Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semoga Lancar Sampai Hari-H
Dari jarak sedekat itu, Yuna bisa merasakan tatapan Rani yang seperti mempelajari setiap detail wajah Rizal. Apalagi ketika Rizal, entah sadar atau tidak, mencondongkan badan sedikit saat berbicara dengannya, membuat interaksi mereka terlihat akrab.
Di dada Yuna, ada rasa yang tak karuan.
Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa di mata publik, meskipun lahir dari keluarga berada, tapi ia tidak terbiasa tampil mencolok. Sementara Rani… dari ujung rambut hingga ujung kaki, jelas terlihat sebagai sosok yang selalu berada di pusat perhatian. Cantik, pintar bicara, dan punya kedekatan keluarga dengan Wika.
Sempurna.
“Mungkin kita bisa ketemu lagi kapan-kapan, Mas Rizal. Mama pasti senang kalau kita ngobrol-ngobrol.” Ujar Rani sambil tersenyum tipis, tapi matanya berbinar.
“Boleh...” Jawab Rizal ringan, tanpa menyadari tatapan Yuna yang mulai redup.
Yuna hanya berdiri di sana, berusaha menahan diri agar tidak menunjukkan apa yang ia rasakan. Cincin yang tadi terasa indah di jari kini seolah menjadi dingin.
Kebetulan urusannya di sana sudah selesai, jadi Rani pamit dengan senyum ramahnya yang khas, lalu melangkah keluar dari ruangan. Pintu menutup perlahan, meninggalkan Yuna dan Rizal berdua. Suasana yang tadinya ramai obrolan ringan, mendadak terasa… sepi.
Yuna menunduk, pura-pura memilih beberapa cincin yang ada di hadapannya. Ia tidak lagi melontarkan komentar kecil seperti biasanya. Bahkan suara napasnya terasa hati-hati, seolah takut menimbulkan bunyi.
Rizal, yang sejak tadi memerhatikan gerak-geriknya, mulai merasa ada yang tidak biasa.
“Kenapa diam, nggak suka cincinnya?” Tanyanya pelan, mencoba mencari tatapan Yuna.
“Enggak kok, mas. Cincinnya bagus-bagus.” Jawab Yuna singkat, pikirannya tetap terpaku pada Rani.
Alis Rizal terangkat sedikit. Bukan hanya jawabannya yang singkat, nada suaranya pun terasa… jauh. Biasanya, kalau Yuna bilang ‘enggak apa-apa’, ujung bibirnya masih menyunggingkan senyum kecil. Tapi kali ini, bibir itu rapat tanpa ekspresi.
“Kalau memang enggak apa-apa, kenapa tatapannya kayak lagi mikirin Mantan?” Seloroh Rizal, mencoba mencairkan suasana.
“Apasih... aku nggak punya mantan.” Yuna tersenyum tipis, tapi hanya sebentar.
“Tapi kalau cinta pertama punya dong?”
“Hmmm... Ada.” Jawab Yuna singkat.
Tapi jawaban Yuna membuat Rizal mencelos.
Rizal mencondongkan tubuh, menatapnya lebih serius.
“Jadi kamu laki mikirin, Fabian?”
“Kok jadi Fabian?” Yuna menatap Rizal heran.
Rizal menatapnya lama. Ia tahu Yuna bukan tipe yang tiba-tiba berubah tanpa alasan. Ada sesuatu di balik diamnya, dan entah kenapa, ia ingin tahu. Tapi keingintahuannya menjadi bumerang baginya.
*****
Hari itu, halaman depan kediaman keluarga Yuna berubah bak taman istana. Balon-balon putih gading dan rangkaian bunga peony merah muda membingkai pintu masuk. Tenda besar berdiri megah, lantainya dilapisi karpet beludru dan lampu gantung kristal berkilauan di tengah ruangan.
Tamu-tamu berdatangan dengan busana terbaik mereka. Tidak hanya relasi bisnis keluarga Rizal yang hadir, tetapi juga kolega-kolega Papi Indra. Bahkan oma dari pihak Indra pun datang, sosok yang selama ini Yuna tahu tak pernah benar-benar menyukainya, hanya karena ia lahir dari seorang Pitaloka yang bukan berasal dari keluarga konglomerat. Meski begitu, Yuna tetap menyambutnya dengan senyum sopan, berusaha menjaga kehormatan keluarga.
Di tengah keramaian, Sinta dan Fabian juga hadir, berjalan berdampingan menuju meja utama. Yuna yang mengenakan kebaya berwarna senada dengan dekorasi juga berpayet halus menyambut mereka dengan tatapan hangat. Ia memang sengaja mengundang dua sahabatnya itu, ingin memastikan momen istimewanya disaksikan oleh orang-orang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya.
“Selamat ya, Yun. Semoga lancar sampai hari-H...” Ucap Sinta seraya memeluk sahabatnya itu.
“Selamat, Yun. Akhirnya otw menikah juga...” Fabian tersenyum kecil.
Meski tak rela Yuna menikah dengan laki-laki lain, dia turut bahagia jika Yuna bahagia.
Rizal, yang sejak awal berdiri di sisinya, menatap Fabian sekilas. Sekilas, tapi cukup untuk menangkap tatapan singkat lelaki itu pada Yuna, tatapan yang berusaha disamarkan di balik senyum ramah. Dan Rizal tahu, hanya dia dan Fabian yang mengerti makna sebenarnya dari tatapan itu.
Rizal menautkan jemari ke tangan Yuna, lalu tersenyum merekah, senyum yang bagi semua orang adalah tanda kebahagiaan seorang pria yang sebentar lagi akan resmi bertunangan. Namun bagi Fabian, senyum itu seperti pengumuman kemenangan yang tidak diucapkan dengan kata-kata.
Sementara itu, Yuna sibuk berbasa-basi dengan para tamu, tidak menyadari bahwa di tengah kemewahan pesta ini, ada pertarungan diam-diam yang terjadi hanya dengan tatapan mata.
Musik lembut mengalun dari sudut ruangan, bercampur dengan riuh rendah percakapan para tamu yang datang memberi selamat. Di halaman luas rumah keluarga Yuna, lampu-lampu gantung berwarna keemasan berpendar hangat, menambah kesan mewah namun tetap anggun.
Yuna berdiri di sisi Rizal, tersenyum ramah kepada tamu-tamu yang datang bergantian, sambil sesekali mencuri napas karena tumitnya mulai pegal. Sesekali tatapan Rizal singgah padanya, singkat tapi cukup untuk membuat pipinya hangat.
Di tengah suasana penuh canda dan tawa itu, sebuah suara pelan namun jelas terdengar di dekat meja utama. Oma Ratna, nenek dari pihak keluarga Yuna, baru saja duduk, dikelilingi beberapa kerabat dan tamu perempuan yang tampak antusias berbincang. Ia tersenyum ramah, namun ada nada tertentu di ujung suaranya yang membuat Yuna merasa seperti ada sesuatu yang akan ‘diluncurkan’.
“Ah, akhirnya Yuna bertunangan juga...” Ujar Oma Ratna, nadanya seperti memuji, namun ujung bibirnya melengkung tipis.
“Saya sampai sempat khawatir, soalnya dari kecil anak ini… hm, terlalu banyak mimpi. Kadang saya pikir, apa nanti ada laki-laki yang cukup sabar menunggu dia paham dunia nyata.”
Beberapa tamu di sekitarnya tertawa kecil, sebagian terkejut namun mencoba menyamarkannya dengan senyum. Rizal, yang berdiri tak jauh, menoleh sekilas ke arah Yuna, ekspresinya nyaris tak terbaca.
Oma Ratna melanjutkan sambil mengaduk teh, seolah kata-katanya tidak menohok.
“Tapi syukurlah, sekarang ada yang mau membimbing. Kan, anak perempuan kalau sudah menikah itu… harusnya nurut sama suami, supaya hidupnya terarah. Selama ini dia terlalu banyak keluyuran di luar...”
Kata keluyuran membuat seakan-akan Yuna adalah perempuan tidak benar.
Tawa lirih kembali terdengar, namun kali ini Yuna merasakan darahnya mengalir cepat ke wajah. Ia tersenyum kaku, mencoba tidak menunjukkan bahwa kata-kata itu menusuk. Beberapa tamu yang berdiri dekatnya melirik, seperti menunggu reaksinya.
Di sisi lain, Rizal melangkah mendekat, menempatkan diri di samping Yuna. Tangannya tidak menyentuh, tapi cukup dekat untuk memberi kesan perlindungan. Ia menatap oma Ratna dengan senyum sopan, lalu berkata dengan nada datar namun mengandung makna,
“Kalau saya lihat, Yuna justru punya pandangan hidup yang jelas. Mungkin cara pandangnya berbeda, tapi itu yang membuatnya… istimewa.”
Oma Ratna sempat terdiam sepersekian detik sebelum kembali tersenyum, seakan komentar itu tak mengusik. Namun Yuna bisa merasakan tensi tipis di udara. Ia menarik napas, menegakkan bahu, dan kembali menyapa tamu lain, meski hatinya sedikit terguncang.