Aku, Ghea Ardella, hanyalah seorang gadis pecinta sastra,menulis mimpi di antara bait-bait senja,
terobsesi pada harapan yang kupanggil dream,dan pada seorang pria yang kusebut my last love.
Dia, pria asal Lampung yang tak pernah kusentuh secara nyata,hanya hadir lewat layar,namun di hatiku dia hidup seperti nyata.
Aku tak tahu,apakah cinta ini bersambut,
atau hanya berlabuh pada pelabuhan kosong.
Mungkin di sana,ia sudah menggenggam tangan wanita lain,sementara aku di sini, masih menunggu,seperti puisi yang kehilangan pembacanya.
Tapi bagiku
dia tetaplah cinta terakhir,
meski mungkin hanya akan abadi
di antara kata, kiasan,
dan sunyi yang kupeluk sendiri.
Terkadang aku bertanya pada semesta, apakah dia benar takdirku?atau hanya persinggahan yang diciptakan untuk menguji hatiku?
Ada kalanya aku merasa dia adalah jawaban,
namun di sisi lain,ada bisikan yang membuatku ragu.
is he really mine, or just a beautiful illusion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thalireya_virelune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
gratisan dan sadar diri
Beberapa hari kemudian, aku mulai sadar… semua yang kulakukan selama ini hanyalah sia-sia. Air mata, pengorbanan, bahkan rasa cintaku yang kuberikan tanpa batas semuanya hanya menjerumuskan ku lebih dalam pada luka.
Aku menggenggam erat hatiku sendiri, berjanji dalam diam
“Jika suatu hari dia kembali mengajakku ke arah yang sama aku akan menolaknya. Aku harus menolaknya.”
Saat itu aku sedang luluran, berusaha merawat diriku sendiri, seolah-olah dengan itu aku bisa menghapus segala resah.
Namun, pikiranku tetap saja tidak berubah,kembali pada satu nama Reza. Entah kenapa, dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku begitu yakin suatu hari nanti dia akan kembali.
Dan jika hari itu benar-benar datang, aku tak ingin lagi bersembunyi di balik gengsi atau pura-pura lupa. Aku akan jujur. Aku akan katakan padanya, apa yang sebenarnya aku rasakan selama ini betapa besar cintaku, betapa dalam lukaku, dan betapa aku tak pernah benar-benar bisa berhenti merindukannya.
Aku berharap dengan semua yang kulakukan ini, dengan segala kesabaran dan pengorbanan yang kusembunyikan, suatu hari hatinya akan luluh. Aku percaya, jika cinta itu tulus, pasti akan menemukan jalan pulang.
Namun kenyataan tak pernah berjalan seindah harapan.
Hari itu, tiba tiba setelah beberapa minggu lamanya dia memblokirku, ponselku kembali bergetar. Dari dua nomor berbeda, muncul pesan singkat yang sama:
"p"
Aku terdiam. Jantungku berdegup kencang. Ada bagian dalam diriku yang begitu senang seolah luka lama diberi harapan baru.
Aku pun membalas dengan singkat,
"Apa?"
Beberapa detik kemudian, layar ponselku kembali berkedip.
"Gak apa²."
Aku pun membalasnya dengan kata singkat,
"Ok."
Tak lama kemudian, ponselku kembali berbunyi.
"Oi."
Aku menatap layar, sedikit bingung. Jemariku mengetik cepat.
"Iya, ada apa?"
Balasannya muncul begitu cepat, membuat dadaku mendadak sesak.
"Vc yuk."
Aku terdiam lama. Mataku terpaku pada pesan singkat itu, hati ini bergetar. Bagian dari diriku begitu ingin mendengar suaranya lagi, menatap wajahnya meski hanya melalui layar. Tapi bagian lain dari batinku berteriak ingat semua sakitnya, ingat bagaimana dia pernah memblokirku, meninggalkanku dalam luka.
Dengan berat hati aku membalas singkat,
"Gk ah."
Beberapa detik kemudian, balasannya muncul lagi.
"Yaudh katanya mau liat muka gua."
Aku menghela napas panjang, jemariku gemetar saat mengetik.
"Bkn gua sih yg mau liat muka lu.
Gua kan udah tau."
Aku menatap layar lama sekali setelah itu, berharap ia tidak membalas lagi tapi hatiku sendiri masih menunggu, seolah-olah tetap ingin ada kalimat lain darinya.
Pesan Reza masuk lagi:
"Trus siapa?"
Aku menarik napas, jujur tapi setengah mengelak.
"Tmen gua.
Penasaran sama wajah lu.
Tapi da udah enggak sekarang mah."
Seketika aku teringat iya, memang waktu itu Yena yang sempat penasaran banget pengen liat wajah Reza. Tapi sekarang, aku jawab seadanya, mencoba menutup rasa yang sebenarnya masih penuh sesak di dada.
"Oke lah klo gitu mah," balasnya singkat, seolah semua ini biasa saja.
Jantungku berdetak lebih cepat, ada pertanyaan yang sejak lama mengganjal. Dengan tangan bergetar, aku mengetik:
"Dri dulu lu kemana aja?"
Tak butuh waktu lama, balasannya muncul dengan dingin, tanpa rasa bersalah:
"Hp nya di pake adek gua makanya gua blok dulu."
Aku terdiam, menatap layar ponsel dengan perasaan bercampur aduk. Menghela napas panjang, aku tahu itu hanya alasan.
Logikanya, kalau benar cuma dipinjam adiknya, kenapa harus memblokirku? Kenapa harus membuatku merasa seolah aku tak pantas ada dalam hidupnya?
Dengan hati yang kecewa, aku hanya mengetik singkat:
"Oh."
Aku kira dia akan minta maaf. Aku kira ada sedikit penyesalan dalam dirinya. Tapi ternyata, dia masih sama.
Ponselku kembali berdering. Nama itu lagi, Reza. Kali ini pesannya muncul tanpa rasa bersalah:
“Ayok mau vc ga.”
Aku menggigit bibir, mencoba menahan sesak di dadaku. Dengan jemari yang gemetar, aku membalas:
“Kan ada kaka Nancy, sama dia aja.”
Balasan darinya langsung menusuk, seperti ancaman:
“Mau ga? klo ga gua blok lagi.”
Air mataku menetes tanpa bisa dibendung. Rasa sakit yang membara bercampur dengan amarah. Aku mengetik cepat, seakan berteriak lewat huruf-huruf yang terpampang di layar:
“Silahkan blok aja! Nurut atau enggak, lo juga tetep blok gue kan?”
Detik berikutnya, balasan datang, dingin, menyakitkan, seperti tamparan keras ke wajahku:
“Ngga tuh. Ya klo mau vc ayok. Klo ga yaudh.”
Hatiku hancur seketika. Begitu mudah dia mempermainkan perasaanku, seolah aku hanya pilihan terakhir, seolah cintaku yang tulus hanyalah mainan baginya.
Aku menatap layar ponselku dengan mata yang buram oleh air mata. Jemariku bergetar, tapi aku tetap mengetik, meski hatiku terkoyak:
“Alah taik, waktu itu aja lo langsung blok gue malemnya? Kan lo ada Caca, bahan baru lo. Kenapa gak sama dia aja?”
Nama itu terucap begitu saja Caca. Cewek bertubuh tobrut, yang selalu dia follow, yang aku tahu diam-diam dia incar. Bedanya, dia gak mampu membeli Caca. Sedangkan aku aku ini gratisan.
Seketika aku tersenyum miris di balik tangisan. Siapa sih, di dunia ini, yang gak suka gratisan? Reza pun begitu.
Aku sadar, bukan cintaku yang ia lihat, tapi tubuhku yang gratisan ini,Dan betapa menyakitkan ketika menyadari bahwa di matanya aku hanya sekadar pelarian murah.
Aku menunggu balasan dari Reza dengan hati berdebar, berharap ada penyesalan, atau sekadar kata maaf. Tapi yang muncul justru kalimat yang menusuk ulu hatiku lebih dalam:
“Mau ga? Yaudah klo ga mau gua blok.”
Aku tertegun.
Apa-apaan ini?
Emangnya aku apa buat dia? Babu? Mainan? Atau budak nafsu gratisan?
Aku menghela napas panjang, air mataku jatuh tanpa bisa kubendung lagi.
Dia bayar aku aja enggak. Semua aku lakukan pake uang sendiri.
Paket data, pulsa, bahkan tenaga dan hati, semua aku yang keluarin.
Lalu kenapa dia masih bisa sok berharga gitu?
Kenapa dia bisa segampang itu mengancam seolah-olah aku yang salah?
Aku menatap layar ponsel dengan tangan gemetar,aku pun membalas:
"Silahkan lagian apakah gue minta Lo nge chat gue lagi?"
"Kgak kan?"
Reza: ok
(aku menutupi ponselku, tidak menyangka dia menganggapku tidak berharga)
Beberapa saat kemudian, notif muncul:
Reza: gua blok ya
(dalam hati aku):
Silahkan aja blok anjing, gua cuman jadi pelacur gratisan buat lo, lo aja gak bayar gua? Kenapa? Lo gak sanggup bayar lonte.
Aku: Silahkan aja blok anjing, lo pikir seberapa berharga hidup lo buat gua? Lo itu bukan selebritis.
Reza: Ouuuh
Aku: Iya, sadar diri Wen boy
Reza: Lu?
(seakan menyuruh aku menilai diri sendiri, menegaskan kalau dia merasa superior)
Aku: Gua mah sadar diri. Makannya gue berhenti ngejar Lo.
Lo g mungkin suka sama gue dengan keadaan diri gue.
Reza: Suka aja sih
(seolah dia sangat ingin aku, tapi sebenarnya maksudnya lain)
Dia suka sama gua karena gua ini gratisan ,gampangan,dan gak perlu effort.
Aku pun membalasnya.
Aku: Suka karna gampangan wkwk