Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 LANGKAH DI YAYASAN
Pagi itu Amara bangun lebih awal. Matahari menembus tirai tipis, menorehkan garis-garis cahaya di lantai kamar. Ia menatap buku catatan di meja, halaman terakhir berisi tekad yang ia tulis semalam. Hari ini ia tidak ingin sekadar bertahan. Ia ingin melangkah.
Arman menunggu di bawah dengan mobil hitam. “Pak Bagas minta saya antar ke kantor yayasan. Ada rapat pukul sembilan,” katanya singkat.
Di lobi gedung yayasan, udara dingin dari pendingin ruangan bercampur bau kopi yang baru diseduh. Karyawan lalu lalang. Beberapa hanya melirik, beberapa berbisik pelan. Nama Amara sedang hangat di media, tetapi ia menegakkan punggung dan melangkah menuju ruang rapat.
Bagas sudah duduk di kursi utama. Direksi dan kepala divisi berderet di sisi kanan kiri meja. Di hadapan mereka layar proyektor menyala. Begitu Amara duduk di samping Bagas, ruangan hening.
“Amara membawa usulan program baru,” ucap Bagas tenang. “Silakan presentasikan.”
Amara berdiri. Tangannya sempat dingin, tetapi suaranya mantap. “Program Kelas Desain Kreatif untuk Anak Sekolah. Tujuan: meningkatkan kapasitas imajinasi dan problem solving anak, sekaligus memperkuat kehadiran yayasan di akar rumput. Pilot tiga sekolah mitra, enam pertemuan per sekolah, total enam puluh siswa. Output berupa pameran kecil hasil karya dan publikasi edukasi orang tua.”
Slide demi slide berganti. Rencana anggaran ditata sederhana, alat tulis dan kertas didapat dari pemasok lokal untuk memangkas biaya. Ia menambahkan mekanisme relawan mahasiswa seni dan desain agar kelas tidak bergantung penuh pada tim yayasan. Ada jadwal, indikator capaian, serta rencana mitigasi jika pelaksanaan terganggu.
Seorang direktur keuangan mengangkat tangan. “Anggaran kecil, tetapi reputasi besar taruhannya. Bagaimana jika ini tampak seperti pencitraan semata.”
Amara menatap lurus. “Citra tidak bisa menutup kelas yang setengah hati. Kami ukur capaian dengan indikator jelas. Hadir delapan puluh persen, karya minimal dua per siswa, umpan balik guru dan orang tua tertulis. Jika tidak memenuhi, program dihentikan, laporan dipublikasikan apa adanya.”
Kepala PR mengernyit. “Publikasi apa adanya berisiko. Gosip tentang Ibu masih kuat.”
“Gosip tidak akan berhenti jika kita hanya diam,” jawab Amara. “Kita balas dengan pekerjaan yang bisa dilihat mata. Anak-anak tidak memedulikan siapa istri siapa. Mereka peduli pada kertas dan pensil di tangan mereka.”
Ruangan kembali sunyi. Bagas menutup mapnya. “Kita jalankan. Amara memimpin. Mulai minggu ini.”
Seorang kepala divisi yang sedari tadi menatap skeptis akhirnya mengangguk kecil. “Kalau begitu, saya bantu urus sekolah mitra dan logistik.”
Rapat bubar. Beberapa staf mendekat, formal namun menjaga jarak. “Selamat, Bu. Semoga lancar,” ujar seorang perempuan berkemeja biru. Di belakangnya, dua staf berbisik sesuatu yang tidak bisa diurai jelas. Amara hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Siang, mobil yayasan membawa Amara ke sekolah mitra di pinggiran kota. Dinding kelas retak halus, kipas angin menderu pelan. Anak-anak berkerumun di depan pintu, rasa ingin tahu berkilat di mata mereka. Kepala sekolah menyambut dengan hangat. “Silakan, Bu. Anak-anak sudah menunggu.”
Amara membagi kertas, pensil, gunting tumpul, dan lem. “Hari ini kita belajar menggambar mimpi,” katanya kepada anak-anak. “Tidak ada jawaban salah. Gambar yang membuat kalian senang.”
Seorang anak laki-laki berkacamata duduk paling depan. “Boleh gambar robot, Bu.”
“Boleh. Kalau robotmu bisa bantu siapa saja, lebih baik.”
Seorang anak perempuan dengan rambut dikepang mengangkat tangan. “Kalau aku mau gambar pasar dekat rumah.”
“Bagus. Pasar itu hidup. Kamu bisa cerita warna-warna yang ada di sana.”
Suasana kelas riuh rendah. Pensil bergeser, gunting berdesis pelan, tawa kecil pecah saat lem menempel di jari. Amara berpindah dari satu meja ke meja lain, memuji, mengarahkan, mengajukan pertanyaan. Seorang anak menunjukkan rumah kecil dengan pohon mangga. “Aku mau bangun rumah ini untuk ibu,” katanya pelan.
Amara menelan hangat di tenggorokan. “Teruskan. Simpan gambarmu baik-baik.”
Setengah jam kemudian, dua orang datang membawa kamera dan mikrofon kecil. Kepala sekolah memandang ragu. “Media lokal, Bu. Katanya dapat informasi akan ada kunjungan yayasan.”
Amara tersadar. Ada yang membocorkan jadwal. Ia sempat berpikir tentang Meylani, tetapi ia menahan diri. Reporter mendekat dengan senyum tipis. “Kami mau ambil sedikit gambar dan satu dua pernyataan.”
Amara memutuskan tidak lari. “Boleh. Syaratnya, wajah anak difoto dari samping, minta izin dulu pada guru, dan tidak mengganggu kelas.”
Reporter mengangguk. “Apa tujuan program ini, Bu Amara.”
“Memberi ruang bagi anak untuk berimajinasi dan menyelesaikan masalah sederhana dengan tangan mereka sendiri. Kami ingin yayasan mengerti kebutuhan mereka, bukan sekadar tampil di foto.”
Kamera merekam ketika anak-anak mengangkat karya. Senyum merekah, beberapa canggung, tetapi bangga. Amara ikut bertepuk tangan. Saat sesi berakhir, ia berterima kasih pada guru dan kepala sekolah, lalu meninggalkan beberapa alat agar anak-anak bisa lanjut berlatih.
Di mobil, ponsel Amara bergetar beberapa kali. Grup internal yayasan ramai. Kepala PR mengirim pesan, nadanya tegang. Media datang tanpa jadwal resmi. Mohon tidak memberi kutipan sebelum koordinasi. Amara meminta maaf singkat, lalu menambahkan poin penting. Publikasi anak tetap aman, izin guru sudah didapat, kutipan fokus pada tujuan program.
Sore di kantor, rapat singkat digelar. Kepala PR membuka dengan nada terkendali. “Kedatangan media tanpa pemberitahuan berisiko. Untung gambar aman. Mulai besok, semua agenda lapangan diinfokan ke tim PR dulu.”
Amara mengangguk. “Saya setuju. Tadi saya bertindak cepat agar kelas tidak bubar dan anak-anak tidak panik.”
Seorang staf mengangkat tangan. “Tapi berita bisa dipelintir.”
Amara menatapnya tenang. “Kalau pun dipelintir, kita punya dokumentasi sendiri. Kita rilis video lengkap kegiatan. Biarkan publik menilai.”
Rapat usai, langkah sepatu hak tinggi terdengar jelas di koridor. Meylani masuk lobby kantor yayasan seperti memasuki panggung. Senyumnya tipis. “Hebat. Hari pertama sudah diliput media. Kamu sungguh cepat belajar.”
“Fokus saya anak-anak,” jawab Amara datar.
“Donor tidak suka kejutan,” balas Meylani tanpa menatap. “Satu langkah salah, anggaran dibekukan.” Ia berbalik, parfumnya tertinggal di udara.
Amara menahan diri. Ia tidak mengejar. Ia memilih naik ke lantai dua, memeriksa lagi daftar kebutuhan kelas. Malam nanti ia harus menyerahkan memo tindak lanjut pada Bagas.
Di rumah, langit Jakarta menggelap. Amara duduk di meja kecil kamarnya. Ponsel berbunyi. Notifikasi berita lokal muncul. Judulnya membuat ia terpaku. Yayasan Gelar Kelas Desain untuk Anak Sekolah. Anak Senyum, Guru Berterima Kasih. Artikel menampilkan foto anak-anak memegang karya, wajah mereka disamarkan. Kutipan Amara muncul singkat dan bersih. Tidak ada sensasi, tidak ada sindiran.
Pintu diketuk. Bagas masuk tanpa jas, hanya kemeja digulung sampai siku. “Aku sudah baca beritanya,” katanya. “Rapi. Kau menjaga kelas tetap aman dan tetap terbuka bagi publik.”
Amara menyerahkan memo selembar. “Ini rencana lanjutan. Minggu depan tiga sekolah, materi kolase bentuk dasar, minggu berikutnya eksperimen tekuk kertas untuk membuat figur. Tim relawan sudah siap, satu mentor untuk sepuluh anak.”
Bagas membaca cepat, lalu menandai beberapa baris. “Tambahkan asuransi kegiatan untuk relawan. Koordinasikan dengan legal. Aku setuju sisanya. Jalan.”
Amara mengangguk. “Baik.”
Bagas menatapnya lebih lama. “Kau punya dua front. Rumah dan kampus. Pilih medan yang bisa kau menangkan dulu. Yayasan adalah pilihan tepat.”
“Di kampus aku tidak akan lari,” ucap Amara. “Tapi aku tahu di sini aku bisa menunjukkan hasil.”
“Terus lakukan. Biar gosip habis sendiri.” Bagas menaruh memo di meja. “Besok aku ikut kunjungan sebentar. Tidak usah diumumkan. Aku ingin melihat kelas berjalan.”
Amara sempat terkejut, lalu mengangguk. “Baik. Anak-anak akan senang.”
Ketika Bagas pergi, Amara membuka buku catatannya. Ia menuliskan daftar kecil. Finalisasi materi kolase. Koordinasi PR. Konfirmasi transport relawan. Simpan dokumentasi mentah di server. Ia menutup daftar dengan satu kalimat pendek. Kerja adalah jawabanku.
Lampu kamar dimatikan. Udara malam masuk melalui celah tirai. Amara berbaring dengan napas lebih teratur. Hari ini tidak ada teriakan, tidak ada tampik yang melelahkan. Yang ada anak-anak yang tertawa sambil mengangkat kertas warna. Ia menutup mata dan memeluk rasa itu erat. Besok ia akan kembali ke kelas. Besok ia akan memastikan orang-orang punya alasan lain ketika menyebut namanya. Tidak lagi gosip, melainkan pekerjaan yang tinggal dilihat dan dihitung.