NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28 Mau Berkhianat Padaku, Ed?

“Kenapa lama sekali?” Alex sudah menyambutnya di atas kasur, tidak mengganti jubah mandinya atau pun memakai sesuatu di dalam jubah itu.

Saat dia berbaring, belahan dadanya terbuka sampai hampir menyentuh pusar. Ditambah lagi dengan belahan bawah yang tersingkap sampai pahanya, dia sama seperti telanjang bulat.

“Alex, kau sangat tidak tahu malu.” Eve mendekat, membawa nampan bersamanya.

“Menurutmu, berapa kali kita sudah berhubungan badan?”

“Tapi tetap saja itu memalukan. Bagaimana kau bisa sangat percaya diri memamerkan tubuhmu padaku?”

Alex tersenyum tipis, berjalan dan memeluknya dari belakang. “Tapi … kau menyukainya, kan?” bisiknya di telinga Eve dengan mesum. “Aku ingat jika aku pernah mengundangmu ke play room.”

“Alex, kenapa kau membahasnya lagi?”

“Merindukannya.”

“Alex ….” Eve menekan sikutnya ke perut Alex, mencoba melepaskan diri, tapi Alex tidak berniat melepasnya. “Kau sudah berjanji untuk tidak pernah menyentuh itu lagi.”

“Sungguh? Kapan aku berjanji?”

“Kau amnesia, bagaimana kau bisa mengingatnya?”

“Lalu, bagaimana aku percaya jika aku sudah berjanji sedangkan aku amnesia?”

“Karena kau harus percaya dengan semua yang aku katakan. Jika kau tidak percaya padaku, apa kau akan percaya pada wanita lain?” Eve mendengus, melepaskan diri dengan keras. “Aku lapar, Alex. Sangat, sangat lapar.”

“Aku ingin tahu bagaimana aku bisa membiarkan ruangan itu terbongkar.”

Alex mengikuti duduk di sisinya, menunggu Eve bicara.

Setelah menceritakan beberapa hal penting apa yang sudah terjadi sampai di kapal pesiar, Alex sedikit lebih mengerti dan lebih banyak bingung sekaligus.

“Shania … aku ingat dia temanmu di toko.”

“Ya, itu sudah lama sekali, Alex.”

“Kenapa dia melakukan itu padamu?”

“Itu karena dia sempat meminta bantuan padamu untuk membantunya mendapatkan donor jantung. Adiknya bernama Sella mengalami kelainan, tapi kau membatalkannya. Dia tidak tertolong, lalu meninggal tidak lama setelah itu.”

“Apa aku begitu jahat?” Alex bertanya dengan polos, seolah semua wajahnya menunjukkan dia adalah pria yang dilahirkan dari surga tanpa memiliki dosa.

“Kau ingin jawaban jujur, atau tidak?” Eve menggodanya, tersenyum miring sambil menyendok sup.

“Ayolah, aku benar-benar penasaran apa saja yang sudah kulewatkan.”

“Baiklah. Itu terjadi saat di rumah sakit. Shania berpikir untuk membunuhku dengan mengirim Laura. Setelah itu dia akan mengambil jantungku karena dia … dia menyukaimu. Dia cemburu karena aku mendapatkan semuanya, sedangkan hidupnya tidak beruntung. Aku tidak perlu menjelaskan siapa Laura karena kau pasti mengingatnya, kan?”

Laura … tentu saja. Bahkan ingatan itu sangat jelas di kepalanya seolah itu baru saja terjadi kemarin. Dan sekarang, dia terbangun mendapati bahwa dia memiliki anak sebesar Daisy. Dunia berputar terlalu cepat baginya.

“Bagaimana Shania sekarang? Jika dia belum mati, aku akan menguburnya hidup-hidup.”

“Alex, dia sudah gila karena kau melemparnya ke sarang pria mesum di kapal waktu itu. Shania menjadi santapan, dan berakhir di rumah sakit jiwa. Tapi sayangnya … Laura membebaskannya dan membawa dia kabur tepat sebelum kau kecelakaan.”

Alex menghela napas. Rasanya gemas sekali, dia ingin memburu wanita itu sampai mendapatkannya kembali.

“Bagaimana dengan Miranda?” tanyanya lagi.

“Kau memenjarakannya di penjara pria.”

Mendengar apa yang sudah dia lakukan pada Miranda, dia tersenyum puas. “Kau pasti sangat bangga karena memiliki suami yang sangat tampan dan hebat.”

“Alex, sejak kapan kau jadi narsis seperti ini?” Eve menatapnya, matanya menyorot dengan jijik.

“Apa yang salah? Aku berkata benar. Jika tidak, bagaimana semua wanita gila karenaku?”

“Baiklah, tapi itu tidak perlu dikatakan. Itu menggelikan!”

Alex menarik senyumnya, menyeret pinggang Eve mendekat ke dadanya.

“Kau tidak makan? Cobalah, sup ini enak.” Eve menyodorkan sendok ke mulut Alex, tapi pria itu menggeleng. Saat Eve menelannya sendiri, Alex malah menarik tengkuknya lalu menciumnya sangat dalam.

“Memang sangat lezat,” kata Alex setelah puas mencium istrinya.

Ingatannya telah berhenti saat Eve kecelakaan, menganggap istrinya ini sudah meninggal. Jadi setelah dia lepas dari rumah sakit, tidak ada yang diinginkan Alex selain menerkam Eve.

Belum juga Eve menyelesaikan sarapannya, Alex sudah melanjutkan apa yang seharusnya sudah selesai tadi malam.

Untung saja sore harinya Edgar sudah membawa Daisy pulang. Kalau tidak, entah bagaimana Eve akan menjelaskan situasinya pada Alex.

Begitu Daisy sampai di rumah, Alex segera menghampiri dan menggendong gadis kecil itu. “Kau bersenang-senang hari ini?”

“Ya, aku sangat senang sekali!” jawab Daisy riang.

“Lebih senang daripada bersama Ayahmu?”

Daisy tertawa, lalu menatapnya dengan mata bulat. “Ayah, kau cemburu pada Paman?”

“Mm … mungkin sedikit,” jawab Alex dengan nada pura-pura murung.

“Ayah, kau cengeng sekali!” Daisy mencibir manja. “Sebentar lagi ulang tahunku. Kau tidak melupakannya, kan?”

“Lupa? Mana mungkin aku lupa hal sepenting itu.”

“Tapi kau memang melupakan banyak hal setelah kecelakaan,” balas Daisy polos. “Jadi, saat ulang tahunku nanti, boleh aku minta banyak hadiah?”

“Sebanyak yang kau mau,” kata Alex, mengelus kepala putrinya dengan lembut.

“Kalau begitu, aku ingin banyak hadiah bertema cewek … dan juga banyak hadiah bertema cowok.”

Alex mengerutkan dahi. “Kau kan perempuan. Kenapa minta hadiah laki-laki?”

“Untuk kubagikan dengan teman-temanku,” jawab Daisy cepat, senyumnya manis tapi matanya menyimpan sesuatu. Ia sudah menyiapkan alasan itu sejak awal—padahal, diam-diam, ia ingin hadiah-hadiah itu menyerupai barang-barang yang dulu disukai Damien.

Sementara Alex dan Daisy masih bercanda, Eve menunggu sampai mereka tak lagi terlihat. Ia menatap ke arah Edgar dan memintanya bicara di halaman belakang.

“Kau sungguh tidak menemukan apa pun di sana?” tanya Eve pelan tapi tegas.

“Tidak, Nyonya. Tidak satu pun barang Damien tersisa, kecuali perabotan kamarnya.”

“Bagaimana kalau itu perbuatan Laura?”

Edgar menatapnya bingung. “Laura? Tapi untuk apa dia mengambil semua barang Damien?”

Eve menggeleng pelan. “Baiklah, mungkin bukan dia. Tapi aku ingin kau tunjukkan rekaman di rumah Regalsen, malam saat berita kematian Damien. Aku masih ingat, waktu itu aku ada di rumah. Seorang sopir berjaga di depan, katanya dikirim oleh Alex. Jadi, selain kita, sopir itu juga tahu kata sandinya.”

“Anda belum pernah melihat sopir itu sebelumnya?”

“Tidak. Elly pun tidak mengenalnya.” Nada Eve semakin tegas. “Aku ingin lihat rekamannya.”

Menyadari keseriusan Eve, Edgar segera mengambil laptopnya. Karena Daisy sedang bersama Alex, mereka berdua pergi ke halaman belakang. Begitu rekaman dibuka, Eve memperhatikan layar dengan tajam.

Tak butuh waktu lama sebelum wajah sopir itu muncul. Ia datang untuk kedua kalinya—tepat saat Elly meminta bantuannya mengambil tas.

Edgar menatap layar, raut wajahnya berubah makin kusut. “Nyonya … saya juga tidak mengenalnya,” ucapnya pelan. Ia mengerutkan kening, mengulang video itu beberapa kali, menelaah setiap detil. “Saya bekerja sudah lama untuk Tuan, tapi pria ini … saya tidak pernah melihat sebelumnya.”

“Apa mungkin itu orang yang dikirim Laura?” Nada suara Eve penuh curiga.

“Kita akan segera tahu,” jawab Edgar cepat, lalu kembali bekerja menelusuri jejak digital pria di layar. Beberapa menit berlalu, ia mengetik cepat—mencari data plat, jejak telepon, segala sesuatu yang bisa menunjukkan identitas.

Hening. Lalu ia mengangkat muka, rautnya makin pucat. “Nyonya … informasinya tidak ketemu di mana-mana. Bahkan kemungkinan namanya palsu. Plat mobilnya juga tak terdaftar. Seperti sengaja disamarkan.”

Eve menatap layar, napasnya serasa tercekat. “Berarti dia berbohong waktu mengatakan ia dikirim oleh Alex. Atau … dia memang datang dengan tujuan jahat.”

Edgar mengusap dagu, pikirannya berputar cepat. “Sebenarnya masih ada satu cara mengetahui apakah pria itu benar-benar dikirim Tuan: cek riwayat panggilan Tuan malam itu. Kalau ada panggilan keluar ke nomor sopir, berarti ada hubungannya.” Ia menatap Eve ragu. “Tapi saya takut—kalau Tuan tahu saya meretas ponselnya.”

“Kalau begitu aku akan melakukannya sendiri nanti saat dia tidak melihat.” Eve memotong. Namun ia tahu dirinya tak akan berhasil: ponsel Alex hanya bisa dibuka dengan sidik jari.

Mereka berusaha mengakali—Edgar masuk lewat laptopnya, mencoba mengakses cadangan atau log operator. Namun layar yang semula penuh harapan berubah jadi kosong. Riwayat panggilan, pesan, semua bersih. Seperti ada yang menghapus semuanya.

Edgar menelan ludah. “Ini tidak benar. Sebelumnya, Tuan sempat menelpon saya menanyakan keberadaan Daisy—riwayat itu juga hilang. Semua hilang. Seolah … Tuan sengaja menghapusnya.”

Pikiran itu menganga menjadi kemungkinan yang mengerikan. Apa yang ingin ditutupi Alex? Siapa sopir itu? Mengapa hanya barang-barang Damien yang lenyap?

Tiba-tiba suara rendah memecah kebisuan.

“Bukankah kau perlu menjelaskan sesuatu padaku, Ed?”

Alex berdiri di ambang pintu, wajahnya padam dan matanya menatap tajam ke arah Edgar. Ia muncul tanpa diduga, tenang tapi penuh tuduhan.

“Tuan?” Edgar panik, segera menutup laptop dan berdiri. Jantungnya seperti tercekat. “Tuan—”

“Kemana kalian membawa anakku sejak kemarin?” Alex melontarkan pertanyaan itu seperti tamparan. Suaranya dingin. “Aku mungkin amnesia, tapi aku tidak bodoh sampai mudah dibohongi.”

Keringat dingin menempel di pelipis Edgar. Ia hampir tak dapat mengatur napas. “Tuan—kami hanya—”

“Jangan bohong padaku!” Alex melangkah maju, nadanya meninggi. “Aku sudah melacak ponselmu, Ed. Kau tidak pernah ada di rumah Noah. Mobilmu ada di bandara semalaman. Apa maksudmu? Mau berkhianat padaku?”

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!