Berkisah mengenai Misha seorang istri yang baru saja melahirkan anaknya namun sayangnya anak yang baru lahir secara prematur itu tak selamat. Radit, suami Misha terlibat dalam lingkaran peredaran obat terlarang dan diburu oleh polisi. Demi pengorbanan atas nama seorang istri ia rela dipenjara menggantikan Radit. 7 tahun berlalu dan Misha bebas setelah mendapat remisi ia mencari Radit namun rupanya Radit sudah pindah ke Jakarta. Misha menyusul namun di sana ia malah menemukan sesuatu yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Drama Dimulai
Sinar mentari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai, jatuh membelai wajah Misha yang masih pucat. Kelopak matanya mengerjap perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya. Bau antiseptik dan aroma obat-obatan menyambutnya, bau khas rumah sakit. Misha menoleh ke samping, mencari sosok yang sejak semalam ia rindukan.
"Mas Radit..." suaranya serak.
Radit yang duduk di kursi samping ranjang segera meraih tangan Misha. "Misha, kamu sudah bangun? Syukurlah."
Misha mengerutkan dahi, matanya memancarkan kebingungan. "Bayi kita mana, Mas? Aku mau lihat dia."
Senyum Radit memudar. Ia menatap Misha dengan tatapan penuh kepedihan yang tak bisa disembunyikan. "Misha... sayang..."
Hati Misha langsung dipenuhi firasat buruk. Ia menarik tangannya dari genggaman Radit. "Kenapa? Kenapa tatapanmu begitu? Mana bayi kita?"
Radit menunduk, tak sanggup menatap mata istrinya yang mulai berkaca-kaca. "Bayi kita... dia tidak selamat, Misha."
Kata-kata itu bagai belati yang menusuk ulu hati Misha. Ia merasakan dadanya sesak, napasnya tercekat. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini tumpah ruah membasahi pipinya. "Tidak... tidak mungkin! Bayiku selamat, Mas! Aku yakin dia selamat!"
Ia mencoba bangkit dari ranjang, namun tubuhnya masih terasa lemas. Radit segera menahannya. "Misha, tenanglah. Jangan paksakan diri."
"Bagaimana aku bisa tenang?! Bayiku! Di mana dia?! Bawa dia padaku sekarang!" Misha berteriak, suaranya dipenuhi histeria. "Aku mau lihat dia! Aku mau peluk dia! Aku mau cium dia!"
"Misha, dengarkan aku," Radit memeluk istrinya erat. "Dokter sudah berusaha sekuat tenaga. Bayi kita terlalu lemah, sayang. Dia tidak bisa bertahan."
"Bohong! Kalian semua bohong!" Misha meronta dalam pelukan Radit. Tangisnya semakin menjadi-jadi, air matanya membasahi kemeja suaminya. "Kenapa? Kenapa harus begini, Mas? Kenapa anak kita diambil secepat ini?!"
Pintu ruangan terbuka. Seorang perawat masuk dengan wajah prihatin. "Pak Radit, biarkan Ibu Misha tenang dulu. Kami akan berikan obat penenang."
"Tidak! Aku tidak mau obat penenang!" Misha menolak, menggelengkan kepalanya keras. "Aku mau anakku! Bawa dia ke sini sekarang!"
Radit mengangguk pada perawat. "Tolong berikan saja, Sus. Misha butuh istirahat."
Perawat itu mendekat, mencoba menyuntikkan obat. Misha memberontak, namun tenaganya tak sebanding dengan cengkeraman Radit yang menahannya. Perlahan, obat penenang itu mulai bekerja. Kelopak mata Misha terasa berat, tangisnya mereda menjadi isakan lirih.
"Misha... kita akan melewati ini bersama," bisik Radit, mengusap lembut kepala istrinya yang mulai terkulai.
****
Dua hari kemudian, Misha sudah diperbolehkan pulang. Ia berjalan gontai menyusuri lorong rumah sakit, langkahnya terasa berat. Di tangannya, tidak ada bayi mungil yang dibedong, hanya sebuah tas berisi barang-barang miliknya. Di Padang, hujan selalu menemani saat hati sedang pilu. Butiran-butiran air membasahi jendela mobil, seolah langit ikut merasakan kesedihan Misha.
Di rumah, suasana terasa hampa. Ayunan bayi yang baru dibeli Radit berdiri tegak di sudut ruangan, kosong. Baju-baju bayi mungil yang sudah disiapkan Misha terlipat rapi di dalam lemari. Semua benda itu bagai saksi bisu dari impian yang hancur berkeping. Misha duduk di pinggir ranjang, memandangi ayunan dengan mata kosong.
"Mas... aku mau ke kuburan anak kita," ucap Misha, suaranya nyaris tak terdengar.
Radit mengusap bahu istrinya. "Besok saja ya, sayang? Kamu masih lemah."
Misha menggeleng. "Sekarang, Mas. Aku mohon."
Radit tak bisa menolak tatapan memelas itu. Ia mengangguk, lalu membantu Misha mengenakan jaketnya. Di pemakaman, aroma tanah basah menusuk hidung. Di bawah sebuah nisan kecil bertuliskan 'Anakku Tercinta', Misha berlutut. Tangisnya yang tertahan kini pecah kembali.
"Nak... kenapa kamu pergi secepat ini? Ibu belum sempat memelukmu... menciummu..." Misha membelai nisan itu dengan tangan gemetar. "Maafkan Ibu... maafkan Ibu tidak bisa menjagamu..."
Radit memeluk istrinya dari belakang, menenggelamkan wajahnya di rambut Misha. Air matanya juga menetes, membasahi bahu istrinya. Hujan semakin deras, seolah membersamai tangisan dua hati yang terluka. Mereka duduk di sana, dalam diam, ditemani suara rintik hujan dan hati yang pilu. Sebuah perpisahan yang terasa sangat berat, perpisahan dengan malaikat kecil yang bahkan belum sempat mereka peluk.
****
Selepas kunjungan pilu ke makam sang buah hati, Misha dan Radit kembali ke mobil. Hujan masih setia mengguyur Padang, seolah ikut meratapi duka mereka. Radit menyetir dalam diam, sesekali melirik Misha yang masih terpekur dengan tatapan kosong menatap butiran air yang membasahi kaca mobil.
Tiba-tiba, suara sirene polisi memecah kesunyian. Radit sontak menekan rem. Dari kaca spion, ia melihat sebuah mobil polisi menghadang di belakang. Jantungnya berdebar kencang. Ia menoleh ke depan, dan ternyata sebuah mobil polisi lain juga sudah menghadang di depan mereka. Mereka terjebak.
"Mas, ada apa ini?" Misha terperanjat, kebingungan.
Wajah Radit mendadak pucat. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Tanpa menjawab, ia langsung menarik tangan Misha. "Cepat, Misha! Keluar dari mobil!"
"Ada apa? Kenapa Mas panik?" tanya Misha, bingung. Namun, Radit tidak memberinya waktu untuk berpikir. Ia membuka pintu mobil dan menyeret Misha keluar, menerobos hujan deras yang mengguyur. Mereka berlari, masuk ke dalam kegelapan hutan yang lebat di sisi jalan. Ranting-ranting pohon dan semak-semak tajam menggores kulit mereka, namun Radit terus menarik tangan Misha.
"Pelan-pelan, Mas! Aku enggak kuat!" Misha terengah-engah, tubuhnya masih lemah pasca-melahirkan.
"Tidak ada waktu, Misha! Terus lari!" Radit berteriak, suaranya dipenuhi kepanikan.
Di belakang mereka, terdengar suara langkah kaki dan teriakan. "Radit! Jangan lari! Kamu sudah terkepung!"
Misha menoleh ke belakang, dan betapa terkejutnya ia melihat beberapa polisi mengejar mereka. Ia menatap Radit, menuntut penjelasan. "Mas, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kamu lakukan sampai dikejar polisi?!"
Radit menghentikan langkahnya di bawah lindungan pohon rindang. Napasnya memburu. Ia membalikkan badan, menatap mata Misha yang dipenuhi kebingungan, ketakutan, dan kekecewaan.
"Misha... maafkan aku," Radit memulai, suaranya bergetar. "Maafkan aku tidak jujur selama ini."
Air mata Misha kembali menetes, bercampur dengan air hujan yang membasahi wajahnya. "Jelaskan, Mas! Jelaskan semuanya!"
Radit menunduk, tak sanggup menatap mata Misha yang terluka. "Uang yang selama ini aku berikan... mobil yang kita pakai... rumah yang kita tinggali... semuanya dari hasil kejahatan."
Misha menggelengkan kepala, tak percaya. "Apa maksudmu, Mas? Jangan membuatku bingung."
"Aku terlibat dalam sindikat penjualan obat-obatan terlarang," Radit mengaku dengan suara tertahan. "Sejak dua tahun yang lalu. Aku... aku jadi kurir mereka."
****
Dunia Misha runtuh seketika. Rasanya seperti disambar petir di bawah guyuran hujan. Ia mundur selangkah, melepaskan genggaman tangan Radit. "Tidak... itu tidak benar. Radit yang aku kenal tidak akan pernah melakukan hal sekeji itu."
Aku terpaksa, Misha!" Radit mendekat, mencoba meraih tangan Misha kembali. "Bisnisku bangkrut! Kita butuh uang untuk biaya rumah sakit kamu melahirkan! Aku... aku tidak punya pilihan lain!"
"Tidak ada pilihan lain? Sampai harus mengorbankan nyawa orang lain?!" Misha berteriak, suaranya meninggi. "Kamu pikir dengan bersembunyi di balik alasan itu, kamu bisa membenarkan perbuatanmu?!"
"Aku tahu ini salah! Aku menyesal!" Radit memohon. "Misha, ayo kita lari. Polisi pasti akan menangkapku. Aku bisa dipenjara seumur hidup..."
"Kenapa, Mas? Kenapa kamu tidak menyerah saja?!" Misha menangis tersedu-sedu. "Apakah uang lebih penting daripada kebahagiaan kita?!"
Radit memeluk Misha, membiarkan istrinya meluapkan amarahnya di dadanya. "Maafkan aku, Misha. Aku tahu aku sudah mengecewakanmu. Aku... aku hanya ingin kita hidup nyaman."