Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Waktu berlalu tanpa ampun bagi Damar Saputra dan Senja Putri Saputra. Tiga bulan telah berlalu sejak Fajar Arun, Binar Mentari, dan Cahaya Surya lahir prematur. Tiga bulan di mana tidur nyenyak hanyalah sebuah mitos. Mereka melewati hari-hari seperti zombie yang berjalan, mengandalkan kafein dan kasih sayang murni untuk bertahan hidup.
Malam itu adalah puncaknya. Jam tiga pagi, lampu kamar bayi yang remang-remang menyala. Fajar menangis karena lapar, Binar menangis karena popoknya penuh, dan Cahaya menangis hanya karena tidak ingin sendirian. Mereka berjuang meredakan tangisan itu selama hampir satu jam.
"Fajar tidak mau susu formula. Kamu coba lagi pegang Cahaya, Damar!" bisik Senja, suaranya serak dan lelah.
Damar, yang baru saja berganti pakaian setelah menyiram muntahan Fajar dari bahunya, terduduk di kursi. "Aku sudah mencoba memegang Cahaya selama tiga puluh menit! Dia hanya mau diam kalau Ibu Fatimah yang menggendong!" Suara Damar terdengar dingin, bukan karena marah, tapi karena kelelahan yang ekstrem.
"Lalu aku harus bagaimana, Damar? Aku baru saja selesai memompa untuk Binar! Aku tidak punya empat tangan!" balas Senja, air matanya mulai menggenang.
Itu bukan pertengkaran yang besar, tapi pertengkaran sunyi, yang dipicu oleh hormon dan kurang tidur. Senja merasa Damar tidak memahami rasa sakit fisik dan psikis yang ia rasakan, sementara Damar merasa Senja meragukan usahanya.
"Aku tahu kau lelah, Senja! Tapi aku juga! Aku sudah tidak tidur nyenyak selama tiga bulan, dan aku masih harus pergi ke kantor besok pagi!" Damar akhirnya meledak, menyesali setiap kata saat ia mengucapkannya.
Senja meletakkan Fajar di boks bayinya, air matanya menetes. "Kalau begitu tidur saja! Biar aku yang urus semuanya! Aku sudah terbiasa sendirian!" Senja lalu berbalik, mengambil bantalnya, dan pindah ke sofa ruang tengah.
Kelelahan telah membuka kembali luka lama Senja rasa takut ditinggalkan dan keharusan untuk menanggung beban sendirian.
Keesokan paginya, Damar pergi ke kantor dengan hati yang berat. Ia tahu ia telah melukai Senja, meskipun ia tidak bermaksud demikian. Di kantor, ia tidak fokus.
Bagus, ayah Damar, yang melihat wajah putranya di ambang kehancuran, memanggilnya ke ruangannya.
"Ada apa, Damar? Wajahmu seperti mayat hidup," tegur Bagus, nadanya khawatir.
Damar menceritakan pertengkarannya dengan Senja, mengakui bahwa ia takut rumah tangga yang baru mereka bangun akan hancur hanya karena kelelahan.
Bagus tersenyum bijak. "Kau berhasil melawan monster di luar rumah, Nak. Jangan biarkan monster kelelahan menghancurkan rumah tanggamu. Menjadi orang tua kembar tiga bukan pekerjaan manusia normal. Kalian berdua adalah pahlawan. Tapi pahlawan juga butuh istirahat."
Bagus lalu memberikan solusi yang tegas. "Mulai malam ini, Ibu Fatimah akan menyewa dua perawat profesional yang akan menjaga anak-anakmu di malam hari selama enam bulan. Uang bukan masalah. Prioritasmu sekarang adalah memulihkan mental istrimu dan mempertahankan cintamu. Jangan pernah biarkan Senja merasa ia harus menanggung beban sendirian lagi."
Damar sangat berterima kasih. Ia menyadari bahwa cinta sejati bukan hanya tentang kata-kata, tetapi juga tentang dukungan logistik yang nyata.
Menerima kehadiran perawat malam (yang dijuluki Damar sebagai 'Pasukan Khusus Malam') segera meringankan beban. Senja akhirnya bisa tidur nyenyak selama enam jam berturut-turut.
Namun, ia menyadari bahwa istirahat fisik saja tidak cukup. Ia masih dihantui rasa takut yang samar saat mendengar tangisan anak-anaknya; ia takut jika ia bisa menjadi ibu yang buruk seperti Paramita.
Senja memutuskan kembali ke studionya.
Awalnya, ia hanya duduk diam, memandangi lensa kamera. Lalu, ia mulai mengambil foto. Ia memotret setumpuk kain bayi yang lembut, bunga-bunga kering, dan boneka kecil. Itu adalah terapi.
"Aku tidak akan membiarkan ketakutan ini menghentikanku. Kamera ini adalah perpanjangan tanganku. Ini adalah cara ku untuk bersinar." ucap senja bersemangat
Ketika ia memotret, ia tidak lagi merasa terbebani. Ia merasa dirinya kembali, menjadi Senja yang kuat, Senja yang berhasil menuntut keadilan. Fotografi adalah bentuk meditasi dan pembuktian diri yang kedua, setelah ia membuktikan diri sebagai ibu.
Satu bulan kemudian, Senja memberanikan diri. Ia menerima tawaran foto bayi newborn dari teman Fatimah .
Saat ia tiba di rumah klien dan melihat bayi yang tidur nyenyak, tangannya sempat gemetar. Ia takut. Ia takut memegang bayi itu terlalu erat, takut ia akan menyakiti seperti trauma yang ia rasakan.
Damar, yang sengaja menemaninya, menyadari ketakutan itu. Ia mendekat dan memeluk Senja.
"Dia bukan boneka, Sayang. Dia adalah keajaiban. Sama seperti Fajar, Binar, dan Cahaya. Ingat, kau adalah sumber cahaya. Kau tidak akan pernah menyakiti siapa pun," bisik Damar.
Senja menarik napas panjang. Ia mengambil kamera, lalu perlahan mengambil bayi itu dari ibunya. Rasa hangat dan lembut itu mengalir, menghapus rasa takutnya. Ia mulai bekerja dengan profesionalisme penuh, mengarahkan cahaya, dan mengambil bidikan yang indah.
Klien itu sangat puas. "Fotomu memiliki jiwa, Senja. Ada kehangatan yang luar biasa."
Senja tersenyum. Itu bukan hanya pujian atas hasil kerjanya, tapi juga kemenangan psikologis atas traumanya. Ia berhasil membuktikan, di bawah cahaya cintanya, ia bisa menyentuh dan melindungi keindahan.