Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 19
Lampu merah di persimpangan Zona 7 cuma bertahan 40 detik.
Cukup lama untuk keputusan, terlalu singkat untuk ragu.
Van hitam berhenti.
Mesin berdengung rendah, bukan lelah—tapi menunggu.
Di bak belakang bayang Kaelan sudah menempel seperti kucing besi, jari di handle pemecah kunci. Di atap gudang 40 meter dari jalan, Kenzi berlutut, kabel fiber keluar dari laptop kecil: ia menahan jaringan supaya CCTV berkedip buta setiap 2 detik. Dalam kedipan itu, mereka bergerak.
Najla berdiri 10 langkah dari zebra cross. Angin kota meniup jaketnya ke belakang. Tidak dramatis, tidak lambat—hanya jelas: dia siap.
Arlen di sampingnya.
Nada suaranya rendah tapi tajam, “Begitu lampu hijau, kita bukan berhentiin van. Kita belah ceritanya.”
Najla mengangguk. “Hijau kita masuk. Merah mereka tidak pernah pulang.”
---
Tik. CCTV mati 2 detik.
Itu tanda.
Gerak pertama.
Kaelan meledak dari belakang, klik–DUAK, kunci bak pecah.
Pintu logam terhempas, bunyinya seperti merobek rahasia.
Di dalam: bukan sandera biasa.
Anak laki-laki, 10 tahun, duduk di lantai, borgol magnet di pergelangan tangan, mata menyala aneh—bukan takut, tapi menonton dunia seperti data mentah.
Seraph, dari jauh, mendengus kecil.
“Bukan anak buronan. Itu node hidup.”
Tapi Kaelan sudah terlanjur masuk.
“Oi bocah, hidup kau mahal, tapi gratis malam ini. Gerak!”
Anak itu berdiri. Borgolnya berdengung.
Saat itu juga—ALARM INTERNAL van meraung, bukan bunyi polisi, bukan sirene. Ini nada sinkronisasi.
Dan persis ketika suara itu puncak—
Lampu lalu lintas berubah hijau.
Bukan tanda jalan.
Tanda perang.
---
Masuknya Orpheus
BRAKK—!!
Pintu SUV di ujung jalan meledak terbuka, bukan dramatis, tapi efisien.
Sepatu boots hitam turun duluan. Lalu mantel panjang tanpa lipatan. Lalu topeng tanpa ekspresi.
Orpheus.
Tidak lari.
Tidak teriak.
Dia berjalan, tapi jarak seperti runtuh sendiri setiap ia melangkah.
Di belakangnya—empat operator Unit Orpheus, masing-masing membawa baton frekuensi, alat yang bukan untuk memukul tubuh, tapi memutus medan anomali.
Kalimat pertama Orpheus tenang, hampir seperti bercakap di kafe:
“Letakkan node. Lalu kalian cuma jadi kriminal biasa, bukan legenda yang hilang.”
Arlen membuang ludah ke aspal. “Kami udah lama berhenti jadi ‘biasa’, Bung.”
Najla melangkah setengah badan ke depan. Tangannya meraba foto Arvella di saku, bukan ragu—tapi sebagai penyala.
“Kalau kau mau dia, lewati aku dulu.”
Orpheus memiringkan kepala 3 derajat. Itu bukan gestur; itu penguncian target.
---
Benturan
Operator Orpheus maju duluan.
Tigapuluh meter. Dua puluh. Sepuluh.
Kenzi menjerit dari radio: “Jangan biarkan mereka dekat, baton mereka pemutus medan! Kalau kena Najla, apinya MATI!”
Kaelan keluar dari bak sambil menarik anak itu di belakangnya. “Masuk ke lorong timur! Lari dan jangan lihat belakang!”
Anak itu tidak lari.
Dia memutar, menatap Najla…
dan untuk pertama kalinya, ia bicara:
“Kalau kau Arvella’s Ember… mata mereka sudah menyala duluan.”
Najla menegang.
TAPI terlambat mencerna.
Karena baton pertama memukul udara, dan udara itu RETAK seperti sinyal terputus.
PRAKK—
Gelombang frekuensi hancur membentur aspal, dan titik kecil percikan api Najla mendadak padam sepersekian detik.
Itu bukan serangan fisik.
Itu penghapusan sumber.
Najla terhuyung. Bukan lemah—terkejut.
Seolah sebagian identitasnya barusan dijabat paksa lalu dilepas.
Arlen langsung menyambar bahunya. “Tetap sadar. Itu belum dirimu, itu cuma pintunya yang mereka sentuh!”
Najla menahan napas.
“Berani sentuh sumberku,” gumamnya, “aku bakar akarnya.”
Dan di saat itulah—
Dia meremas foto Arvella di saku.
Bukan sebagai memori.
Tapi sebagai kompas menyala.
---
Api yang Tidak Menyambar — Tapi Merambat
Tidak ada ledakan.
Tidak ada cahaya dramatis.
Yang terjadi… ialah panas yang merayap ke tanah.
Seperti bara yang memilih arah, bukan amukan.
Garis tipis berwarna jingga merayap di aspal, melewati kaki Arlen, melewati Kaelan, menghindari mereka, lalu memanjat ke arah operator Orpheus seperti akar pohon yang memilih korban.
“Dia ga nyala…” Kaelan bergumam.
Arlen menyeringai kecil, “Dia tumbuh.”
Garis itu mencapai ujung sepatu operator pertama.
Tidak meledak.
Tidak membakar.
Tapi—
SHTTT—
Perangkat baton di tangan operator itu mati seketika.
Lampu indikatornya berubah abu-abu. Bukan error. Bukan rusak.
Diputus dari sumbernya.
Operator itu membeku.
“Dia gak bakar orang,” Seraph bergumam. “Dia bakar kepemilikannya.”
Najla mengangkat wajah, matanya berkilat tembaga, suaranya rendah:
“Ambil sumber dari aku?
Baik.
Tapi mulai sekarang… aku yang nulis apa yang boleh menyala.”
Orpheus diam beberapa detik.
Lalu—untuk pertama kali malam itu—ia tersenyum sedikit di balik topeng.
“Jadi itu bentuk apimu.”
Najla menjawab tanpa gentar:
“Itu namanya.
Arvella’s Ember.”
---
Tapi Orpheus bukan musuh biasa.
Ia menepuk sarung tangannya sendiri.
klik
Di pergelangan kirinya menyala segi enam biru kecil—alat sinkron tingkat elit.
Kalimatnya pendek:
“Kalau begitu… waktunya lihat siapa yang lebih dulu padam.”
Lampu jalan di atas mereka berkedip.
Bukan karena rusak.
Tapi karena medan baru saja berpindah pemilik.
Najla tidak tidur.
Ia hanya duduk di kasur, menunggu, seolah jika ia memejamkan mata, dunia akan runtuh sebelum pagi.
Arlen muncul di ambang pintu kamar tanpa suara.
Tubuhnya lelah, wajahnya datar, tapi ada gurat sesuatu di rahangnya—amarah yang belum selesai.
Najla mengangkat kepala pelan.
“Abang terluka lagi?”
suaranya kecil. Bukan takut, tapi sakit.
Arlen tidak menjawab. Ia menutup pintu di belakangnya, lalu duduk di kursi belajar, bukan di dekatnya.
Itu bukan jarak dingin…
Itu jarak untuk menahan dirinya agar tidak meledak.
“Ada yang mengikuti kita?” tanya Najla lagi.
Arlen menghela napas pendek.
“Kita sudah diikuti sejak lama.”
Najla menelan ludah. “Kenapa baru bilang?”
“Karena kalau kamu tahu, kamu tidak akan tidur. Dan aku tidak butuh kamu jadi tentara kecilku. Kamu cukup jadi adikku.”
Najla tertawa miring, sedikit pahit.
“Adik? Mereka mau bunuh kita, Len. Kamu masih pikir aku adik manis yang bisa disimpan di balik punggungmu?”
Sunyi jatuh. Berat.
Lampu meja berpendar kuning, membelah suasana menjadi dua sisi—dia dan dia, meski duduk di ruangan yang sama.
---
“Mulai malam ini, kamu dengar peraturanku.”
Nada Arlen bukan mengatur.
Itu nada seseorang yang sudah kehilangan banyak hal dan menolak kehilangan yang terakhir.
Jangan pernah pulang sendirian.
Kalau aku bilang lari, kamu tidak tanya, kamu lari.
Jangan percaya siapa pun selain aku.
Kalau keadaan memaksa, kamu lindungi dirimu dulu, bukan aku.
Dan yang paling penting—jangan takut. Mereka mencium rasa takut seperti darah.
Najla menatapnya lama.
Lalu ia berdiri, melangkah ke arahnya, berhenti tepat di depannya.
“Abang pikir aku tak takut?”
Arlen mendongak.
“Aku takut,” lanjut Najla, “Tapi bukan sama mereka. Aku takut suatu hari kamu pulang… dan ga ada aku lagi buat sambut.”
Tusukan itu lebih tajam dari pisau mana pun.
Dada Arlen mengencang, tapi suaranya tetap rata ketika bicara:
“Selama aku hidup, skenario itu tidak ada.”
Najla memiringkan kepala, setengah tersenyum.
“Yaudah, kalau gitu ajarin aku juga gimana caranya bertahan.”
---
Arlen berdiri.
Bukan menolak.
Bukan juga menyetujui.
Tapi ada kilatan di matanya, kilatan seorang kakak yang akhirnya paham…
Perang ini tidak bisa ia menangkan sendirian.
“Besok pagi,” katanya, “kita mulai dari dasar.”
Najla mengangguk.
Tapi sebelum Arlen sempat berbalik pergi, Najla menambahkan:
“Len…”
“?”
“Jangan mati dulu. Aku males hafal pidato buat pemakaman.”
Arlen mendengus.
Itu bukan tawa, tapi nyaris.
“Kalau aku mati duluan, kamu yang bayarin nisan.”
Najla menyeringai. “Boleh. Tapi tulisannya: Dibunuh adiknya sendiri karena ngeselin.”
Untuk pertama kali malam itu, Arlen hampir tersenyum.
---
Di luar rumah—atap gedung seberang
Bayangan pria bertopeng hitam mengamati jendela kamar Najla dari jauh.
Earphonenya berdesis.
“Mereka sadar kita mengawasi.”
Suara di seberang radio menjawab dingin:
“Bagus. Artinya permainan dimulai.”
Pria itu mengokang senjata—
klik.
“Besok malam, kita ambil yang perempuan dulu.”
---
Pagi Belum Datang.
Tapi Perang Sudah Bangun.