Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
"Udah gue bilangin. Pilih salah satu. Gini kan, jadinya," omel Sofie saat menjenguk Daisy, malamnya. "Ngeyel, sih. Temen lo, nih."
"Temanmu juga," koreksi Gendis. "Ambil hikmahnya aja. Sapa tahu dengan begini Daisy lebih merhatiin kesehatannya lagi. Nggak makan sembarangan."
"Cuma Gendis yang paling mengerti aku." Daisy terharu. "Tenang aja. Aku udah mutusin kok."
"Apa?" Sofie dan Gendis menyahut bersamaan.
"Aku mau resign dari Enbuk."
Sofie dan Gendis mengembus napas. Bukan napas kelegaan. Keduanya malah tampak kecewa dengan pilihan yang diambil Daisy.
"Pilihan yang hebat." Tentunya Gendis bukan memberikan pujian pada sang sahabat.
"Lo punya bos cakep. Jomblo. Tapi malah milih Athan." Kesal Sofie yang merujuk ke karakter utama di webtun yang sedang dikerjakan Daisy.
"Habisnya aku lebih enjoy bikin komik."
"Makan tuh karakter Athan. Pelototin aja dia tiap hari, terus berharap Athan keluar dari dunia webtun, gitu."
"Pengennya sih..." Daisy memilin ujung bajunya.
"Aah, gila lo!"
"Udah deh, ya." Gendis maju melerai. "Apa pun keputusannya Daisy, kita tetap dukung."
Daisy tersenyum semringah mendapatkan dukungan positif dari Gendis. Hanya Gendis yang setidaknya bisa diharapkannya dalam situasi seperti ini.
"Kapan mau pindah?"
"Pindah?" bingung Daisy.
"Kata lo mau pindah apartemen."
"Ooh itu... lagi nyari." Daisy nyengir kaku.
"Betewe biar nggak bete nih yeey. Babang tamvan kita ke mana? Kok belum balik-balik juga."
"Lagi cari makan." Tanpa sadar Daisy memberengut.
"Muka kenapa? Bete banget." Sofie membuka bungkusan cokelat putih. Membaginya jadi tiga bagian, lalu memberikan bagian cokelat untuk Gendis dan Daisy.
"Dia pasti lagi makan bareng mantannya." Daisy memasukkan cokelat ke mulut dengan kasar.
"Siapa?" Gendis mengunyah cokelat. "Hm. Enak. Beli di mana?"
Dikasih teman. Oleh-oleh dari Aussie."
Eh, iya." Gendis kembali ke topik obrolan. "Siapa yang makan bareng mantannya?"
"Mas Singgih."
"Siapa Mas Singgih?" Sofie menoleh ke Gendis. Berharap Gendis membantunya mengingat. Mungkin ia telah melewatkan sebuah nama.
"Bodyguard-nya." Gendis menyahut enteng seraya mengedik dagu ke Daisy.
Sofie menyemprotkan tawa. "Mas Singgih? Geli banget tauk, Dai."
"Dia lebih tua lima tahun dari kita. Jadi, aku harus panggil nama, gitu?" Daisy meminta saran Gendis.
"Nggak sopan." Gendis berpura-pura marah.
Sofie mengangguk-angguk paham. Tidak ada yang bisa mengalahkan Gendis si guru tata krama mereka.
"Yaa, elaah, Dai. Mantan kan, hanya masa lalu," kata Gendis sambil lalu.
"Yang namanya masa lalu, kalau masih memiliki kenangan indah―"
"Setoooop!" Daisy mengangkat sebelah tangan. Ia tak ingin mendengar apa pun tentang masa lalu ataupun kenangan indah. Kali ini ia akan setuju dengan Gendis. Mantan hanya bagian dari masa lalu. Yang terpenting adalah masa sekarang dan masa depan.
"Lo akhirnya suka, kan sama dia?" Sofie menyelidik.
"Kalau dia nggak suka," Gendis ikutan menyelidik, "dia nggak bakal mempertahankan Mas Singgih dari awal. Mana latar belakangnya nggak jelas. Kita nggak tahu dia orang baik atau jahat."
Daisy sangat paham dengan maksud Gendis, tentunya. Lelaki yang mendekati Daisy kebanyakan ada maunya―karena tahu Daisy penerus Ekadanta Grup―dan mereka tak pernah tulus menyukai Daisy. Saat Daisy telah menyerah dengan cinta, di saat itulah datang Singgih dengan segala kejujuran.
"Kayak gimana mantannya Mas Singgih?" Sofie menahan tawa kala memanggil nama bodyguad Daisy dengan tambahan mas. "Masih cantikkan gue, kan?" kelakarnya.
"Mantannya dokter di sini." Daisy kian memberengut.
"Wow. Keren juga mantannya." Sanjungan Gendis membuat mulut Daisy makin manyun.
"Mantannya Daisy dong," sela Sofie.
"Aku nggak punya mantan. Puas?" sewot Daisy. Mendadak perasaan hatinya buruk seketika.
Sofie menyemburkan tawa. Gendis memukul lengan Sofie, tetapi tampak ia sedang menahan tawa.
"Lo sih kebanyakan pilih-pilih."
"Hatiku nggak bisa bercabang."
"Hatinya dari dulu sampai sekarang masih di Athan. Tapi untungnya sekarang udah move-on."
"Mantannya cowok yang disukainya dokter, Dis." Sofie mengingatkan, kemudian ia beralih ke Daisy, tapi suaranya tertahan saat sebuah ketukan di pintu.
Tanpa komando, mereka menoleh ke arah pintu. Seorang dokter berambut panjang menyembul masuk dengan senyuman ramah.
"Maaf. Tapi aku harus memotong tawa kalian," sesal Dokter Ajeng. "Sudah malam." Ia mengetuk-etukkan jam di pergelangan tangannya. "Waktunya tidur," perintahnya kemudian ke Daisy.
"Iya, Dok." Daisy menurut patuh.
Dokter Ajeng melangkah keluar, seketika itu pula senyuman ramah Daisy berubah masam.
Setelah pintu kamar ditutup dari luar, barulah Daisy bersuara.
"Itu mantannya Mas Singgih."
"What the―" Sofie nyaris saja memaki.
Dalam beberapa detik Gendis kehilangan kata-kata, lalu memberikan komentarnya, "Seleranya tinggi juga."
Kedua ujung bibir Daisy melengkung ke bawah.
"Saingan lo berat, Dai. Lo nggak akan kuat. Biar gue aja yang bersaing."
"Kamu juga nggak akan kuat bersaing. Dia dokter, Sof. Kalau ada produser yang lihat dia, dia bisa saja tampil di Doctor OZ."
Sofie mendengkus kesal. Namun, melihat Daisy menunduk sedih, ia mendekati sang sahabat sembari merangkul pundak Daisy. "Ingat. Mantan hanya masa lalu. Kalau bisa lo pepet aja terus Mas Singgih."
"Sof," tegur Gendis.
Sofie mengabaikan Gendis. "Gue akan ajarin trik-trik buat ngedapatin cowok."
Daisy mengangguk setuju.
"Sofiiiiiee." Gendis menggeram gemas.
"Pertama," Sofie mengangkat jari telunjuknya, "yang harus lo lakuin adalah―"
Gendis menarik lengan Sofie, menyeretnya jauh dari brankar. Secara otomatis Sofie beranjak turun dan mengikuti tarikan tangan Gendis.
"Dai, kita pulang dulu. Daaah."
"Beri dia perhatian―" mulut Sofie langsung dibekap oleh Gendis.
"Jangan ngajarin Daisy trik bodohmu itu!"
"Tapi selalu berhasil."
Daisy mengerut kening sembari melambai tangan melihat aksi dua sahabatnya. Sebelah tangan Gendis menyeret lengan Sofie, sementara tangan satunya masih membekap mulut Sofie agar tidak menyuarakan trik-trik cinta yang konyol ala Sofie.
*
"Belum tidur?" Singgih masuk dengan menenteng kantongan plastik.
Nungguin Mas Singgih. Yeah, dan tentu saja Daisy tidak akan mengatakan itu. "Makan apa tadi?"
Singgih mengangkat kantongan plastik. "Belum." Lalu mengambil duduk di kursi.
"Kok belum? Terus di luar ngapain aja?" sibuk ngobrol sama si dokter sampe lupa makan. Nostalgia bener nih...
"Walau ada temanmu yang menemani, tapi aku nggak bisa meninggalkanmu begitu saja."
Terdiam Daisy. Kata-kata Singgih barusan terdengar gombal, bahkan melambungkan hatinya ke langit-langit.
"Karena tugasku adalah menjagamu."
Lambungan hati Daisy mengempas jatuh ke tanah. Daisy tak bisa membantah. Untuk itulah ia membayar Singgih. Menjaganya. Oh, entah mengapa ia mengharapkan Singgih tak sekadar menjaganya karena sebuah pekerjaan. Ia mengharapkan lebih dari itu.
"Tadi aku beli martabak manis. Siapa tahu kelaparan di tengah malam." Singgih mengeluarkan kotak martabak manis.
"Cokelat? Keju?" Daisy melirik ke arah kotak martabak di atas meja dengan wajah mupeng.
"Cokelat-keju."
"WOW!!"
Singgih membuka tutup kotak, menyodorkan ke hadapan Daisy. Aroma manis dari martabak yang masih mengepul hangat menggoda Daisy untuk segera mencomot satu dan melahapnya. Namun, tangannya menahan ragu.
"Dokter pasti juga akan menyuruhmu makan."
Daisy tampak frustrasi. "Sudah berapa kali aku melanggar pantanganku," kesalnya.
"Kan, ini pengecualian. Makan satu nggak akan gemuk."
"Mas Singgih bakal bilang gitu juga nggak sama Dokter Ajeng?"
Singgih mengerut tak paham. "Apa hubungannya sama Ajeng?"
"Kami ini para cewek yang ngejaga banget berat badan. Timbangan naik sekilo aja pusingnya bukan main. Udah kayak diputusin pacar."
"Ajeng nggak pernah ngurusin itu."
"Mas Singgih nggak tahu aja sih."
"Ajeng sanggup menghabiskan sekotak martabak." Dagu Singgih menunjuk ke kotak martabak manis di atas meja.
"Bikin iri," sungut Daisy. "Timbanganku langsung jebol. Eei, siapa tahu, mungkin aja setelah makan, Dokter Ajeng memuntahkannya."
"Olahraganya rajin."
Daisy tampak kesal. Belain aja terus. "Mulai besok aku harus rajin olahraga juga. Ingatkan aku. Setelah keluar dari rumah sakit, kita joging bareng."
Singgih tersenyum paham. "Asal jangan setengah jalan saja." Ia menyuap nasi goreng telur.
"Tekadku selalu bulat. Sebulat hatiku dalam meraih cita-cita." Daisy tak tahan untuk tak mengambil seiris martabak manis dalam kotak. "Hmm! Enak. Manis. Sama kayak yang makan." Ia menjejalkan sisanya ke mulut. "Cita-citanya Mas Singgih apa?"
Gerakan mengunyah Singgih terhenti sejenak.
"Cita-citaku pengen jadi dokter. Dulunya sih. Yaa, namanya juga anak-anak pasti kalau nggak jadi dokter ya, jadi princess. Semakin gede, cita-cita pun juga ikut berubah."
"Cita-citamu sudah kesampaian?"
"Dibilang udah kesampaian, nggak juga. Dibilang belum, sekarang sedang menjalaninya."
"Berkaitan dengan kerjaanmu?"
Daisy mengangguk.
"Menggambar?"
Sekali lagi Daisy mengangguk. "Aku pengen punya galeri seniku sendiri. Dan, menggelar pameran tunggal."
"Minta saja sama papamu."
Daisy menggoyangkan jari telunjuknya seraya menggeleng. "Aku harus buktikan kalau aku bisa berdiri sendiri."
Sebenarnya, tanpa harus bekerja pun Daisy bisa kok hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Setiap bulan, papanya selalu mengalirkan dana ke rekeningnya. Plesiran ke luar negeri; belanja; bahkan beli tas bermerk bisa dibeli. Sayangnya, Daisy bukan tipe cewek yang doyan beli tas bermerk dengan harga selangit. Gadis itu lebih suka menggambar di dalam kamar.
Ponsel Singgih berdering. Sebelah tangannya meraih ponsel di saku jaket.
Sekilas mata Daisy membaca cepat nama si pemanggil: Ajeng.
"Kamu di mana sekarang?" suara Singgih mendadak panik. "Tetap di situ. Jangan ke mana-mana sampai aku datang!"
Singgih meletakkan bungkusan nasi di atas meja, menenggak air minum cepat.
"Siapa? Terjadi sesuatu?" Daisy yang tak tahu sebab ikut panik.
"Aku keluar sebentar."
"Terus aku sendirian... di sini?"
"Cuma sebentar." Singgih masih berucap sabar meski di tengah kepanikannya.
Singgih gegas keluar ruangan dan meninggalkan Daisy sendiri.
Di atas brankar, Daisy duduk terpekur sedih.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Hingga satu jam berlalu. Singgih belum datang.
"Katanya cuma sebentar." Hati Daisy mulai terluka. "Katanya nggak akan ninggalin aku." Sebutir air matanya menetes. "Pada akhirnya aku ditinggalin juga..." isaknya.
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨