NovelToon NovelToon
Jejak Cinta Di Bukit Kapur

Jejak Cinta Di Bukit Kapur

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Cinta Seiring Waktu / Fantasi Wanita / Dokter
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ichi Gusti

Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.

Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".

Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TABIB DI TENGAH PEPERANGAN

Raka merasakan tanah di bawah tubuhnya panas dan bergetar. Ia pun membuka mata dan merasakan guncangan keras. Seketika pandangan nya disambut dengan langit yang terlihat asing—langit yang terlalu terang dan panas. Raka pun mendengar suara ledakan, teriakan kuda, dan deru teriakan pria memenuhi udara.

Raka pun menyadari bahwa ia terbangun di tengah medan perang.

Rasa sakit menyelimuti tubuhnya meski  tidak terluka. Barangkali ia sampai di tempat ini terhempas dengan keras. Debu menempel di wajah dan pakaiannya. Jantungnya berdetak cepat, menyesuaikan dengan kekacauan sekeliling.

Ini... bukan dunia kami lagi.

Sebuah panah melesat beberapa meter dari tempat Raka berbaring. Satu tubuh jatuh tak jauh dari sana—prajurit berbaju besi yang mengerang kesakitan, darah mengucur dari luka di perutnya.

“Lari! Lari ke balik karavan!” teriak seseorang dari kejauhan.

Raka bangkit, limbung, tapi cukup sadar untuk berlindung di balik gerobak kayu yang terbakar. Matanya menyapu area, ia menyaksikan prajurit berbaju kulit yang berlapis perunggu bertarung dalam jarak dekat, beberapa bertarung dengan pedang, sebagian dengan tombak. Tak ada yang mengenakan seragam atau senjata modern. Ini seperti… tidak, ini benar-benar zaman kuno!

Dan ia terdampar di tengahnya. Raka menyadari bahwa dirinya tidak akan bisa berbuat apa-apa, karena itu ia memutuskan untuk berlindung dan menunggu. Ia hanya bisa berdo’a bahwa Kirana juga baik-baik saja.

***

Menjelang sore, pertempuran mereda. Mayat berserakan di tanah yang memerah karena darah, seiring dengan  langit mulai membara. Raka duduk di sisi tenda darurat yang terbuat dari kulit binatang, tangannya gemetar. Tapi begitu melihat seorang prajurit mengerang sambil menyeret tubuhnya ke tanah, insting Raka sebagai dokter langsung bangkit.

Prajurit itu—usia sekitar 30-an, berambut keriting, dadanya terkena sabetan pedang dalam. kain yang membalut luka seadanya hanya membuat luka itu terlihat makin parah. Tanpa pikir panjang, Raka mengeluarkan sesuatu dari ransel yang tadi disandangnya. Minor set dan P3K yang ia bawa masih berada di sana. Raka  membuka isinya: gunting bedah, alkohol, beberapa kasa steril, dan benang jahit.

Prajurit-prajurit lain mulai mendekat, mengelilingi mereka. Beberapa menatap penuh curiga, beberapa berbisik.

Dengan tangan terampil, Raka membersihkan luka, menjahit dengan cepat, dan menutupnya rapi dengan jahitan subkutikular (benang tidak terlihat). Ia bahkan menekan titik tekanan tertentu di bawah tulang rusuk prajurit itu—teknik akupresur sederhana, namun efektif mengurangi perdarahan.

Suasana hening seketika. Tak lama yang lain juga menyodorkan luka robek di bahunya, tanpa banyak bicara Raka lanjut merawat luka para tentara itu hingga persediaan benang nya habis.

Seorang pria bertubuh tinggi menjulang, berjubah tempur berwarna tembaga keperakan, melangkah maju menembus kerumunan. Setiap langkahnya membuat kerikil berderak, dan prajurit-prajurit lain memberinya jalan dengan penuh hormat. Wajahnya keras, dihiasi janggut lebat yang sedikit memutih di ujung-ujungnya. Sorot matanya hitam tajam, seperti sedang mengukur isi hati Raka dari kejauhan.

Ia menunjuk ke arah salah satu prajurit yang baru saja ditolong Raka—yang kini mulai bisa bernapas lega—lalu beralih menunjuk ke dada Raka sendiri. Suaranya berat dan asing saat bertanya, “Pharmakos? Dewa penyembuh?”

Raka tidak langsung menjawab. Ia hanya memandang bingung, mencoba memahami maksud dari kata-kata yang terasa seperti gumaman asing. Namun tiba-tiba, cincin batu akik di jarinya mulai bergetar pelan. Getaran itu menjalar hangat ke kulitnya, seolah membangunkan sesuatu dari dalam dirinya. Dan perlahan—seperti kabut yang tersingkap dari pandangan—suara pria itu berubah. Kata-katanya kini bisa dipahami.

“…atau kau utusan langit?”

Raka menunduk menatap cincin itu. Batu akik yang diberikan oleh penjaga tua dari Istana Pagaruyung—yang nyaris ia lupakan—kini bersinar samar. Ini bekerja, batinnya. Batu itu benar-benar menjadi jembatan yang mempertemukan dua dunia.

Ia mengangkat wajah dan menatap pria berjubah tembaga itu. “Aku tabib,” jawabnya perlahan, dengan suara yang tenang namun tegas. “Tapi aku bukan berasal dari negeri ini. Aku datang… karena takdir menuntunku.”

Mata pria itu menyipit menilai, namun ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya memberi isyarat, dan dua prajurit segera menggiring Raka menuju jantung perkemahan.

Menjelang malam, Raka tiba di pusat kamp—sebuah area yang diterangi cahaya api unggun. Puluhan prajurit tengah berkumpul, sebagian sedang mengasah pedang, sebagian lagi sekadar menghangatkan tangan di dekat api. Ketika mereka melihat Raka lewat, tatapan penasaran langsung mengikuti langkahnya. Ada kekaguman dalam beberapa pasang mata, tetapi juga keraguan dari para tabib lokal yang melihat pakaiannya yang aneh dan asing. Seorang pria dengan pakaian dari bahan yang tak mereka kenali, namun mampu menjahit luka yang tak bisa mereka tangani.

Malam itu, ia dipanggil masuk ke dalam tenda besar berbentuk heksagonal, tenda utama tempat para panglima beristirahat dan bermusyawarah. Di dalam, aroma kayu bakar bercampur dengan wangi anggur merah dan kulit kering. Di sana, ia bertemu dengan seorang pria yang langsung menyita perhatiannya.

Lysandros.

Salah satu panglima senior pasukan timur Iskandar Zulkarnain. Tubuhnya tegap, wajahnya keras seperti dipahat dari batu, dan matanya menyimpan pengalaman puluhan medan perang. Ia berdiri tanpa senyum, memutar cawan anggur di tangannya sebelum akhirnya bicara.

“Aku adalah Lysandros,” katanya dalam nada formal. “Kami telah melihat banyak luka dan banyak perang. Tapi belum pernah melihat seseorang menjahit luka seperti itu. Apakah kau makhluk suci?”

Raka tersenyum tipis dan menggeleng. “Tidak. Aku hanya manusia biasa. Tapi aku berasal dari dunia yang lebih jauh dari apa yang mungkin bisa kau bayangkan.”

Lysandros mengangguk pelan, tatapannya tak berubah. “Dan kau sedang mencari seseorang?”

“Ya,” jawab Raka tanpa ragu. “Seorang perempuan bernama Kirana. Ia datang bersamaku, dari tempat yang sama. Tapi kami terpisah saat tiba di sini.”

Sang panglima merenung sejenak. Lalu, suaranya menjadi lebih rendah saat ia berkata, “Kalau begitu, kamu boleh bergabung bersama kami sambil mencari perempuan itu. Perang ini telah selesai. Esok kami akan kembali ke pusat kota. Dan kau harus menghadap langsung pada Raja. Hanya Iskandar yang bisa memberimu izin masuk ke wilayah istana dalam.”

Raka mengangguk. Ia bisa merasakan ada harapan untuk menemukan Kirana. Untuk pertama kalinya sejak terlempar ke dunia asing ini, ia merasa tidak sendirian.

Malam itu, Raka duduk di pinggir perkemahan, sedikit menjauh dari keramaian. Di hadapannya, nyala api unggun kecil memantulkan bayangan di tanah berpasir. Langit di atas begitu jernih, taburan bintang menghampar seperti permadani cahaya yang agung. Raka pun berkata kepada langit:

Kirana, aku masih hidup. Aku berharap kamu juga baik-baik saja. Aku akan mencarimu. Dunia ini asing, tapi aku percaya takdir akan mempertemukan kita kembali…

1
kalea rizuky
lanjut donk seru neh
kalea rizuky: ia nanti cuss
Ichi Gusti: Sambil nunggu update-an baca Cinta Cucu Sang Konglomerat ja dulu kak. udah tamat novelnya.
total 2 replies
kalea rizuky
ini dunia gaib apa dunia jaman dlu sih Thor
Ichi Gusti: Dunia zaman dulu yang memiliki hal-hal gaib
total 1 replies
kalea rizuky
transmigrasi apa gmna nieh
kalea rizuky
ini cerita sejarah apa misteri sih
Purnama Pasedu
berlanjut
Purnama Pasedu
serem
Purnama Pasedu
horor ya
Ichi Gusti: genre misteri 😁
total 1 replies
Purnama Pasedu
lakukan dok
Purnama Pasedu
senangnyaaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!