Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.
Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.
Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.
Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.
Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.
Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.
📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.
Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20.Sikap Aneh
Leo melangkah keluar dari ruang pendingin, melewati Revan begitu saja tanpa menoleh. Nafasnya berat, tapi langkahnya tetap cepat dan mantap. Kedua lengannya menggendong Keira—tubuh perempuan itu kaku, menggigil hebat. Kulitnya pucat, bibirnya membiru. Seperti boneka es yang baru diangkat dari freezer.
Revan terpaku. Napasnya tercekat, seperti baru ditusuk panik dari belakang. Ia tak sempat bertanya apa pun—naluri sudah mengambil alih. Dalam beberapa detik, ia sudah membuntuti Leo, kakinya hampir berlari, matanya terus memantau Keira. Tidak. Kali ini ia tidak akan membiarkan satu hal buruk pun terjadi. Terutama jika itu melibatkan Leo.
____
Di Rumah Sakit.
Kamar rawat itu terlalu sunyi. Sunyi yang terasa seperti lapisan plastik—mengkilap, rapuh, dan bisa robek kapan saja.
Dari sudut langit-langit, AC berdengung pelan, meniupkan udara dingin bercampur aroma antiseptik yang menusuk hidung. Lampu neon di atas memantulkan cahaya pucat di permukaan lantai vinyl, menciptakan kilau dingin yang terasa asing. Monitor detak jantung di samping ranjang memancarkan bunyi bip halus, seperti napas yang diawasi.
Leo duduk di kursi di sisi ranjang, tubuhnya condong ke depan. Jemarinya melingkari tangan Keira, tapi genggaman itu bukan milik orang panik—melainkan genggaman yang diatur dengan presisi. Setiap gerakannya seperti aktor yang hafal blocking panggung. Kalau Revan tak ada di sini, Leo pasti sudah meninggalkan ruangan ini tanpa menoleh. Tapi kini, di hadapan lawan sekaligus saksi, ia sedang memainkan peran “suami panutan” yang penuh penghayatan.
Matanya sengaja dibuat berkaca-kaca. Ia menurunkan sudut bibir sedikit—tepat di titik yang pas untuk membentuk kesan nelangsa. Kedua alisnya melengkungkan, menciptakan garis sendu yang nyaris sempurna. Dari luar, ia tampak seperti pria yang menahan air mata; dari dalam, otaknya sedang menghitung langkah berikutnya.
Kelopak mata Kayla bergetar tipis. Pandangannya buram, cahaya lampu bercampur kabut putih. Ia mengedip perlahan, mencoba merangkai kembali potongan realitas yang tercerai-berai. Sosok pertama yang terlihat… wajah familiar. Terlalu familiar.
Leo.
“Enggak mungkin…” batinnya panik. Kenapa muka dia lagi yang nongol? Masa di akhirat juga ada dia?! Ngejar gue sampai kuburan, setega itu kah hidup?
Wajah Leo semakin dekat. Napasnya menghembus hangat di kulit wajah Kayla, aroma colognenya samar menembus kabut pikirannya. Tatapan matanya dibuat khawatir—tapi jarak itu… terlalu dekat.
Tangan Kayla terangkat pelan, masih gemetar. Ujung jarinya menyentuh pipi Leo—menyusuri kulit hangat, merasakan tekstur pori-porinya. Nyata. Bukan bayangan.
PLAK!
Sekali.
PLAK!
Dua kali.
PLAK!
Tiga kali.
Leo bergerak cepat, jemarinya menjepit pergelangan tangan Kayla. Rahangnya mengeras, tapi ia memaksakan nada suara lembut. “Keira, kau sudah sadar?”
Jeritan Kayla pecah, keras dan melengking. Ia bangkit setengah duduk, lalu—
BUG!
Dahinya menghantam dahi Leo. Bunyi dug menggema singkat.
Keduanya meringis. Leo mengerjap kan mata, menahan umpatan yang nyaris lolos. “APA YANG kau lakukan?!” bentaknya—lalu buru-buru menurunkan volume suara, menarik ujung bibirnya ke atas. Senyum itu kaku, seperti orang yang menahan kentut di ruang rapat.
Kayla memegangi kepalanya, matanya bergerak menelusuri ruangan. “Berarti gue belum mati…?” suaranya lirih, ragu, seperti anak kecil yang baru terbangun dari mimpi buruk.
Di dekat pintu, Revan menunduk sedikit, bahunya naik-turun menahan tawa. Matanya berkilat geli, tapi mulutnya rapat, menahan agar suara tak pecah. Drama di depannya ini terlalu absurd untuk masuk akal.
“Gue masih hidup?” ulang Kayla, kali ini lebih keras.
Revan mengangguk, tapi Leo sudah lebih dulu meraih tangannya. Tatapannya tajam tapi dibungkus manis, seperti aktor sinetron menjelang adegan pengakuan cinta. “Kau masih hidup, Keira. Aku yang menyelamatkanmu.”
Kayla melirik tangan mereka yang bertaut. Keningnya berkerut. “Lo kenapa? Salah dosis vitamin? Atau… otak lo ke geser barusan?”
Leo hanya tersenyum—senyum yang dibuat lembut, nyaris berkilau.
Mata Kayla menyipit. Wajah Leo makin mendekat, napasnya terasa di bibir. “Atau gue masih di alam mimpi?”
“Tidak, Keira. Ini nyata. Aku suami kamu,” ucapnya, dengan kelembutan yang terdengar overdosis.
Kayla meringis jijik, bahunya bergidik hebat. “Iiih...” Ia menarik tangannya, menatap Leo seperti melihat kecoa di piring makan. “Nggak usah sok manis deh, setan!”
Leo mengepalkan tangan di pangkuannya, urat di lehernya menegang tapi wajahnya tetap tersenyum sabar. Sementara di sudut ruangan, Revan tergelak, sampai hampir terbatuk.
“Aku hanya berusaha jadi suami yang baik,” ucap Leo, nada suaranya pelan namun penuh penekanan.
Tangannya meremas lembut punggung tangan Kayla, matanya dibuat bergetar seolah kata-katanya lahir dari hati. “Kejadian tadi… membuatku takut kehilanganmu. Seandainya aku telat sedikit saja, mungkin kau sudah—”
Ucapan itu terhenti.
Wajah Kayla membeku seperti patung marmer yang baru dihantam badai.
Sebuah ingatan menyusup cepat—doa absurd nya tepat sebelum pingsan:
'Kalau ada orang yang menyelamatkan gue sekarang, kalau dia cowok, gue bakal menikah sama dia, jadi suami kedua pun nggak papa… atau kalau cewek bakal gue angkat jadi adik, sumpah demi Tuhan!'
Pupilnya melebar. Napasnya tersengal, dada naik-turun cepat.
“KENAPA HARUS LO?!” teriaknya, suaranya pecah seperti kaca jatuh dari lantai tiga. Tangan kecilnya mendorong dada Leo dengan tenaga penuh. Kursi di belakangnya nyaris terguling saat pria itu terhuyung.
Leo mengangkat kedua tangan setinggi bahu, telapak menghadap ke depan—gestur universal untuk menenangkan. Wajahnya dibuat setenang air danau, tapi rahangnya mengeras. “Tenang, Keira…”
“Tapi kenapa harus looo?!” suaranya merendah lalu pecah lagi, kali ini nyaris menangis.
Revan langsung melangkah cepat dari dekat pintu, langkahnya berat. “Keira, kenapa? Ada apa?” Alisnya berkerut, matanya mencari-cari jawaban di wajah perempuan itu.
Kayla menoleh cepat, matanya basah namun penuh amarah. “SALAH LO!” Dorongannya menghantam dada Revan, membuat tubuh pria itu goyah mundur setapak.
“Gara-gara lo ngilang, gue mikir lo kenapa-kenapa! Gue cari lo… eh malah masuk ke ruang pendingin!”
Revan mengernyit, kepalanya miring sedikit. “Ngapain gue di ruang pendingin?”
“YA ITU! Karena lo ngajak ketemuan di depan ruangan itu!” Suara Kayla meninggi, bahunya bergetar.
Leo yang sedari tadi hanya duduk, mendadak bangkit. Matanya menyipit, seolah baru menemukan celah emas. “Tunggu…” ujarnya pelan tapi sarat tensi. “Maksudmu… yang hampir membunuhmu itu dia?”
Telunjuknya melesat, mengarah ke Revan seperti anak panah. Tanpa aba-aba, ia meraih kerah kemeja Revan, menariknya mendekat. Wajah mereka hampir saling menyentuh, napas panas bercampur bau obat rumah sakit. Suaranya rendah namun mengiris. “Kau tadi teriak-teriak nyari Keira, tapi kau yang ngajak dia ke sana?”
Kayla membeku. Pandangannya meneliti—baru sadar kedua pria itu sama-sama lebam. Tapi wajah Revan… lebih parah, seperti habis dihajar nasi basi seminggu.
Revan menepis tangan Leo kasar. “Ini pasti jebakan lo! Gue nggak pernah kirim pesan ke Keira!”
Ia merogoh saku celana, menarik ponsel. Layarnya dinyalakan, jemarinya lincah membuka pesan. “Tuh, nggak ada!” katanya sambil menyorongkan ponsel ke arah Kayla.
Kayla meraih ponselnya sendiri dari meja samping ranjang. Jemarinya sedikit gemetar. “Di gue… ada.” Layar ponsel menyala, deretan teks terlihat jelas.
Leo menyeringai tipis, seperti kucing yang baru menangkap tikus. Tatapannya menancap ke Revan tanpa berkedip. “Masih mau menyangkal?” Lalu ia menoleh ke Kayla, nadanya mendadak berubah lembut, nyaris seperti belaian. “Keira… kau masih mau percaya padanya?”
Kayla menatap keduanya bergantian. Kepalanya dipenuhi pusaran pikiran. Tapi satu hal jelas: Leo telah menyelamatkannya. Dan janji… tetaplah janji.
Ia menarik napas panjang. “Keluar, Van. Gue nggak percaya lagi sama lo.”
“Keira…” suara Revan lirih, nyaris patah. Matanya berusaha menangkap tatapan perempuan itu, tapi Kayla sudah menoleh menjauh, menatap lantai.
Leo, di balik wajah penuh simpati yang ia pertahankan, menyembunyikan senyum kemenangan. Garis tipis di sudut bibirnya nyaris tak terlihat, tapi sorot matanya—penuh kepuasan.
Kemenangan pertama telah diraih.
Permainannya… baru saja dimulai.
.
.
.
Bersambung.
Makanya jadi suami yang normal-normal aja😂