Ketika seorang jenderal militer yang legendaris menghembuskan napas terakhirnya di medan perang, takdir membawanya ke dalam tubuh seorang wanita polos yang dikhianati. Citra sang jenderal, kini menjadi Leticia, seorang gadis yang tenggelam di kolam renang berkat rencana jahat kembarannya. Dengan ingatan yang mulai terkuak dan seorang tunangan setia di sisinya.
Pertempuran sesungguhnya dimulai, bukan dengan senjata, melainkan dengan strategi, intrik, dan perjuangan untuk memperjuangkan keadilan untuk dirinya...
apakah Citra akan berhasil?
selamat datang di karya pertamaku, kalau penasaran ikuti terus ceritanyaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Max merasakan gema kata-kata itu di seluruh sarafnya, sebuah janji yang menggetarkan hingga ke dasar jiwanya. Jantungnya berdebar kencang, memompakan darah panas ke seluruh tubuhnya, menciptakan sensasi menggelitik yang memabukkan.
Matanya menatap dalam mata Leticia, mencari kepastian, mencari jawaban atas semua penantiannya, dan yang ia temukan hanyalah ketulusan yang memikat, sebuah keberanian baru yang terpancar dari pupil gelap itu. Max mengangkat dagu Leticia perlahan dengan ibu jarinya yang hangat, mencondongkan tubuhnya ke depan, dan bibir mereka bertemu.
Ciuman itu dimulai dengan lembut, penuh penantian yang telah lama terpendam, sebuah sentuhan awal dari janji yang akan tergenapi. Namun, dengan cepat, ciuman itu berubah menjadi semakin dalam, semakin mendesak, penuh gairah yang tak tertahankan. Max menciumnya dengan seluruh jiwanya, seolah ingin meresap setiap inci keberadaan Leticia ke dalam dirinya, ingin menyatukan mereka menjadi satu.
Tangan Max yang besar dan hangat menangkup pipi Leticia, lalu meluncur perlahan ke lehernya, merasakan detak nadi yang berdenyut kencang di bawah kulit halus itu. Leticia mencoba mengimbangi ciuman Max, bahkan dia berusaha untuk melakukan lebih.
Tangannya melingkar erat di leher Max, menariknya lebih dekat, meremas rambut di tengkuk Max. Aroma Max begitu memabukkan baginya. Tubuhnya merespons dengan cara yang asing namun luar biasa menyenangkan, sensasi yang tidak pernah ia alami dalam hidupnya yang penuh disiplin keras sebagai seorang jenderal.
Otaknya, yang biasa merancang strategi perang paling rumit, kini hanya berfokus pada sensasi yang membanjirinya, setiap sentuhan, setiap des*han, serta setiap kehangatan yang merambat di kulitnya.
Ciuman itu semakin panas, Max mulai menuntun Leticia mundur, hingga Leticia menyentuh ranjang. Kelambu putih bergoyang lembut mengikuti gerakan mereka, menciptakan tirai privasi yang menawan, seolah menyembunyikan mereka dari seluruh dunia.
Max tidak melepaskan ciumannya, ia rebahkan Leticia perlahan ke atas kasur empuk, tubuhnya menindih lembut, menahan diri untuk tidak menekan terlalu keras, memastikan Leticia nyaman. Kehangatan tubuh mereka yang bersentuhan terasa membakar, mengirimkan gelombang listrik di setiap inci kulit.
Lingerie tipis itu terasa seperti lapisan kedua kulit, menghantarkan panas tubuh Max langsung ke tubuhnya, memicu sensasi yang tak terkendali.
Tangan Max mulai menjelajahi punggung Leticia, perlahan naik ke bahunya yang ramping, lalu turun lagi ke pinggang, dan berhenti di lekuk pinggul, menimbulkan getaran di setiap sentuhannya.
Leticia tanpa sadar mendes*h pelan, suara kecil itu seolah menjadi undangan yang tak terucapkan, sebuah pengakuan atas sensasi yang membanjirinya. Max melepaskan ciumannya sejenak, napas mereka tersengal, menatap mata Leticia yang kini berkabut oleh gaira*h, dipenuhi bayangan hasr*t yang membara.
Ia bisa melihat kilatan emosi yang dalam di sana, sesuatu yang lebih dari sekadar kepolosan amnesia. Itu adalah api, api yang sama yang kini membakar dirinya, api yang menjanjikan sebuah awal baru.
"Tia..." suara Max serak, nyaris tak terdengar di antara detak jantungnya yang menggila.
Ia mencium lembut leher Leticia, menghirup keharuman kulitnya, dan kemudian beralih ke tulang sel*ngka, meninggalkan jejak ciuman basah yang memanas, mengalirkan sensasi mendebarkan ke seluruh tubuh Leticia.
Leticia melengkungkan punggungnya sedikit, jari-jarinya meremas bahu Max, menariknya lebih dekat, sensasi yang asing namun memukau membanjiri dirinya. Ini bukan hanya kewajiban seorang istri, ini adalah penyerahan diri yang utuh, sebuah pengakuan batin atas ikatan yang telah mereka ucapkan, sebuah penerimaan atas takdir yang kini terbentang di hadapan mereka.
Max melanjutkan eksplorasinya, dengan perlahan melepaskan ikatan lingerie tipis itu dengan kelembutan yang luar biasa, seolah Leticia adalah permata paling berharga yang harus ditangani dengan sangat hati-hati, dengan penuh penghormatan. Lingerie itu meluncur lembut, memperlihatkan kulit Leticia yang terekspos di bawah cahaya rembulan yang samar, memancarkan pesona yang membuat Max nyaris gila.
Ia menatapnya sejenak, mengagumi setiap inci, setiap lekuk tubuh yang sempurna, sebuah karya seni yang kini sepenuhnya menjadi miliknya. Kemudian, ia kembali menunduk, mencium setiap jengkal kulit Leticia, memberikan sentuhan yang membakar, dari bibirnya yang penuh hingga ke bagian bawah tubuh Leticia, memanjakannya dengan segala kehangatan dan hasratnya.
Desahan Leticia semakin jelas, napasnya memburu, irama jantungnya berpacu seiring dengan sentuhan Max yang memabukkan. Perasaan yang membanjirinya begitu kuat, begitu intens, hingga ia nyaris kehilangan kesadaran diri, melupakan siapa dirinya di masa lalu.
Sang jenderal dalam dirinya mungkin masih waspada, namun wanita dalam dirinya telah menyerah sepenuhnya pada sensasi yang memabukkan ini, membiarkan dirinya tenggelam dalam lautan kenikmatan. Ia mencengkeram erat seprai, memejamkan mata, membiarkan tubuhnya dipimpin oleh insting purba yang baru ia temukan.
Max terus membelainya dengan seluruh kelembutan dan gairah yang ia miliki, memastikan setiap sentuhan membawa Leticia pada puncak kenikmatan, membimbingnya melampaui batas-batas yang pernah ia kenal.
Malam itu, di bawah kerlip bintang Maladewa yang menjadi saksi bisu, keintiman mereka terjalin dengan intensitas yang luar biasa. Bukan hanya tubuh yang menyatu, tetapi dua jiwa yang, entah bagaimana, mulai menemukan tempat mereka masing-masing dalam jalinan takdir yang rumit.
Suara napas yang berat, des*han tertahan, dan bisikan-bisikan nama satu sama lain memenuhi keheningan kamar, menciptakan alunan gairah yang merdu. Max merasakan kebahagiaan yang meluap-luap, semua kekhawatirannya, semua misteri yang belum terpecahkan seakan terlupakan karna kenikmatan malam ini.
Ia memeluk Leticia erat, mencium keningnya, pipinya, bibirnya, dengan penuh gair*h dan kasih sayang yang tak terbatas. Baginya, ingatan Leticia mungkin belum kembali sepenuhnya, tetapi cintanya, gairahnya, dan jiwanya, kini terasa begitu dekat, begitu nyata, seolah tidak pernah hilang, tidak pernah diambil oleh insiden kolam renang itu. Malam itu adalah puncak dari impiannya, sebuah ikrar baru yang tak terucapkan, mengikat dua hati yang berbeda dalam takdir yang sama, dalam sebuah ikatan yang kini terasa begitu abadi.
Max menahan Leticia dalam pelukannya setelah gairah itu mereda, merasakan detak jantung Leticia yang kini lebih tenang namun masih berirama lembut di dadanya. Ia mengecup rambut basah Leticia, mengusap punggungnya perlahan.
Sebuah senyum puas terukir di bibirnya. Ia merasa utuh, lengkap. Rasa cinta dan proteksi terhadap Leticia kini berlipat ganda, mengalir dalam setiap nadinya. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melindungi wanita ini dengan seluruh hidupnya, dari segala bahaya yang mengancam.
Sinar matahari pagi menerobos celah tirai yang terbuka sedikit, membangunkan Leticia dari tidurnya yang pulas. Ia terbangun dalam dekapan erat Max, kepalanya bersandar nyaman di dada bidang suaminya.
Aroma Max yang khas, kini bercampur dengan aroma keintiman mereka semalam, memabukkan, dan kehangatan tubuhnya menenangkan hingga ke tulang. entah sudah berapa kali semalam. mereka melakukan hubungan int*m itu, sampai rasanya Leticia sangat lelah pagi ini.
Ada rasa nyeri samar di sekujur tubuhnya, sebuah bukti dari gairah semalam, namun juga rasa puas yang mendalam, sebuah ketenangan yang tak pernah ia sangka akan ia rasakan. Ia menatap wajah Max yang terlelap, melihat ketenangan dan kebahagiaan yang terpancar jelas. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Citra merasakan kedamaian yang sesungguhnya, sebuah rasa memiliki yang aneh namun indah. Ia telah membuat keputusan, ia telah menyerahkan diri, dan ia tidak menyesalinya sedikit pun.
Max terbangun tak lama kemudian, matanya mengerjap perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya pagi. Senyum lebar terukir di wajahnya saat melihat Leticia menatapnya, matanya berbinar. "Selamat pagi, istriku," bisiknya, suaranya masih serak karena tidur, namun penuh kelembutan dan kasih sayang yang tulus. Ia mengecup kening Leticia, lalu menariknya lebih dekat.
"Kau baik-baik saja? Aku... aku harap semuanya baik-baik saja." Ada sedikit kekhawatiran di matanya, khawatir telah berlebihan.
Leticia mengangguk, senyum tipis mengembang di bibirnya. Ia mengangkat tangannya, menyentuh lembut pipi Max.
"Baik, Max. Sangat baik. Ini... adalah malam yang sempurna." Kalimat itu tulus, datang dari lubuk hatinya yang terdalam, sebuah pengakuan yang melampaui kata-kata.
"kalau kau baik bagaimana kalau kita melakukannya sekali lagi sebelum kita kembali?" Max sedang mencoba peruntungannya pagi ini.
"Apa kau tak lelah Max? pinggangku rasanya mau patah" Leticia tentu terkejut dia tidak pernah menyangka bahwa Max sekuat itu.
"ayolah istriku sekali saja sebelum kita kembali nanti sore" Max masih terus berusaha merayu istrinya dia terus memancing gair*ah istrinya dengan menyentuh titik titik sensitif milik istrinya.
satu des*han kenikmatan lolos dari mulut Leticia hingga akhirnya pertempuran panas itupun terjadi lagi, lagi, dan lagi.
NU salah gegedug tilihur tapi kabawa Ampe cicit na 🤦