Milana, si gadis berparas cantik dengan bibir plum itu mampu membuat Rayn jatuh cinta pada pandangan pertama pada saat masa kuliah. Namun, tak cukup berani menyatakan perasaannya karena sebuah alasan. Hanya diam-diam perhatian dan peduli. Hingga suatu hari tersebar kabar bahwa Milana resmi menjadi kekasih dari teman dekat Rayn. Erik.
Setelah hampir dua tahun Rayn tidak pernah melihat ataupun mendengar kabar Milana, tiba-tiba gadis itu muncul. Melamar pekerjaan di restoran miliknya.
Masa lalu yang datang mengetuk kembali, membuat Rayn yang selama ini yakin sudah melupakan sang gadis, kini mulai bimbang. Sisi egois dalam dirinya muncul. Ia masih peduli. Namun, situasi menjadi rumit saat Erik mencoba meraih hati Milana lagi.
Di antara rasa lama yang kembali tumbuh dan pertemanan yang mulai diuji. Bagaimana Rayn akan bersikap? Apakah ia akan mengikuti sisi dirinya yang egois? Atau harus kembali menyerah seperti dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meridian Barat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 20 (Sebuah Kebetulan)
...~Selamat Membaca~...
.......
.......
Firsha dengan cekatan melayani customer yang memang cukup ramai pagi itu. Dia sesekali melihat pintu kaca yang menjadi jalan penghubung dari ruang restoran ke belakang. Berharap Milana segera muncul dari sana. Sudah 30 menit berlalu, sejak Milana pergi ke toilet. Namun, yang muncul malah Rayn.
Firsha berjalan agak cepat menghampiri Rayn. "Mas, Milana belum keluar dari kamar mandi ya? Ini customer banyak, saya dan Dimas agak kewalahan, Mas "
"Milan?" heran Rayn.
Firsha mengangguk. "Itu, tadi katanya dia sakit perut, mau ke toilet dulu, tapi gak keluar-keluar sampai sekarang," jelasnya.
"Biar saya panggil dia ya," ujar Rayn. Baru saja ia hendak kembali masuk ketika sebuah suara memanggilnya. Membuatnya urung berbalik. Mengedarkan pandangan mencari asal panggilan itu, hingga matanya menangkap sosok yang ia kenal, tengah duduk di kursi ujung restoran dengan secangkir kopi dan sandwich di mejanya. Erik.
Firsha ikut menoleh. "Mas, biar saya aja yang panggil Milana, deh."
"Eh ... gak usah, Fir." Rayn menghentikan Firsha. "Biar saya saja yang bantu ya. Biar saja Milana di toilet. Mungkin dia masih sakit perut," ujarnya lagi sebelum melangkah menghampiri Erik.
Firsha berkerut heran, tetapi juga tidak ambil pusing. Ia melanjutkan pekerjaannya.
Rayn duduk di kursi sebrang Erik. "Erik, tumben pagi-pagi ke sini?"
Erik hanya tersenyum. "Ya, sengaja. Aku belum sarapan. Jadi, sekalian berangkat kerja dan aku ingin sarapan di sini,'' ujarnya seraya matanya mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru restoran. Kemudian menatap Rayn.
Tingkah Erik membuat Rayn berkerut heran. "Kenapa, Rik?"
Erik tersenyum tipis. "Enggak ... oh iya, kau belum melihat Milana?"
Rayn menggeleng dengan ragu. "Kenapa? Kalau aku melihatnya, pasti sudah kukabari," jawab Rayn.
Erik mengangguk. "Aku tau, tapi ... kau benar-benar belum melihatnya? Di sekitaran sini, mungkin?"
Rayn mengernyit. Ia merasa ada yang tidak biasa dari ucapan kawan lamanya itu.
"Maksudku ... kau 'kan setiap hari di sekitaran sini. Masa tidak pernah melihat atau mungkin berpapasan dengan Milana, gitu?" Erik tersenyum kecil.
Rayn nenatap Erik, pun dengan Erik yang juga menatapnya. "Aku akan mengabarimu jika aku melihatnya."
Erik tidak menjawab, hanya menatap Rayn lama. Kemudian tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Ya ... kau masih menyimpan nomer ponselku, 'kan?" tanyanya sembari meraih cangkir kopi yang masih penuh dan menyeruput isinya.
Rayn tampak diam. 'Apa Erik tadi sempat melihat Milana? Atau bahkan mungkin bertemu?' Hatinya benar-benar gundah. Ada rasa bersalah di sana karena ia tak berterus terang.
Erik berdiri. "Ok, Rayn. Aku harus pergi kerja. Thanks ya," ujarnya seraya berdiri.
Rayn ikut berdiri. Melirik sandwich yang masih utuh di meja. Itu menunjukkan bahwa, tujuan Erik datang ke restoran bukan hanya untuk sarapan. "Oh .. kau buru-buru?"
"Ya, aku harus segera ke kantor. Ada meeting sebentar lagi." Erik mengeluarkan dompet dan segera melangkah ke arah meja kasir.
Rayn mengikuti di belakang. "Terimakasih sudah mampir, Erik. Aku harus masuk." Menepuk pelan bahu Erik. Setelahnya segera masuk melalui pintu kaca yang tertulis "staff only".
Erik yang masih berdiri di depan meja kasir. Menatap lama pintu yang baru saja dimasukin Rayn. 'Kenapa kau bohong, Rayn?'
Lalu segera pergi setelah menerima kembalian dari kasir.
...**********...
Erik masuk ke mobilnya. Menjalankan mobil itu ke luar dari area parkir restoran dan berbelok ke jalan raya. Pemuda dengan setelan rapi itu menepikan mobilnya tidak jauh dari restoran Rayn.
Erik mengeluarkan ponselnya. Menelpon seseorang dan bertanya, "Apa kau yakin, melihat Milana di sana?" Bicara dengan seseorang di sebrang telepon.
"Aku ke restorannya pagi ini, tapi tidak melihat Milana sama sekali." Erik menghela napas. "Baiklah, aku percaya padamu." Setelahnya sambungan telepon terputus.
"Kenapa kau bohong, Rayn. Ada apa sebenarnya di antara kau dan Milana?"
Kemarin malam, Erik bertemu Arga. Mereka tidak satu jurusan, tetapi mereka saling mengenal di tongkrongan saat masih kuliah dulu. Beberapa kali sempat bertemu dan mengobrol.
Dua hari sebelum Erik pergi ke restoran Rayn untuk pertama kalinya, ia bertemu dengan Arga. Mereka saling mengenal di tongkrongan saat masih kuliah dulu. Arga tiba-tiba saja membahas Milana saat bertemu dengan Erik.
"Kau, masih berpacaran dengan pacar masa kuliahmu yang cantik itu?" begitulah pertanyaan Arga saat itu.
Karena ditanya, Erik menceritakan hubungannya dengan Milana. Bilang bahwa saat ini sedang mencari Milana. Saat itulah Arga bilang, "Kau tau restoran besar yang di jalan Rambutan 4 sana. Aku bertemu dengan gadis itu di sekitar sana."
Maka itulah Erik mencoba peruntungan pergi ke restoran itu, yang ternyata adalah milik Rayn. Namun, Erik tidak melihat atau bertemu Milana. Hingga kemarin malam ia kembali bertemu Arga. Erik bilang bahwa ia masih belum bertemu Milana.
"Kau melihat Milana di mana, Ga? Aku sudah ke restoran itu, berharap berpapasan dengan Milana di sekitar sana. Dan kebetulan itu ternyata restoran milik teman kuliahku dulu. Rayn."
Arga mengangkat alisnya, ada tawa palsu dari bibirnya. "Kalau begitu, kenapa tidak tanyakan pada temanmu?"
Erik mengernyit heran. "Temanku? Rayn maksudmu?"
Arga mengangguk. "Gadis itu bekerja di restoran milik temanmu itu, ngomong-ngomong."
Erik sempat terkejut mendengar hal itu dan ragu. Karena meski Rayn tahu ia sedang mencari Milana, teman semasa kuliahnya dulu itu tidak bicara apapun tentang Milana.
Dan pagi ini, Erik kembali mengunjungi Restoran Rayn, tetapi Rayn tetap tidak bicara apapun soal Milana. Bagi Erik itu Terkesan menutup-nutupi.
'Ada apa sebenarnya antara kau dan Milana, Rayn? Apa sikap Milana waktu itu, ada hubungannya denganmu?'
Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Erik. Dulu, ada seorang yang bilang padanya bahwa Rayn menyukai Milana, tapi ia tak pernah menggubris hal itu. Namun, sekarang ia mulai bimbang dan memikirkan hal itu.
'Apa benar kau menyukai Milana sejak saat dia jadi kekasihku dulu, Rayn?'
...*************...
Rayn mengetuk pintu kamar mandi khusus karyawan di restorannya.
Pintu putih itu terbuka, Milana muncul dari dalam sana.
"Kamu kenapa? Sakit?" Itu pertanyaan yang pertama kali keluar dari mulut Rayn.
Milana menggeleng. "Hanya sakit perut biasa yang harus ke toilet, kok, Mas."
Rayn mengernyit. "Lalu, kenapa sangat lama?"
"Maaf, Mas."
"Ya sudah, sana kembali kerja kalau memang tidak apa-apa."
Milana hanya mengangguk. Bergegas ke arah wastafel, mencuci tangannya dan segera pergi ke depan.
Rayn masih di tempatnya. Memandang punggung Milana yang kini sudah berada didepan, bergabung dengan Firsha dan Dimas.
'Ini sebuah kebetulan, atau keberuntungan sedang berpihak padaku?'
.
.
.
Bersambung ....
Milana. ,gadis SPG seperti diriku/Hey/