NovelToon NovelToon
(Batas Tipis) CINTA & PROFESI

(Batas Tipis) CINTA & PROFESI

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Cintapertama
Popularitas:382
Nilai: 5
Nama Author: Penasigembul

Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19

Setelah tiga hari dan perban di kepalanya sudah dilepas, Marvin diijinkan untuk pulang, tapi ia masih harus kembali untuk rawat jalan dan melepas jaitan di kepalanya. Saka mendorong kursi roda Marvin setelah memaksa sepupunya itu menggunakan kursi roda. Sedangkan Intan berjalan disebelah putranya.

Bersamaan dengan kepulangan Marvin dari rumah sakit, diwaktu yang sama Antonpun diijinkan untuk pulang karena kondisinya sudah semakin membaik. Anton yang memilih tidak ingin merepotkan istrinya dengan mendorong kursi roda memilih untuk jalan pelan-pelan karena merasa tubuhnya sudah cukup segar dan fit. Matanya menangkap sosok Saka dan Intan yang tengah mendorong kursi roda dengan Marvin disana.

“Ayo, Mas.” Ajak Febi yang tidak dihiraukan oleh suaminya, Febipun mengikuti arah pandang Anton dan terkejut melihat Marvin yang duduk di kursi roda.

Anton melangkah menghampiri putranya.

“Marvin.” panggil Anton yang didengar oleh ketiganya dan berhasil menghentikan langkah mereka. Febi masih mengekori suaminya. Sejak melihat putranya tidak bisa dipungkiri hatinya terus bertanya apa yang terjadi pada anak sulungnya itu.

“Mas Anton, sudah boleh pulang?” tanya Intan berbasa basi ketika Anton sudah berada di dekat mereka. Anton hanya mengangguk dan melihat kearah putranya.

“kamu kenapa?” lidah Marvin kelu tidak bisa menjawab pertanyaan Anton ketika menyadari kehadiran Febi, kehadiran wanita itu mampu membuat Marvin membeku. Bukan karena takut tapi karena lelah harus menghadapi ketidak ramahan Febi kepada dirinya.

“Marvin kecelakaan beberapa waktu lalu, Om.” Saka memilih untuk membantu sepupunya menjawab, terlihat keterkejutan dan kecemasan dalam wajah pria paruh baya itu. Febi yang masih memasang wajah tidak bersahabat pun tetap menyimak Saka, meski berkesan tidak peduli tapi sorot matanya tidak bisa bohong kalau dirinya pun khawatir dan ingin tahu keadaan putranya.

“Apa yang terjadi?” tanya Anton lagi.

“tidak apa-apa, Pa. Bukan masalah serius.” Kali ini Marvin berusaha bersuara menjawab pertanyaan Anton.

“Apa kamu ingin pulang ke rumah, biar kami bisa merawatmu?” pertanyaan Anton yang tidak sengaja terlontar berhasil membuat tubuh Marvin menegang, wajahnya cemas, tawaran Anton hanya akan membuat dirinya semakin sulit untuk pulih.

“terima kasih, Pa. saya tidak mau merepotkan papa dan mama.” Balas Marvin menolak tawaran Anton sehalus yang ia bisa, ada kekecewaan terlihat di wajah Anton. Febi yang sedari tadi diam melihat perubahan raut wajah suaminya pun ikut bersuara.

“sudahlah, Mas. Dia memang tidak peduli dan tidak mau dipedulikan, lagi pula bagus kalau berpikir untuk tidak merepotkan kita, kamu pun masih perlu banyak perawatan.” Sahut Febi ketus sebelum suaminya kembali membujuk Marvin.

Marvin menatap Febi, sesuatu yang sudah tidak pernah ia lakukan dan selalu ia hindari, “sebegitu bencikah mama pada saya?” tanya Marvin dengan suara tegas namun penuh luka. Pertanyaan yang dilontarkan Marvin mampu membuat semua orang yang ada disana menegang dan menahan nafas mereka.

“seharusnya kamu belajar menebus kesalahanmu.” Balas Febi, suaranya tidak seketus tadi tapi masih terdengar tidak ramah.”setidaknya tunjukkanlah kalau kamu peduli, karena kamu tidak peduli kami kehilangan Martha.” Lanjut Febi lagi, tapi sedetik kemudian ia merasa menyesal mengatakannya.

“penebusan apa yang harus saya lakukan agar anda puas?” panggilan ‘anda’ yang disematkan Marvin berhasil meremas hati Febi, , “tidakkah cukup saya kehilangan kasih sayang dan perhatian anda sepanjang hidup saya?” Marvin melanjutkan, pertanyaan yang sedikit menoreh luka di sudut hati Febi.

“setidaknya kalau sudah gagal menjaga adikmu, kamu bisa lebih peduli untuk menjaga kami.” Tukas Febi, suaranya sedikit bergetar. Semua orang menyadari wanita dingin ini merindukan putranya hanya tidak mau mengakui dan menurunkan egonya untuk membujuk putranya dengan cara yang lebih halus, hanya Marvin yang tidak menyadari hal tersebut.

“bukankah anda lebih nyaman tanpa ada saya?” balas Marvin lagi, mengingat perkataan Febi ketika Marvin ijin untuk tinggal sendiri. Febi terdiam. “kenapa sekarang seolah anda mengharapkan kehadiran saya? Tidak adakah orang untuk disalahkan lagi selain saya?” tutur Marvin masih dengan suara penuh luka.

Marvin merasa Kepalanya berdenyut hebat, refleks ia memegangi kepalanya. Intan yang melihat hal itu memberi kode pada Saka untuk membawa Marvin pergi.

“Kamu tenang saja Mas, aku akan menjaga dan menemaninya.” Intan menghampiri Anton dan mengelus lengan kakaknya lembut. Anton hanya tersenyum tipis meski kecemasan pada mata pria paruh baya itu tidak bisa disembunyikan.

“lembutkan hatimu, Mba Febi. Akui jika merindukan putramu, jangan terus menusukkan belati tajam dihatinya.” Kali ini perkataan Intan itu ia tujukan kepada kakak iparnya sebelum melangkah menyusul putra dan keponakannya, meninggalkan sepasang suami istri yang masih terdiam disana.

Marvin hanya diam sepanjang perjalanan dari rumah sakit menuju penthousenya, ada sedikit rasa menyesal karena harus berdebat dengan Febi dan membuat rasa sesak yang sempat menghilang sejenak kembali dengan badai yang lebih besar untuknya. Ia bisa memilih diam dan meminta Saka untuk membawanya pergi dari sana daripada membuat semua orang terluka termasuk dirinya.

Pemuda itu sudah berada di kamarnya tapi masih enggan bersuara, hatinya kembali terluka karena melihat sikap Febi yang tidak berubah, bahkan kecelakaan yang menimpa dirinya tidak membuat wanita itu iba atau sekedar melunakkan hatinya meski hanya sedikit. Di hati kecilnya, Marvin menyesal kenapa kecelakaan kemarin tidak membuat ia merenggang nyawa.

Intan menyodorkan beberapa butir obat dan segelas air yang sudah ia siapkan tadi, Marvin hanya melirik secara bergantian ke arah obat di tangan Intan dan wajah wanita itu.

“Minum dulu obatnya, nak.” Ujar Intan lembut, sekali lagi tangannya ia arahkan ke tangan Marvin.

“Tidak perlu minum obat, tante.” Ujar Marvin sambil mendorong tangan Intan yang menyodorkan obat-obatan itu.

“Ini bisa meredakan nyeri di kepalamu,nak.” Bujuk Intan lembut.

“Aku tidak butuh pereda nyeri di kepalaku.” Balas Marvin keras kepala.

“Tapi lu harus minum obatnya, Vin.” Saka bersuara ikut membujuk sepupunya, tapi bukan mendapat balasan ramah, Marvin malah menatap tajam kearah sepupunya itu.

Marvin segera mengalihkan tatapannya, “Tante dan Saka beristirahatlah, pasti lelah beberapa hari ini menunggui dan mengurusku di rumah sakit. Maaf sudah merepotkan kalian.” Ujar Marvin tidak mengindahkan bujukan Intan ataupun Saka.

Intan memandang Saka yang mengangguk. Lalu meletakkan obat dan gelas air di meja nakas sebelah tempat tidur Marvin.

“Tante akan menginap beberapa hari, kalau butuh apa-apa panggil tante atau Saka.” ujar Intan sambil menepuk bahu keponakannya dan melangkah meninggalkannya sendiri. Memberikan ruang kepada Marvin untuk menenangkan dirinya.

“tenang saja. Ma. Jika memang dibutuhkan aku bisa minta tolong pada Psikolog yang mendampingi Marvin untuk datang.” Ujar Saka menenangkan Intan yang terlihat gelisah dan khawatir meninggalkan Marvin sendirian di tengah hati keponakannya yang kacau.

*

Ditempat lain, Bianca tidak berhenti memikirkan Marvin. Sampai dering ponselnya memenuhi pendengarannya, nama Saka muncul dari layar yang terus menyala itu.

“halo Bianca.” Terdengar suara Saka ketika Bianca menempelkan benda pipih itu di telinganya.

“ya, Kak Saka.” balas Bianca.

“Bisa kita bertemu, Ca?” tanya Saka, Bianca melirik jam dinding di kamarnya, baru pukul 5 sore.

“Boleh, mau ketemu dimana, Kak?” tanya Bianca setelah mengiyakan ajakan Saka. Iapun bisa menjadikan pertemuan ini untuk mengetahui keadaan Marvin.

“Aku kirim lokasinya melalui pesan ya.” Setelah Bianca mengiyakan, Sakapun memutus sambungan telepon dan semenit kemudian Bianca menerima alamat restoran yang menjadi tempat janjian mereka.

Setelah mengganti pakaiannya dan pamit kepada Vivi, Biancapun melajukan mobilnya menuju restoran yang sudah dikirimkan Saka tadi, memarkirkan mobilnya dan masuk ke dalam restoran yang berada di lantai dasar penthouse Marvin.

“thanks Ca, udah mau datang.” Ujar Saka setelah Bianca duduk di hadapannya. Bianca hanya tersenyum dan mengangguk. “pesen dulu, Ca.” Ujar Saka lagi sambil memanggil pelayan.

“Bagaimana kondisi Kak Marvin?” tanya Bianca ketika pelayan meninggalkan mereka setelah memastikan pesanan yang mereka pesan.

“Marvin sudah pulang dari rumah sakit sejak siang tadi, Ca.”jawab Saka yang membuat hati Bianca lega, namun kelegaan itu hanya sesaat sampai akhirnya Saka kembali berucap, “Apakah memungkinkan jika aku mau berbicara mengenai Marvin denganmu?

“Jika itu memang bisa membantu tidak masalah, Kak.” Jawab Bianca ragu, rasa ingin tahu tentang Marvinlah yang mendorongnya berada disini.

“Marvin...” Saka terdiam setelah menyebut nama sepupunya, pandangannya menerawang. “Aku tidak tahu sejauh mana dia sudah bercerita kepadamu, ia selalu sendirian sejak kematian adiknya. Lebih suka menyendiri, menyalahkan diri sendiri, dan selalu melukai dirinya karena ia merasa tanpa dirinya semua akan jauh lebih baik.” Penuturan Saka menjadi sesuatu yang Bianca catat dalam kepalanya, sebagian hal yang dikatakan Saka sudah ia ketahui tapi ada beberapa hal yang baru ia ketahui. Bianca masih belum bersuara, menyimak dan menunggu apa yang selanjutnya akan Saka ceritakan.

“Marvin akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah orangtuanya dan tinggal sendiri.” Lanjut Saka, Bianca masih memerhatikan dengan serius, beberapa cerita Marvin padanya saat sesi memang sangat menggambarkan kalau pria itu sudah tidak tinggal bersama orangtuanya. “sejak saat itu Marvin jadi lebih sering melukai dan mencoba mengakhiri hidupnya, pemicu terbesarnya adalah setiap kali ia bertemu orangtuanya, terutama ibunya.” Bianca memejamkan matanya, menahan air mata yang ingin menerobos keluar ketika kembali mendengar Saka mengatakan Marvin sering melakukan percobaan bunuh diri. Pria dengan wajah dingin dan tegas itu ternyata sangat rentan dan rapuh.

Melihat Bianca yang belum juga memberikan respon, Saka pun kembali bersuara “boleh aku tahu sejauh mana Marvin sudah menceritakan masalahnya padamu?” pertanyaan itu membuat Bianca menatap pemuda di hadapannya, masih belum mengeluarkan suara apapun.

Setelah menimbang cukup lama, akhirnya Bianca memutuskan untuk menyampaikan poin-poin penting dalam sesi yang dilakukan Marvin beberapa waktu ini. Kali ini gantian Saka yang diam dan menyimak setiap cerita yang disampaikan oleh Bianca.

“Ia selalu merasa keberadaannya tidak diharapkan dan diinginkan oleh keluarganya terutama ibunya.” Saka bergumam setelah Bianca menceritakan beberapa poin dalam sesinya dengan Marvin.

“tadi secara tidak sengaja kami bertemu dengan orangtua Marvin, ayahnya juga baru diijinkan pulang hari ini, tapi pertemuan itu sepertinya membuat Marvin sedih dan sakit hati. Saat ini Marvin hanya ingin sendiri dan tidak mau ditemani siapapun.” Bianca sedikit terkejut mendengar perkataan Saka.

“seharusnya Kak Saka tidak meninggalkannya sendirian.” Tutur Bianca menyuarakan isi hatinya sambil menyesap kopi hitam yang baru saja di antar oleh pelayan.

“Ada mamaku di atas, penthouse Marvin berada di lantai paling atas gedung ini.” Jawab Saka juga sambil menyesap kopinya. Bianca mengangguk, ada kelegaan tergambar di wajahnya ketika mendengar Marvin setidaknya tidak sendirian.

“Apa yang bisa aku ban...” belum sempat Bianca menyelesaikan kalimatnya, dering ponsel Saka menginterupsi mereka. Nama Intan muncul di layar ponsel Saka yang menyala, dengan cepat Saka mengangkat panggilan tersebut.

“cepatlah kembali!” Suara Intan yang panik dan terus memanggil Marvin untuk menghentikan apapun yang dilakukan pria itu berhasil membuat Saka meninggalkan tempatnya, ia meletakan beberapa lembar uang seratus ribu lalu beranjak dari sana. Biancapun dengan cepat mengekori langkah Saka.

1
Tít láo
Aku udah baca beberapa cerita disini, tapi ini yang paling bikin saya excited!
Michael
aku mendukung karya penulis baru, semangat kakak 👍
Gbi Clavijo🌙
Bagus banget! Aku jadi kangen sama tokoh-tokohnya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!