Meninggal dalam kekecewaan, keputusasaan dan penyesalan yang mendalam, ternyata membawa Cassie Night menjalani takdir kehidupannya yang kedua.
Tidak hanya pergi bersama kedua anaknya untuk meninggalkan suami yang tidak setia, Cassie juga bertekad membuat sahabatnya tidak bersinar lagi.
Dalam pelariannya, Cassie bertemu dengan seorang pria yang dikelilingi roh jahat dan aura dingin di sekujur tubuhnya.
Namun, yang tak terduga adalah pria itu sangat terobesesi padanya hingga dia dan kedua anaknya begitu dimanjakan ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsme AnH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bajin9an Tidak Tahu Malu
"Rumah ini kubeli beberapa tahun lalu, sebelum bertemu dan menikah dengan Felix." Cassie berdiri di depan rumah dua lantai yang tidak pernah dia huni sejak dibeli bertahun-tahun lalu, senyum kecut yang terbit di wajahnya menunjukkan perpaduan antara rasa sakit, kepahitan, dan kekecewaan yang dipaksakan untuk ditutupi. "Tidak disangka, rumah ini menjadi berguna setelah perceraian."
"Sudahlah, jangan dipikirkan lagi." Arthur mengelus lembut pundak Cassie, mencoba menepis kesedihan wanita itu. "Sebaiknya kita masuk, Austin dan Charlie pasti sudah kelelahan."
Saat bicara, Arthur menatap kedua bocah itu seakan meminta dukungan mereka.
Austin mengangguk antusias dan berkata, "Kami bukan hanya lelah, tapi lapar juga."
"Ya, aku sangat lapar," timpal Charlie sambil mengelus perutnya.
Cassie tersenyum melihat tingkah kedua putranya yang menghibur hati. "Baiklah, ayo, kita masuk ke dalam."
"Ayo, Paman akan memesankan makanan enak untuk kalian." Arthur dengan antusias merangkul pundak Austin dan Charlie, membawa kedua bocil itu memasuki rumah.
Cassie yang ditinggalkan di belakang hanya menggeleng dan tersenyum lembut, sebelum akhirnya menyusul masuk.
Setelah memasuki rumah yang tak pernah dia tempati, Cassie disambut oleh ruang tamu yang luas dan nyaman.
Dindingnya dicat dengan warna krem yang hangat, memberikan kesan lapang, bersih dan elegan. Di sudut ruangan, terdapat sofa empuk berwarna cokelat tua yang dikelilingi oleh bantal-bantal beraneka warna. Di atas meja kopi kayu jati, terdapat beberapa majalah dan buku bacaan yang siap menemani waktu santai.
Ruangan ini juga dilengkapi dengan karya seni keluarga berupa beberapa lukisan dan foto-foto dalam bingkai kayu yang tergantung di dinding.
Setiap lukisan merupakan karya Cassie, sedangkan foto-fotonya menceritakan momen-momen berharga dalam hidup wanita itu.
Di samping ruang tamu, terdapat ruang keluarga yang lebih santai dengan televisi layar datar besar serta rak buku penuh koleksi novel dan film.
"Aku tidak pernah kembali selama bertahun-tahun, kenapa rumah ini sangat bersih?" Alis Cassie sedikit berkerut melihat interior rumahnya, semua eleman yang ada di sana sesuai dengan seleranya dan menunjukkan identitasnya sebagai pemilik rumah.
Yang paling penting adalah, rumah itu tidak terlihat seperti rumah tinggal atau rumah tidak berpenghuni.
Arthur sedikit gugup, mata gelapnya bergulir ke samping demi menghindari bertemu dengan mata cerah Cassie.
"Aku meminta seseorang datang dan membersihkan rumah ini setiap minggu, semua furnitur di sini kupilih secara pribadi sesuai dengan kesukaanmu."
Mata Cassie berbinar dengan tangan yang mengepal ringan, ada perasaan hangat menyelinap ke dalam hatinya.
Cassie yang merasa terharu dan tersanjung tidak bisa melepaskan tatapannya dari wajah Arthur, membuat suasana saat itu menjadi tenang dan penuh perhatian.
"Terimakasih, Pipi Gembul."
"Jangan terlalu banyak mengucapkan terimakasih, itu tidak perlu di antara kita." Senyum Arthur tipis saja, tetapi sorot matanya teduh, hangat, dan penuh perhatian.
Tatapan yang penuh cinta dari Arthur bertahan cukup lama, dia seperti ingin menyerap keberadaan Cassie.
Meski menenangkan dan memberikan rasa nyaman, itu membuat Cassie menggosok tengkuknya dengan gugup.
"Ibu ... Paman, jam berapa kira-kira kita baru bisa makan?" Austin bergantian melihat ke arah Cassie dan Arthur, merasa dia tidak akan mendapatkan makan hingga malam menjelang jika keduanya hanya terus saling menatap.
Seketika, wajah Cassie memerah dan dia segera menghindari kontak mata dengan Arthur, bahkan rasanya ingin mencari sebuah lubang untuk menyembunyikan diri.
Arthur juga salah tingkah, dia berdehem hanya untuk menekan rasa gugupnya dan berkata, "Kamu kemaskan dulu barang-barangmu, aku akan memesankan makanan untuk kalian."
"Hmmm." Cassie mengangguk sedikitndan tersenyum tipis, sebelum akhirnya membawa Austin dan Charlie menaiki lantai dua menuju kamar mereka.
***
Sore harinya, Cassie tenggelam dalam proses kreatif dan imajinatif saat jemarinya yang memegang kuas menari-nari indah di atas kanvas.
Pikirannya tenang dan terkonsentrasi pada lukisan berwarna cerah dan garis-garis dinamis, seakan menggambarkan suasana hatinya yang cerah.
"Wah, kamu adalah pelukis spiritual yang pernah kutemui," puji Arthur tulus, dia baru saja datang dari arah dapur dengan membawa segelas greentea hangat dan sepiring kue di tangannya.
Cassie melukis potret Austin dan Charlie yang tengah bermain di bawah pohon bersama seekor kucing.
Lukisan itu tampak hidup dan nyata, menampilkan kesan gerakan, energi, dan perubahan baik dari segi objek maupun pemandangannya.
"Kali ini, aku akan membuatkan pameran untukmu." Arthur masih terpesona dan benar-benar ingin membuat pameran untuk menunjukkan bakat Cassie pada dunia.
"Jangan menolakku!" serunya cepat seakan khawatir mendapatkan penolakan dari Cassie seperti di masa lalu.
Hanya saja, Arthur sudah bertekad mengadakan pameran meski Cassie akan menolaknya.
Cassie tersenyum tipis, lalu berbicara dengan penuh tekad. "Aku tidak akan menolaknya. Aku sudah pernah kehilangan mimpiku sekali, aku tidak akan mengulanginya lagi dan akan mendapatkan semuanya kembali."
Dia menarik nafas sedikit lebih dalam dan menghembuskannya perlahan. "Hanya saja, aku sudah lama tidak melukis. Jadi, aku harus mempersiapkan diri."
Arthur tampak bahagia atas keputusan yang diambil Cassie dan menimpali dengan penuh semangat. "Benar, kamu memang harus mempersiapkan diri. Begitu pameran dimulai, kamu harus menunjukkan wajahmu."
Detik berikutnya, senyuman di wajah Arthur perlahan menghilang. "Mungkin, orang itu akan melihatmu juga."
Cassie tahu, 'orang' yang enggan Arthur sebut namanya adalah Felix.
Dia pun terdiam memikirkan berbagai macam kemungkinan ketika dirinya tampil di depan umum, tapi itu tidak membuatnya goyah.
Cassie sadar, dia tidak mungkin bisa menyembunyikan dirinya dan kedua anak-anaknya seumur hidup mereka.
Itu hanya masalah waktu, cepat atau lambat dia akan bertemu dengan Felix lagi.
Ting!
Bunyi pesan yang menghampiri ponsel Cassie menyadarkan dan menariknya secara paksa dari lamunan.
Cassie meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja hanya untuk membuka pesan masuk dari pegawai krematorium.
Itu adalah link siaran langsung pemakamannya.
Dia ingin mengklik tautan itu, tetapi Arthur dengan cepat menghentikannya.
"Eh!" Arthur menutup layar ponsel Cassie dengan telapak tangannya yang besar, lalu memperingatinya dengan lembut. "Jangan mengklik tautan dari sumber yang tidak dikenal."
"Tenang saja. Ini link siaran langsung pemakamanku."
"Hah?"
Cassie tidak menanggapi kebingungan Arthur melalui kata-kata, melainkan langsung bertindak dengan membuka tautan itu.
Di layar ponsel, Arthur dan Cassie bisa melihat dengan jelas segalanya yang terjadi di pemakaman.
Saat menyaksikan wajah Felix yang diselimuti duka, Cassie menyeringai dengan perasaan jijik.
"Untuk apa dan kepada siapa dia menunjukkan kesedihannya itu?" tanya Cassie dengan nada mencemooh, tatapannya pun menjadi lebih dingin saat menangkap keberadaan Aleena. "Cih, bahkan dia mengajak selingkuhannya untuk mengubur anak dan istrinya."
"Bajin9an tidak tahu malu!" Wajah Arthur terlihat datar dan sorot matanya kosong tanpa emosi, itu membuat siapa pun kesulitan menebak isi pikirannya. 'Sisie, tidak akan kubiarkan kamu terluka lagi dan mereka yang menyakitimu akan mendapatkan balasannya!'