Virginia Fernandes mencintai Armando Mendoza dengan begitu tulus. Akan tetapi kesalah pahaman yang diciptakan Veronica, adik tirinya membuatnya justru dibenci oleh Armando.
Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namum, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk.
Satu insiden terjadi di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bukannya membawa Virginia ke rumah sakit, Armando justru membawa Vero yang pura-pura sakit.
Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli.
Cukup sudah. Kesabaran Virginia sudah berada di ambang batasnya. Ia memilih pergi, tak lagi ingin mengejar cinta Armando.
Armando baru merasa kehilangan setelah Virginia tak lagi berada di sisinya. Pria itu melakukan berbagai upaya agar Virginia kembali.
Apakah itu mungkin?
Apakah Virginia akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
“Virginia Fernandez, di mana sebenarnya kamu bersembunyi. Pulanglah, aku sudah sadar akan kesalahku!” Armando terus berbicara sendiri. Entah sudah berapa lama ia berkendara. Entah dia memang tidak merasa lapar atau hanya sedang kehilangan selera makan.
Tubuhnya yang dulu kekar dalam beberapa hari berubah kurus. Wajahnya yang tampan pun menjadi kusam. Pria itu tampak tak pernah merawat diri.
“Grup Morantes. Dia pasti ada di sana!” Armando yang teringat akan hal itu segera putar balik dan menambah laju mobilnya.
*
Mobil yang dikendarai Armando telah sampai di depan gedung megah grup Morantes. Perusahaan ini sudah dinyatakan bangkrut beberapa tahun lalu, tapi di tangan Virginia kembali berjaya. Tersenyum bangga. Istrinya ternyata sehebat itu.
Turun dari mobil melangkah masuk dengan percaya diri.
“Apa Virginia ada di dalam? Katakan padanya aku datang untuk menemuinya!” perintahnya pada tiga orang karyawati yang berpapasan dengannya di lobi.
“Tuan Mendoza yang terhormat, rupanya."karyawati yang di sapa oleh Armando menatap sinis. Armando merasa geram. Berani-beraninya seorang karyawan rendahan meremehkannya seperti itu. Tapi ia sedang tak ingin membuat masalah. Yang penting ia berhasil bertemu Virginia.
"Grup Morantes adalah perusahaan peninggalan Ibunya Nyonya Virginia. Selama ini Tuan Mendoza membantu Nona Veronica untuk menyiksa Nona Virginia. Sekarang berani-beraninya datang ke sini.” ucap seorang karyawan lainnya. Tampaknya citra buruk Armando memang sudah menjadi rahasia umum.
“Selama ini Nyonya Virginia sangat baik pada Tuan Mendoza, tapi dengan begitu tega Tuan Mendoza bersekongkol dengan anak selingkuhan itu. Sekarang Nyonya Virginia sudah tiada, untuk apa Tuan Mendoza mencarinya?” timpal karyawati lainnya.
“Berani sekali kamu mengutuk Virginia!” Armando berteriak marah karena karyawati mengatakan Virginia telah tiada. Bahkan pria itu nyaris melayangkan tangan untuk memukul.
Tapi dengan cepat karyawati menghindar. “Cih, Nyonya sudah tidak ada, untuk apa pura-pura bersikap peduli!”
“Aku pasti akan merobek mulutmu!” Armando merangsek maju, hampir menggapai karyawati itu.
“Berhenti!” Suara seorang wanita menghentikan gerakan tangan Armando.
“Ini grup Morantes. Bukan grup Mendoza. Untuk apa Tuan Armando datang kemari dan membuat keributan?” tanya wanita itu.
“Aku datang untuk menemui istriku! Katakan padanya aku datang!” Armando berseru kesal.
“Istri?” Wanita itu tersenyum sinis. “Apa Anda tidak salah sebut. Anda sudah menandatangani surat cerai. Jadi sebutan yang benar adalah mantan. Itu artinya Anda sudah tidak ada hubungan lagi dengan nyonya kami. Jika Anda terus membuat keributan, saya tidak akan sungkan memanggil satpam untuk mengusir Anda!”
Armando mengulurkan tangannya dan memeriksa tanda pengenal yang ada di dada gadis itu. “Barbara Lopez. Kamu asisten Virginia kan?”
Barbara menyilangkan tangan di depan dada dengan tenang. “Iya,” jawabnya tegas.
“Bawa aku ke kantornya! Aku mau bicara dengannya.” perintah Armando tak terbantah.
Barbara menarik napas panjang. Berita tentang pria ini yang bebal dan tak mau mendengar bahwa Virginia telah meninggal sudah ia dengar. “Tidak masalah, silakan!” asisten Virginia mengarahkan tangannya lalu memimpin jalan.
Armando berdecih sinis. “Sudah kuduga, sebenarnya dia masih hidup. Dia hanya mau menipuku.” Menyimpan dua tangan di saku celana lalu mengikuti langkah Barbara.
Asisten berjalan di depan Armando dengan tersenyum sinis. Hingga langkah mereka pun tiba juga di ruang kerja Virginia.
“Ini ruangan Nyonya.” Barbara membuka pintu dan mempersilakan Armando masuk dengan isyarat tangannya.
Armando masuk, pandangannya mengedar ke seluruh ruangan. Kosong, tidak ada siapapun. Tatapan Armando tertumbuk pada foto pernikahan dirinya dan Virginia.
Ekspresi yang sangat bertolak belakang. Virginia yang tersenyum dengan sangat manis dan bahagia, sedangkan dirinya memasang wajah yang dingin dan datar, karena saat itu ia merasa terpaksa menikah dengan Virginia. Armando menyadari, ternyata sejak awal ia memang tak pernah bersikap baik pada Virginia. Tiba-tiba pria itu merasa dadanya nyeri. Sakit.
“Tidak apa-apa. Aku akan menebusnya. Aku akan memberikan pernikahan termegah. Saat itu nanti aku akan tersenyum bahagia. Kembali lah,” gumamnya. Begitu banyak rencana masa depan yang mulai tersusun di otak Armando. Pria itu bahkan mulai tersenyum sendiri.
“Seperti yang Anda duga. Nyonya Virginia sengaja memasang foto pernikahan kalian ini di sini, agar saat bekerja dia bisa melihat Anda.” Ucapan Barbara membuyarkan lamunan Armando.
“Apakah dia sering melihatnya?” tanya Armando pelan. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan.
“Ya. Saat lelah bekerja, ia selalu menatap foto ini.” Barbara berbicara jujur. Memang itulah kenyataannya.
Armando terdiam, dalam bayangannya matanya seolah melihat istrinya sedang berdiri dari kursi kebesaran dan berjalan ke arah bingkai foto besar. Menyandarkan kening di bagian bawah pigura dengan raut sendu. Menangis.
Armando memegangi dadanya. Hati pria itu bagai teriris melihatnya. Melangkah pelan mendatangi Virginia. “Sepertinya kamu sangat mencintaiku, ya?”
Virginia menoleh dan tersenyum. Armando berjalan semakin mendekat. Tangannya yang terulur ingin menyentuh pundak istrinya.
Hilang.
Armando mengedarkan pandangan kesana kemari. Ternyata itu tadi hanya ilusi. Tak ada Virginia di sana.
“Virginia apa yang telah kulakukan padamu?”
Armando terhuyung jatuh terduduk di bawah pigura. “Aku terlalu bodoh. Aku terlalu mudah tertipu. Aku gagal mengenali bahwa kamu adalah orang yang ingin ku jaga selamanya.”
Seketika semua bayangan masa lalu Virginia berkelebat silih berganti di depan matanya. Di mana Virginia melayaninya dengan tulus, menyiapkan segala kebutuhannya. Menyayangi tanpa pamrih. Hanya balasan cinta yang diharap oleh Virginia, tapi ia mematahkan asa itu. Bahkan ketika wanita itu keguguran, yang ia berikan bukan penghiburan, melainkan hanya luka hati. Armando ingat dengan jelas bagaimana ia mematahkan hati wanita itu berkali-kali.
Armando menangis tergugu. “Pulanglah, Virginia. Aku tahu aku salah. Aku benar-benar sudah sadar sekarang. Virginia, jangan tinggalkan aku.”
*
*
*
Hari telah larut ketika Armando masih duduk termenung sendirian di sofa di dalam ruang kerja Virginia. Pria itu enggan pulang, berharap Virginia akan datang sekedar untuk marah atau menegurnya.
Sepasang sepatu wanita terlihat berhenti di depan mata membuat ia mengangkat wajah.
“Untuk apa kamu ke sini? Apa kamu pikir kamu pantas berada di sini? Pergilah!” seru wanita itu yang tak lain adalah Cecilia.
“Aku suami Virginia. Secara tidak langsung aku juga berhak atas grup Morantes. Kenapa aku harus pergi!” Armando tidak terima Cecilia mengusirnya.
“Biar aku beritahu padamu. Selama aku masih ada di dunia ini, jangan pernah berharap kamu akan bisa menguasai perusahaan Virginia!” bentak Cecilia yang sudah merasa muak melihat kakaknya.
Armando berdiri dari duduknya dan menatap tajam wajah Cecilia. “Cecilia. Segera bawa aku untuk pergi menemui Virginia! Kalau tidak, jangan salahkan aku tidak mengakuimu sebagai adik!” Armando berteriak marah.
Cecilia bersedekap. Berdecak sinis. “Apa kamu pikir aku sudi menjadi adikmu? Menjadi adikmu adalah kutukan bagiku. Kamu hanya orang buta yang tidak punya hati. Kamu tidak layak menjadi kakakku! Harusnya dulu kau tidak usah sembuh. Harusnya kau seumur hidup buta dan lumpuh, dengan begitu kau tidak bisa menyakiti Virginia!” Cecilia berteriak tepat di depan wajah kakaknya.
Armando tertegun sebegitu buruk kah dirinya? Cecilia, adiknya sendiri bahkan tidak ingin mengakuinya. Cecilia membencinya. Cecilia bahkan baru saja mengutuknya.
“Aku menjalankan wasiat terakhir Virginia untuk mengelola grup Morantes. Mulai sekarang separuh pendapatan dari grup Morantes akan disumbangkan ke yayasan perempuan dan anak. Kamu tidak akan dapat sepeserpun!”
Armando tidak tahu caranya bicara. Dia hanya ingin bertemu Virginia, kenapa semua orang ingin mempersulitnya.
“Cecilia! Kenapa kau tidak mengerti juga?" Armando meratap pilu. "Bawa aku untuk bertemu dengan Virginia. Kenapa itu begitu sulit bagimu? Apa karena dia sudah meninggal? Kalau begitu, aku akan buat grup Morantes mati bersamanya!”
semoga Virginia bisa cepat pulih & melupakan semua masa lalu menyakitkannya
cocok lha sama keluarga Fernandez yang penuh kepalsuan
Semoga segera bangun Virginia ....
. padahal dah dari bab kemarin yak
siapa kah gerangan pria yg di dalam mimpi itu,,,