Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Komentar Ulasan Mesra
Tersenyum tipis...."
"Janji manis apa, Wi? Kamu kan anti janji."
"Ssst!" Dewi mendesis, tapi tetap tersenyum ke kamera.
"Pokoknya, ini rujak yang... yang melambangkan kesabaran dan ketulusan hati Gunawan... seperti buah yang dipotong dengan hati-hati dan bumbu yang diulek dengan penuh perasaan. Aku... aku merekomendasikan rujak ini untuk semua orang yang ingin merasakan... merasakan manisnya... manisnya sebuah awal yang baru!"
Ia menyuapkan rujak itu. Rasa manis, asam, pedas bumbu rujak memenuhi mulutnya. Enak, seperti biasa. Tapi untuk memujinya dengan bahasa mesra seperti itu, rasanya aneh.
"Nah, bagus! Bagus sekali!" Bu Ida bertepuk tangan.
"Kalian berdua memang serasi! Kimia kalian itu... seperti bumbu rujak dan seblak, saling melengkapi!"
Gunawan dan Dewi saling melirik. Kata-kata Bu Ida itu menggaung seperti komentar Pak Joko kemarin.
"Saling melengkapi."
"Oke, take kedua!" seru Bu Marni.
"Kali ini, Gunawan, kamu harus bilang, 'Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dewi, seperti rujak tanpa bumbu!' Dan Dewi, kamu harus bilang, 'Aku rela terbakar pedasnya seblakmu, Gunawan, asal bersamamu!'"
Dewi dan Gunawan terkesiap. Ini terlalu jauh. Mereka saling menatap, ada kekesalan di mata Dewi, tapi juga semacam... 'Apa-apaan ini?!' yang tercampur dengan kebingungan.
Gunawan berbisik pelan,
"Wi, ini... ini udah di luar kontrak, kan?"
Dewi membalas dengan tatapan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua. Sebuah tatapan yang berarti, 'Ya, tapi kita harus pura-pura. Nanti kita omongin di belakang.'
Mereka mulai mengembangkan bahasa sandi mereka sendiri. Jika Gunawan menggaruk telinga kirinya, itu berarti
"Ini terlalu berlebihan." Jika Dewi menyentuh hidungnya, itu berarti
"Cepat selesaikan." Dan jika salah satu dari mereka tiba-tiba menyebutkan "
ekosistem bisnis mikro terintegrasi," itu berarti
"Aku butuh alasan untuk kabur dari sini."
"Oke, Gunawan, giliranmu!" Bu Marni menyemangati.
Gunawan memandang Dewi, lalu menggaruk telinga kirinya. "Aku... aku tidak bisa hidup tanpamu, Dewi, seperti... seperti... ekosistem bisnis mikro terintegrasi tanpa... tanpa... inovasi!"
Bu Ida mengerutkan kening. "Ekosistem apa, Gunawan? Itu kan bukan bahasa mesra! Itu bahasa bisnis!"
"Iya, Bu!" Gunawan bersemangat.
"Karena... karena cintaku pada Dewi itu sekompleks ekosistem bisnis! Luas dan penuh potensi! Saya... saya ingin membangun masa depan bersamanya, Bu! Masa depan yang... yang terintegrasi!"
Dewi menyentuh hidungnya, lalu menatap Gunawan dengan tatapan yang berarti 'Ide buruk.'
"Sudah, sudah!" Bu Ida mengibaskan tangannya.
"Tidak usah pakai ekosistem segala! Pokoknya, yang romantis! Oke, kita coba lagi. Dewi, giliranmu!"
Dewi menghela napas.
"Aku... aku rela terbakar pedasnya seblakmu, Gunawan, asal... asal kita berdua bisa membangun... membangun sebuah... uhm... platform online yang saling mendukung!" Ia menatap Gunawan, berharap Gunawan mengerti bahwa ia sedang mencoba menyelamatkan situasi.
Gunawan mengangguk sedikit, mengerti.
"Betul sekali, Wi! Kita harus punya platform yang mendukung cinta kita!"
Bu Ida dan Love Brigade saling pandang, bingung. Tapi mereka melihat senyum di wajah Gunawan dan Dewi, meskipun senyum itu terasa seperti paksaan.
"Sudahlah!" Bu Ida menyerah.
"Yang penting kalian senyum! Nanti saya edit biar kelihatan lebih mesra! Sekarang, saya upload dulu videonya!"
*
Video "Ulasan Mesra Palsu" itu benar-benar viral, setidaknya di kalangan Lapak Kaki Lima Mesrah dan area sekitarnya. Komentar membanjiri akun media sosial lapak.
“Duh, mesra banget sih mereka! Bikin iri!”
“Gunawan mukanya merah banget waktu makan seblak Dewi, hahaha! Tulus banget cintanya!”
“Dewi kok agak kaku ya ngomongnya? Kayak terpaksa. Tapi lucu sih!”
“Rujak Seblak Mesra, cocok banget namanya! Semoga langgeng!”
Gunawan dan Dewi membaca komentar-komentar itu dari ponsel Gunawan, yang kini selalu dipegang Bu Ida untuk memantau popularitas mereka. Mereka duduk di kursi masing-masing, berpura-pura santai, tapi hati mereka berdebar.
"Lihat itu, Gunawan!" kata Bu Ida bangga.
"Semua orang suka! Rating kita naik drastis! Kalian memang pasangan idaman!"
Dewi mendengus.
"Idaman dari mana, Bu? Itu mereka cuma terhibur sama kekakuan kami."
"Ah, kamu ini! Jangan merendah begitu!" Bu Ida tersenyum lebar.
"Yang penting kan hasilnya!"
Gunawan diam-diam merasa senang. Ada beberapa komentar yang mengatakan ia terlihat tulus mencintai Dewi. Perasaan itu menghangatkan dadanya. Seolah-olah, sandiwaranya ini, sedikit demi sedikit, mulai diakui sebagai kenyataan oleh orang lain.
Tiba-tiba, sebuah komentar baru muncul, langsung di bawah video mereka. Komentar itu menonjol karena menggunakan huruf kapital dan banyak tanda seru.
"GUNAWAN TERLIHAT SANGAT JATUH CINTA!!!! DEWI HANYA PURA-PURA!!!! DASAR PENGECUT!!!!"
Seketika, suasana hening. Bu Ida, Bu Marni, dan Bu Tuti terdiam, menatap layar ponsel dengan kaget. Gunawan merasakan darahnya berdesir, lalu memanas. Komentar itu, entah mengapa, terasa seperti tamparan keras di wajahnya. Ia tahu itu benar—ia memang mencintai Dewi. Tapi dituduh Dewi hanya berpura-pura? Rasanya sakit.
Dewi, di sisi lain, langsung berdiri tegak. Wajahnya memerah padam, bukan karena malu, melainkan karena amarah yang membara. Matanya berkilat tajam, menatap layar ponsel seolah ingin membakar komentar itu. Kata "pura-pura" dan "pengecut" itu menusuk tepat ke luka lamanya. Ia, yang selalu berusaha kuat dan independen, kini dituduh hanya berpura-pura oleh seseorang yang tidak dikenalnya.
"Apa-apaan ini?!" Dewi membentak, suaranya menggelegar di seluruh lapak, menarik perhatian beberapa pelanggan.
Ia mengambil ponsel dari tangan Bu Ida dengan paksa.
"Pura-pura? Pengecut? Siapa ini?! Berani-beraninya dia ngomong begitu!" Ia menatap Gunawan dengan tatapan penuh tuduhan, seolah Gunawan yang menulis komentar itu.
Gunawan hanya bisa tersipu malu, jantungnya berdebar kencang. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Pengakuannya, yang selama ini hanya ia simpan rapat-rapat, kini seolah dibongkar paksa oleh seorang netizen asing, di depan Dewi, dan di depan seluruh Lapak Kaki Lima Mesra. Ia merasa telanjang, terpojok, dan... entah mengapa, sedikit senang. Tapi Dewi... Dewi jelas-jelas murka.
"Dewi, sabar, Nak!" Bu Ida mencoba menenangkan.
"Itu kan cuma orang iseng!"
"Iseng?!" Dewi berseru, matanya berkaca-kaca karena marah.
"Dia bilang aku pura-pura?! Dia bilang aku pengecut?! Ini bukan iseng, Bu! Ini... ini penghinaan!" Ia menatap lagi ke Gunawan, lalu ke komentar itu.
"Aku tidak akan biarkan ini!"
Gunawan menatap Dewi, yang kini terlihat lebih rapuh dari biasanya, meskipun diselimuti amarah. Ia ingin mengatakan sesuatu, membela diri, membela Dewi. Tapi kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Ia hanya bisa melihat Dewi, yang napasnya memburu, jari-jarinya mengepal erat.
"Aku akan cari tahu siapa orang ini!" Dewi menggeram, lalu menatap Gunawan dengan tatapan yang bercampur antara amarah dan... sesuatu yang tidak bisa Gunawan pahami.
"Kau... kau juga merasa begitu, kan?!"
Gunawan hanya bisa menunduk, tidak berani menjawab. Perasaannya campur aduk. Ia merasa dituduh, tapi juga merasa perasaannya divalidasi. Ini adalah titik balik yang aneh. Dan ia tahu, komentar ini akan mengubah segalanya.