Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjemputan Nada dan Keresahan Abyan
Tiga hari setelah sidang, tubuh Nada benar-benar menyerah. Demam tinggi, tenggorokan kering, napas terasa berat kembali menyerangnya. Ia tak mampu bangun dari kasur kontrakan.
Dengan suara serak, Nada menelepon HRD Hotel Nirwana.
Nada: “Maaf… saya ingin mengajukan tambahan cuti sakit… satu minggu…”
HRD: “Baik, Nada. Kirimkan surat keterangan dokter ya. Semoga lekas sembuh.”
Malam itu, sekitar pukul 21.30, sebuah mobil rental berhenti di depan kontrakan.
Dari dalam keluar seorang pria berusia lima puluhan, Bapak Nada dan seorang pemuda dua belasan tahun, adiknya, Reza.
Bapak langsung memeluk putrinya yang tampak pucat di ambang pintu.
“Astaghfirullah… Teh, Teteh sakit parah begini nggak bilang-bilang?!” seru Bapak dengan paniknya.
“Maaf, Pak… Teteh nggak mau bikin khawatir…”
"Udah Pak, jangan marahin Teteh, yuk sekarang kita pulang. Biar di Garut aja Teteh dirawat.” Reza melerai, ketiganya masuk ke dalam kontrakan Nada diikuti Rosa yang merasa tak enak karena orang tua Nada harus melihat Nada dalam keadaan seperti ini.
Rosa membantu mengemas barang-barang yang diperlukan. Nada nyaris tak mampu berdiri sendiri, tubuhnya lunglai. Begitu masuk mobil, ia bersandar di bahu bapaknya, matanya terpejam.
"Neng Rosa, makasih udah jagain Nada, ya. Bapa bawa Nada ke Garut, kalau perlu masuk rumah sakit nanti sekalian di sana saja.”
“Iya, Pak. Maaf ya Pak, aku gak bisa mengantar. Tolong jaga Nada baik-baik. Dia udah drop banget.” Bapak mengangguk sebagai jawaban, Nada hanya menatap sahabatnya itu sambil tersenyum yang dipaksakan. Saat menunggu kedatangan Bapak dan adiknya untuk menjemput Nada sudah menitipkan semua urusan di Jakarta pada sahabatnya.
Mobil melaju pelan meninggalkan halaman kontrakan Nada, Bapak membawa serta putri sulungnya yang kini tak berdaya.
Dua hari setelah Nada berada di Garut, Abyan baru kembali dari Medan. Pertemuan bisnisnya padat, tak memberinya waktu untuk sekadar mengecek ponsel.
Dalam pikirannya, ia hanya ingin menyelesaikan semuanya cepat, lalu kembali ke Jakarta, lalu mencari waktu untuk menengok Nada. Setelah sidang selesai Abyan belum mengizinkan Nada untuk kembali bekerja.
Pagi itu, Rendi masuk ke ruangannya.
“Bos, bagaimana kabar Medan? Lancar kan semuanya?" tanya Rendi memulai obrolan."
"Aku rasa kamu sudah tahu, bukankah hasilnya sudah Tedi kirimkan ke kamu.'' ketua Abyan yang tahu basa basi Rendi. Saat melakukan kunjungan ke Medan Abyan ditemani salah satu staf sekretarisnya yaitu Tedi karena Rendi harus menghandle pekerjaan di Nirwana Hotel Cabang Jakarta.
"Oke, oke, kalau begitu aku lanjut ke pertanyaan kedua." sambung Rendi dengan wajah cengengesan.
" Eummm… kamu udah tahu soal Nada?” Abyan mengernyit, ekspresi wajah Rendi membuatnya curiga.
“Maksudnya?”
“Dia mengajukan cuti tambahan selama dua minggu. Sakit parah. Katanya udah dijemput bapaknya pulang ke Garut dua hari lalu.”
Abyan langsung berdiri dari kursi, wajahnya pucat.
“Apa?!” Ia bergegas keluar, mencari Rosa yang sedang mengatur stok di pantry karyawan.
“Rosa, ini bener Nada dibawa pulang?” Mendadak kedatangan direktur utama, semua karyawan yang sedang berada di pantry seketika hening. Kedatangan Abyan menemui Rosa kini menjadi pusat perhatian semua.
“Iya, Pak Abyan… dia udah nggak sanggup kerja. Demam tinggi, badannya lemes banget. Bapaknya langsung inisiatif jemput.”
"Kenapa nggak ada yang kasih tahu aku?”
“Kita pikir Bapak sudah tahu. Bagian HRD sudah memberi izin untuk Nada memperpanjang cutinya. Lagian waktu itu Bapak. Sedang di luar kota, kan?”
Abyan menunduk, menutupi wajah dengan tangannya. Dadanya sesak. Rasa bersalah mengalir deras. Ia merasa semakin tak berguna—tidak ada di saat Nada benar-benar membutuhkan.
Dan di sudut pikirannya, bayangan Arfan muncul, dengan segala perhatian yang ia tahu masih ada untuk Nada.
Air matanya jatuh. Ia tak peduli jika Rendi atau Rosa melihat. Namun Abyan buru-buru menghapusnya.
“Kenapa aku nggak ada di sana… kenapa…” batinnya, menyalahkan diri sendiri.
Malam itu, Abyan mencoba menelepon Nada berkali-kali. Tapi yang terdengar hanya suara operator:
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif…”
Pesan-pesan WhatsApp hanya centang satu.
Hari berganti, dan pekerjaan di Jakarta menumpuk. Klien menunggu, kontrak harus ditandatangani. Tapi hatinya tak tenang.
Di sela rapat, ia memandang layar ponselnya kosong. Ia menahan diri agar tidak memesan tiket ke Garut saat itu juga.
“Tunggu aku, Nad. Aku janji akan datang. Tapi… biarkan aku bereskan semua ini dulu.” monolog Abyan dalam hatinya.
Sementara itu, di tempat lain, seorang wanita berpenampilan elegan turun dari mobil hitam di pinggir jalan Garut. Wajahnya tertutup masker dan topi, tapi tatapan matanya menyala penuh dendam.
Itu Indira.
Ia berdiri di depan sebuah warung kopi, bertemu dengan tiga pria berjaket kulit. Mereka duduk di sudut ruangan.
"Targetnya tinggal di rumah orang tuanya. Aku mau semua ini terlihat seperti kecelakaan. Jangan sampai ada yang bisa menghubungkan ke aku.”
“Tenang, Neng. Kami ngerti.” ucap salah satu dari ketiga pria itu.
“Aku bayar dua kali lipat kalau semuanya berjalan mulus.” Indira menyerahkan amplop tebal.
“Lihat saja, Nada… aku akan ambil semua yang kamu punya. Termasuk dia.” batin Indira
Sementara itu di rumahnya di Garut, Nada terbaring di kamar yang dulu ia tempati saat SMA. Tirai tipis bergerak perlahan diterpa angin malam. Bapak duduk di kursi dekat ranjang, membaca doa dalam hati.
“Istirahat yang banyak, Teh. Jangan pikirin kerjaan dulu.”
"Iya, Pak… maaf bikin repot.” jawab Nada dengan suara lirih, sang ibu tengah memijit kakinya di ujung tempat tidur.
“Kamu anak Ibu dan Bapak. Nggak ada kata repot.” Ibu menimpali.
“Makan dulu, Kak. Biar ada tenaga.” Reza adik pertama Nada datang dengan baki di tangannya.
“Sedikit aja… Mulut ini rasanya pahit."
Nada menelan beberapa sendok, lalu kembali memejamkan mata. Lelahnya seperti menembus tulang. Nada memutuskan untuk beristirahat di rumah, Bapak dan Ibunya sudah membujuk Nada agar mau ke rumah sakit, tapi Nada menolak dengan alasan obat-obatan dari dokter di Jakarta pun masih ada.
Sementara itu di Jakarta, Abyan berdiri di balkon apartemen, menatap lampu-lampu kota yang redup. Angin malam menusuk kulit, tapi pikirannya tak lepas dari bayangan Nada di ranjang sakitnya.
Tangannya mengepal di pagar besi.
"Aku harus ke Garut… bagaimana pun caranya…”
Tapi suara ponsel memanggilnya kembali ke realita, email masuk dari klien, deadline yang tak bisa ditunda. Apalagi tuntutan sang kakek yang menurutnya tidak ada habisnya.
Setelah rencana pertunangannya dengan Indira resmi dibatalkan, sang kakek berjanji tidak akan mengganggu Nada asalkan Abyan mampu memenuhi tantangan sang kakek, membawa Nirwana Hotel ke ranah Internasional.
Abyan menutup matanya, mencoba menahan resah. Tapi hatinya terus berdegup kencang, seolah ada firasat buruk yang mendekat.
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira
lanjut kak