 
                            Sepuluh tahun menikah bukan menjadi jaminan untuk terus bersama. gimana rasanya rumah tangga yang terlihat adem-adem saja harus berakhir karena sang istri tidak kunjung mempunyai anak lantas apakah Aisy sanggup di madu hanya untuk mendapatkan keturunan?? saksikan kisahnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Keesokan paginya, suara ketukan pelan di depan pintu membuat Aisy menoleh dari dapur kecilnya.Ia baru saja menyiapkan bekal sederhana untuk hari pertamanya kembali mengikuti pelatihan setelah semua administrasi dinyatakan lengkap.
Saat pintu dibuka, berdirilah Kenny dengan senyum hangat dan penampilan rapi.
Kemeja putih dan jas abu yang melekat di tubuhnya membuat sosok itu terlihat berwibawa, tapi tetap teduh seperti biasanya.
“Pagi, Dokter Aisy,” sapanya ringan.
Aisy sedikit terkejut. “Pak Kenny? Saya kira Bapak cuma bercanda kemarin,” ucapnya dengan nada malu-malu.
Kenny terkekeh kecil. “Kalau menyangkut hal baik, saya jarang bercanda. ”Ia mengangkat dua cangkir kopi hangat dalam wadah termos. “Saya pikir dokter baru butuh energi tambahan.”
Aisy menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil senyum yang kali ini benar-benar tulus.
Ada sesuatu dari caranya bicara: tenang, sabar, dan tidak menuntut, membuat hatinya merasa aman.
“Terima kasih, Pak. Tapi saya bisa naik kendaraan umum kok,” ucapnya sopan.
“Tidak masalah,” balas Kenny santai. “Anggap saja saya berhutang terima kasih. Sejak kamu dekat dengan Zea, dia tidak lagi memanggil semua wanita sebagai Mamanya. Itu sudah lebih dari cukup.”
Aisy tersenyum lembut. “Zea anak yang manis. Saya senang bisa mengenalnya.”
Mereka pun berangkat bersama, menyusuri jalanan pagi yang mulai ramai.
Obrolan mereka ringan: tentang pelatihan, pasien, hingga beberapa candaan kecil yang tak sengaja membuat Aisy tertawa tanpa sadar.
“Dok, nanti kalau sampai rumah sakit jangan gugup ya,” ujar Kenny sambil melirik ke arahnya.
“Kenapa harus gugup, Pak?” tanya Aisy sambil menahan tawa.
“Barang kali teringat wajahku,” celetuk Kenny yang membuat Aisy langsung menunduk, tertawa malu.
“Ah, Bapak ini ada-ada saja,” sahutnya, pipinya memerah sedikit.
Tanpa sadar mobil yang dikendarai Kenny berhenti di area parkir rumah sakit.
Mereka turun, berjalan berdampingan menyusuri lorong panjang yang beraroma antiseptik. Langkah mereka tenang, seolah dua jiwa yang sama-sama sedang belajar menata ulang hidupnya.
Namun sesampainya di pusat pelatihan, suasana mendadak berubah. Petugas administrasi memanggil nama Aisy dan menyampaikan kabar yang membuatnya cemas.
“Maaf, Bu Aisy. Ada kendala pada berkas STR lama Ibu. Data lama tidak sinkron dengan sistem baru. Ibu harus melengkapi verifikasi manual ke pusat.”
Aisy terdiam, jantungnya berdegup cepat. “Tapi pelatihannya mulai hari ini... apa tidak bisa ditunda?” tanyanya khawatir.
Petugas menggeleng pelan. “Kami paham, tapi aturannya begitu. Tanpa validasi data, kami tidak bisa izinkan Ibu ikut sesi hari ini.”
Aisy menunduk. Ada rasa kecewa bukan karena takut gagal, tapi karena semua usaha kerasnya seolah akan tertahan lagi.
Namun sebelum ia sempat bicara, Kenny sudah melangkah maju. Ia menunjukkan ID-nya dengan sikap profesional.
“Boleh saya bantu?” katanya sopan. “Saya Kenny, staf administrasi pelatihan dari divisi pengembangan sumber daya medis. Bisa saya lihat datanya sebentar?”
Petugas itu tampak ragu sejenak, tapi setelah melihat ID Kenny, ia langsung mengangguk dan memberikan akses layar komputer.
Kenny menatap data itu cepat, lalu berbicara dengan nada tegas namun tenang.
“Oh, ini masalah sinkronisasi akun lama sistem STR sebelum versi digitalisasi. Saya bisa bantu konfirmasi ke pusat. Nanti data Ibu Aisy saya bantu teruskan langsung agar bisa diverifikasi cepat.”
Aisy menatapnya takjub. “Pak Kenny, tidak usah repot, saya ....”
“Tenang saja,” potong Kenny lembut. “Saya hanya membantu sesuai tugas saya.”
Ia menatapnya sejenak, lalu menambahkan dengan nada yang lebih pribadi, “Lagi pula... saya ingin kamu tetap mulai hari ini.”
Aisy terdiam. Ada sesuatu di balik kalimat itu yang membuat dadanya bergetar bukan karena romantis, tapi karena ia merasa... dilihat. Dihargai.Diperlakukan tanpa belas kasihan.
Dan untuk pertama kalinya, Aisy benar-benar percaya bahwa mungkin... langkah kecil yang ia ambil kali ini adalah awal dari hidup yang baru.
☘️☘️☘️☘️☘️
Rumah besar di kawasan selatan kota itu kini tak lagi sepi. Tangisan bayi kerap memecah malam, menandakan kehidupan baru yang lahir di sana kehidupan yang seharusnya membawa bahagia. Namun di balik pintu kamar utama, kehangatan itu tak pernah benar-benar hadir.
Reyhan duduk di tepi ranjang, kemeja kerjanya masih menempel tanpa sempat dibuka.Tatapannya kosong menembus dinding kamar, sedang dari sisi lain, suara lembut Arsinta terdengar pelan suara seorang perempuan yang mencoba menjadi istri, tapi tak pernah benar-benar diterima sepenuhnya.
“Mas, gendong sebentar ya,” ucap Sinta lembut sambil menimang bayi mungil berusia tiga minggu. “Dedek Azam kayaknya kangen suara ayahnya.”
Reyhan menoleh, sekilas. Bayi itu mungil, kulitnya pucat halus, dan anehnya, sedikit menyerupai dirinya. Harusnya ia bangga ia ayah sekarang. Tapi yang terasa justru berat di dada.
Pelan, ia bangkit, menatap bayi itu dengan campuran sayang dan keterasingan.
“Masih kecil banget ya…” gumamnya datar.
Sinta tersenyum, mencoba mencairkan suasana. “Iya, belum terbiasa bangun tiap malam, tapi… semua demi Mas dan Azam.”
Senyum itu hanya menggantung.
Reyhan tidak membalas, hanya duduk lagi dengan tatapan yang jauh.
“Mas…” suara Sinta merendah, getir. “Aku ngerasa kamu makin jauh. Bahkan waktu aku melahirkan pun, kamu diam aja. Aku tahu kamu capek, tapi rasanya kamu nggak pernah benar-benar di sini.”
Reyhan mengusap wajahnya pelan. Ia tahu Sinta benar, tapi lidahnya kelu untuk jujur.
Bagaimana ia bisa mengaku, kalau setiap kali melihat bayi itu, yang muncul justru wajah Aisy? Wajah yang tak lagi bisa ia temui, tapi masih hidup di hatinya.
“Aku cuma capek, Sin,” ucapnya pendek. “Kerjaan lagi banyak.”
Sinta terdiam sejenak, lalu menatapnya lurus.
“Masih nyari Aisy, ya?”
Reyhan menegang. “Dari mana kamu tahu?”
Sinta tersenyum tipis. “Aku bukan buta, Mas. Aku tahu kamu sempat ke pusat pelatihan itu. Aku tahu kamu masih nyimpan fotonya. Aku nggak marah, aku cuma lelah.”
Ia menarik napas berat. “Aku tahu aku cuma istri kedua. Aku nggak pernah mimpi ngambil tempat orang lain, apalagi Aisy. Tapi tolong, Mas… jangan jadikan aku penambal luka yang kamu toreh sendiri.”
Tangis bayi tiba-tiba pecah, memecah udara yang sudah sesak.Sinta bangkit, menimang anaknya pelan sambil menahan air mata, lalu berjalan menuju kamar bayi tanpa menoleh lagi. Pintu tertutup dengan suara lembut yang terasa lebih menyakitkan dari bentakan.
Reyhan tertinggal sendiri di kamar itu bersama rasa bersalah yang tak pernah reda.
Ia kini punya segalanya: rumah megah, anak, dan istri yang setia di sisinya. Tapi hatinya terasa kosong, seperti ruangan yang kehilangan jiwanya.
Ia berjalan ke balkon. Angin malam menyapa lembut, membawa aroma tanah basah.
Di kejauhan, lampu-lampu kota berkelip samar. Dan di antara semua itu, hatinya kembali memanggil satu nama yang tak pernah padam di pikirannya.
“Aisy…” bisiknya lirih. “Kamu baik-baik aja di sana? Aku nggak tahu kenapa, setiap lihat bayi ini, yang aku ingat malah kamu. Kamu yang dulu pengen punya anak, tapi malah aku yang nyakitin dan ngambil semua harapanmu.”
Matanya mulai basah. Ia mengusap kasar wajahnya, menahan gejolak yang seharusnya sudah ia kubur.
Suara langkah sepatu terdengar dari balik pintu. Ibunya masuk penampilan elegan, tapi sorot matanya tajam seperti pisau.
“Rey, kamu belum tidur juga?” suaranya terdengar lembut tapi penuh kendali.
Reyhan menoleh lemah. “Belum, Ma.”
Sang ibu mendekat, pandangannya melirik sekilas ke arah kamar bayi yang pintunya masih terbuka sedikit.
“Kasihan Sinta,” ucapnya datar. “Baru melahirkan, tapi kamu malah dingin begini.
Ingat, Rey… tanggung jawabmu sekarang di sini. Di rumah ini. Bukan di masa lalu.”
Reyhan diam, menggenggam tangannya erat di pangkuan. Tapi ibunya belum selesai.
“Mama tahu kamu masih mikirin perempuan itu,” suaranya menajam, menusuk.
“Aisy itu bukan siapa-siapa lagi, Rey. Dia sudah kotor, sudah hancur. Kamu nggak pantas buang waktu buat wanita kayak gitu.”
“Ma!” seru Reyhan keras, nadanya bergetar. “Jangan ngomong kayak gitu!”
Sang ibu mendengus kecil. “Kalau bukan karena Mama, kamu nggak bakal bisa nikah sama Sinta.Sekarang kamu punya anak, punya nama baik. Jangan bodoh cuma karena perasaan yang seharusnya sudah mati.”
Reyhan menatapnya dengan mata merah.
Ia ingin melawan, tapi yang keluar hanya keheningan.
Begitu ibunya meninggalkan kamar, Reyhan menatap ponselnya. Foto lama Aisy masih tersimpan di sana senyumnya lembut, matanya teduh.Ia menyentuh layar itu pelan, seperti ingin menghapus jarak waktu dan dosa yang memisahkan mereka.
“Ma, Sinta, Azam…” bisiknya hampa.
“Aku di sini, tapi hatiku masih di tempat lain.”
Dan di luar sana, entah di mana, Aisy mungkin sedang belajar tersenyum lagi tanpa tahu, bahwa ada seorang lelaki yang terus menyesali segalanya dalam sunyi.
Bersambung ....
 
                     
                     
                    