NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Suara notifikasi masuk mengusik kesibukan Reyhan saat ia hampir tiba di lokasi. Ia melirik ke layar ponselnya yang terpasang di dashboard.

1 Pesan Suara Baru dari Nayla

Alis Reyhan langsung bertaut. Ia membuka pesan itu dan menyalakan rekamannya. Suara pertama yang terdengar adalah tawa Heru. Lalu… suara ibunya. Jelas. Tegas. Penuh penghinaan.

"Reyhan bukan anak kandungku. Aku menikah dengan Alfarezi karena hartanya."

"Aku tahu tentang hubungan suamiku dengan wanita sebelumku. Tapi aku tidak peduli."

"Dan ya, serangan jantung itu? Aku tidak menolongnya. Aku biarkan dia mati, dan aku pastikan semua kesalahan jatuh ke orang kepercayaannya, ayah Nayla."

"Seharusnya gadis itu tidak ikut campur. Tapi dia datang sendiri… ke sarang harimau."

Reyhan menghentikan rekaman dengan tangan gemetar. Pandangannya mengabur. Napasnya tertahan di tenggorokan.

“Ya Tuhan… Nayla…”

Dia melakukan ini semua karena ingin memperjuangkan kebenaran.

“Aku bodoh…,” desis Reyhan, menepuk setir mobil dengan keras.

Ia langsung menginjak pedal gas sekuat tenaga. Mobilnya melaju kencang membelah jalanan kota.

Wajah Nayla terus terbayang dalam pikirannya.

Panik. Takut.

Jika sesuatu terjadi pada Nayla…

Jika ia sampai kehilangan Nayla…

Reyhan menggeleng keras.

"Tidak. Aku tidak akan membiarkannya."

Tangannya meraih ponsel dan segera menelepon salah satu kepala keamanan pribadinya. "Siapkan tim. Segera temui saya di Hotel Grand Elara."

Suara di seberang hanya menjawab cepat, “Siap, Tuan!”

Reyhan menutup telepon. Apa pun yang terjadi, Nayla harus selamat. Dan ia akan memastikan semua orang yang menyakitinya... membayar mahal untuk itu.

***

Nayla menggenggam ponselnya erat-erat di balik gaun panjang yang dikenakannya. Rekaman tadi, semuanya, sudah terkirim ke ponsel Reyhan. Itu berarti… dia hanya butuh satu hal lagi, keluar dari sini.

Ia berusaha tetap tenang meskipun detak jantungnya sudah tak karuan. Tatapan Heru dan Mama Reyhan terasa seperti dua bilah pisau yang siap menusuk dari arah manapun.

“Jadi, kau sudah puas, Nayla?” Mama Reyhan mendekat, suaranya tenang tapi penuh ancaman.

Heru mengunci pintu. Suara klik-nya membuat tubuh Nayla membeku sesaat. Ia tahu… ia tidak akan bisa keluar dengan mudah.

Namun, ia menatap mereka dengan penuh keberanian.

“Aku tidak takut,” ucap Nayla.

“Oh, aku yakin kau takut. Tapi lebih dari itu, kau keras kepala.” Mama Reyhan berbalik pelan, melirik Heru. “Kau tahu apa yang harus dilakukan.”

Heru bergerak mengambil sesuatu dari dalam tas hitam, obat bius. Sejenis semprotan yang bisa melumpuhkan kesadaran hanya dalam hitungan detik.

Nayla langsung mundur. Kepalanya menoleh cepat ke arah kamar mandi. Itu satu-satunya jalan menyembunyikan diri. Tanpa pikir panjang, Nayla berlari ke sana dan mengunci diri dari dalam.

“BUKAAAA!!” suara Heru membentur pintu, keras dan marah.

Pintu bathroom mulai digedor keras dari luar.

“NAYLA!! Jangan buat Saya berbuat kasar!!”

Air matanya mulai menetes. Ia menatap cermin. “Tolonglah, Reyhan… cepatlah datang.”

---

Sementara itu…

Reyhan menghentikan mobilnya tepat di depan Hotel Grand Elara. Ia tak menunggu valet, langsung melompat turun dan menuju lobi.

“Naik lift langsung ke lantai sepuluh!” seru anak buahnya yang sudah menunggu.

Reyhan melesat masuk ke lift dengan napas memburu. Tangannya sudah mengepal. Dadanya sesak. Yang ada di pikirannya hanya satu, jangan sampai terlambat.

***

“Nayla! Kalau kau tidak keluar dalam hitungan lima detik, aku akan mendobrak pintu ini!” suara Heru membentak dari balik pintu bathroom.

Nayla memejamkan matanya. Tangannya gemetar, tapi ia tetap bertahan di balik pintu yang terkunci. Ia tahu, kunci seperti ini tak akan bertahan lama.

Satu…

Dua…

Tiga…

BRAK!

Pintu bathroom berguncang hebat. Sekali lagi, dan engselnya mungkin akan copot. Napas Nayla tersengal. Ia melirik jendela kecil di sisi kamar mandi. Terlalu sempit. Tidak mungkin lolos dari sana.

BRAK!

Suara engsel patah. Pintu terbuka setengah.

BRAK!

Pintu bathroom terbuka penuh, dan Heru melangkah masuk dengan wajah marah, alat semprot kecil sudah siap di tangannya.

Namun saat Heru hendak melangkah lebih jauh, pintu kamar utama hotel terbuka keras!

“LEPASKAN DIA!!”

Reyhan muncul dengan napas memburu dan mata yang menyala penuh amarah. Sekejap, ruangan seakan membeku.

Heru menoleh, terlalu lambat.

Dalam hitungan detik, Reyhan sudah menerjangnya. Tinju pertamanya mendarat tepat di rahang Heru, membuat pria itu jatuh terhuyung ke lantai. Semprotan biusnya terlempar entah ke mana.

“Nayla!!” Reyhan menghampiri Nayla yang masih berdiri terpaku, tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat.

“Nayla, aku di sini. Aku datang.” Reyhan memeluk tubuh Nayla dengan kedua lengannya yang hangat.

Sementara itu, Mama Reyhan yang menyaksikan semua itu dari ruang utama kamar, melangkah mundur dengan wajah tak percaya.

“Kau… Kau tidak seharusnya ada di sini,” gumamnya, panik.

“Aku sudah tahu semuanya,” ucap Reyhan dingin, matanya menatap lurus ke arah wanita yang selama ini ia panggil 'Mama'. “Dan Nayla tidak pernah pantas mendapatkan semua ini. Kau yang sudah menghasutku hingga aku berpikir papanya Nayla penyebab kematian Papa. Membuatku membenci Nayla selama ini."

Ia menoleh ke arah Heru yang kini meringis di lantai. “Kalian akan membayar atas semua yang kalian lakukan. Termasuk atas kematian Papa.”

Reyhan mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan layar, rekaman penuh pengakuan mereka.

Wajah Mama Reyhan seketika memucat.

“Reyhan, dengarkan Mama. Semua ini… Mama lakukan karena—”

“Berhenti.” Reyhan memotongnya. “Kau bahkan bukan Mama kandungku.”

Suara itu terdengar seperti pukulan terakhir. Wanita itu terdiam. Tak ada lagi pembelaan.

Reyhan membawa Nayla keluar dari kamar itu, menuntunnya erat sambil menghubungi pihak keamanan hotel dan pengacaranya. Heru dan wanita itu akan ditangani hukum.

Di dalam lift, Reyhan menarik tubuh Nayla ke dalam pelukannya.

“Aku minta maaf, Nayla… Sebenarnya aku sudah tahu jika Papa Adnan tidak bersalah sejak makan malam kemarin. Aku seharusnya tidak menyembunyikan semua ini darimu dan membuatmu dalam bahaya."

Reyhan memeluk Nayla erat di dalam lift. Ia masih bisa merasakan tubuh istrinya gemetar, bahkan lewat lapisan pakaian yang basah oleh keringat dingin.

“Nayla, aku minta maaf… Aku seharusnya melindungimu sejak awal,” bisiknya penuh penyesalan.

Nayla hanya mengangguk pelan. Suaranya tercekat. Tangannya menggenggam kuat lengan Reyhan, seolah itu satu-satunya jangkar yang mampu menahannya agar tidak runtuh sepenuhnya.

Dia berhasil. Dia sudah mendapatkan rekaman itu. Bukti pengakuan tentang kebenaran masa lalu. Tentang bagaimana ayah Reyhan meninggal, dan bagaimana ayah Nayla dikambinghitamkan.

“Aku tidak akan biarkan mereka menyentuhmu lagi,” ujar Reyhan pelan tapi tegas. “Setelah ini, kita ke kantor polisi. Rekaman ini cukup jadi alat bukti. Aku akan pastikan mereka tidak bisa lari.”

Nayla tidak menjawab. Ia hanya menatap Reyhan dengan mata yang memerah. Ada rasa hangat dalam dadanya, sekaligus getir. Dia ingin mengatakan yang sebenarnya, tentang tubuhnya yang perlahan melemah, tentang waktu yang mungkin tidak lama lagi… tapi tidak sekarang. Bukan hari ini.

Ia terlalu takut akan melihat wajah itu berubah menjadi duka. Ia terlalu takut Reyhan akan mencintainya hanya karena rasa kasihan.

---

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di parkiran basement hotel.

“Aku akan menelepon pengacara. Kita laporkan ini sekarang juga,” katanya sambil menyalakan mesin mobil.

Tapi sebelum Reyhan sempat menghubungi siapa pun, Nayla memegang lengannya.

“Reyhan,” ucapnya pelan. “Boleh aku yang menyerahkan rekamannya nanti? Aku… hanya ingin menyimpan salinannya dulu. Boleh?”

Reyhan menatap Nayla beberapa detik. Raut wajahnya bingung, tapi ia mengangguk. “Oke. Tapi aku akan tetap kirimkan salinan dari ponselku ke email pengacara.”

Nayla mengangguk pelan.

Langkah kaki yang tergesa menggema di parkiran basement hotel. Nayla menoleh, dan matanya membesar saat melihat sosok itu, Papanya.

“Papa?” serunya pelan.

Pria paruh baya itu langsung memeluk Nayla erat, napasnya tersengal karena cemas. “Papa nyaris gila saat tahu kamu mengatakan menemui Heru, Nay. Kamu tahu siapa Heru itu? Dia bukan orang sembarangan. Bahaya!”

Nayla mengangguk pelan, menahan air mata yang nyaris jatuh. “Aku tahu, Pa. Tapi semua sudah selesai…”

Reyhan berdiri di belakang mereka, menatap keduanya dengan perasaan bersalah yang menyesakkan. Ia menunduk sejenak sebelum akhirnya mendekat.

“Pa… saya…” suara Reyhan sedikit bergetar. “Saya ingin meminta maaf. Selama ini saya,,, saya salah menuduh Papa. Saya buta. Dan Nayla yang justru mencari kebenaran demi nama baik Papa Adnan…”

Papa Nayla menatap Reyhan dengan pandangan tajam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk perlahan. “Yang penting sekarang Nayla selamat.”

Reyhan menoleh ke arah Nayla. “Mulai sekarang, aku akan melindungi kamu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi.”

Namun, tak seperti yang Reyhan harapkan, Nayla hanya menunduk.

Sunyi mengambang sejenak.

Kemudian Nayla mengangkat wajahnya. Ada ketegasan dalam matanya.

“Reyhan…”

Reyhan mengangguk. “Ya?”

“Kita… sudahi saja semuanya. Kebenaran sudah terungkap. Jadi tolong… ceraikan aku.”

Deg.

Seolah dunia Reyhan berhenti berputar.

“Apa?” tanyanya tak percaya. “Nayla, kamu… kamu bicara apa?”

Papa Nayla menoleh dengan kaget. “Nayla? Kenapa bicara begitu?" Papa Adnan tahu jika Nayla sudah menyukai Reyhan sejak kecil.

“Ini keputusanku, Pa,” potong Nayla cepat. Suaranya tenang.

Nayla menggigit bibirnya. Ia menatap Reyhan dengan senyum tipis yang menyakitkan.

“Aku tidak bisa menahan kamu dalam pernikahan ini hanya karena rasa bersalah… atau karena simpati…”

Reyhan mengerutkan kening, menahan napas. “Apa maksudmu, Nay?”

Nayla menunduk. “Aku ingin kamu menceraikan aku.”

Hening. Kata-kata itu jatuh begitu saja, seberat batu yang menghantam dada Reyhan.

Reyhan maju satu langkah lagi, menatap Nayla dengan sorot yang tajam namun rapuh. “Apa kamu tidak mencintaiku?”

Butuh waktu bagi Nayla untuk menjawab. Ia menelan ludah, lalu berkata pelan, “Cinta… tidak selalu berarti harus memiliki. Kamu pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik, Rey. Ara adalah gadis sempurna. Aku yakin kalian akan cocok."

“Tapi aku tidak mencintainya. Aku mencintaimu, Nay.”

Nayla menahan air matanya sekuat tenaga. Kata itu, kata yang ia nantikan selama ini. Tapi Nayla tidak ingin egois. Nayla takut jika dirinya pergi nanti hanya akan membuat Reyhan terpuruk.

“Kamu hanya merasa bersalah.” Kali ini Nayla menatapnya. Tatapan itu tenang.

Sebelum Reyhan bisa menjawab, Nayla membungkuk sedikit pada Papanya. “Aku akan pulang ke rumah Papa.”

Tanpa menunggu jawaban, Nayla melangkah meninggalkan Reyhan yang terpaku di tempat. Matanya masih menatap punggung itu, punggung seorang wanita yang mencintainya… namun memilih pergi dengan diam-diam membawa luka yang belum sempat ia ketahui.

Papa Nayla menepuk pundak Reyhan pelan. "Tolong jangan paksa Nayla saat ini. Dia pasti punya alasan. Papa akan berbicara padanya."

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!