Musim pertama : Tatap Aku, Suamiku
Musim Kedua : Bunda dari Anakku
Jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat Wira (22 tahun) nekad membawa kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk melamar Naina ( 17 tahun), yang hanya seorang gadis yatim piatu.
Wira yang terlahir dari keluarga berada, menikah dengan Naina yang hanya gadis dari keluarga biasa.
Lima tahun pernikahan, guncangan menghantam kehidupan rumah tangga mereka. Dunia Naina hancur seketika. Kebahagiaan yang selama ini direguknya, apakah hanya sebuah kebohongan semata atau memang nyata. Apakah pernikahan ini sanggup di pertahankan atau harus berakhir??
Ikuti perjalanan rumah tangga Wira dan Naina
“Tolong tatap aku lagi, Suamiku.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
S1. Bab 18
“Cepat kemari, Wir. Nola sakit, badannya panas. Tadi pengasuh Nola baru saja mengabari,” cerita Mama Wira di ujung panggilan.
Wira hanya diam tanpa menjawab sepatah kata pun. Menutup panggilan itu sepihak, karena mamanya sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Melempar kasar ponsel istrinya ke ranjang, setelah menonaktifkannya.
“Kenapa, Mas?” tanya Naina, heran.
Tersenyum menatap istrinya. Hasrat itu sudah meredup seiring dengan berita sakit putrinya, tetapi dia tidak bisa mengecewakan Naina.
“Mama cerita, ada keluarganya yang sakit. Memintaku mengantarnya ke sana,” jelas Wira, mengecup bibir istrinya.
“Ya sudah, kita lanjutkan nanti saja.” Naina mengalah.
“Tidak, kita lanjutkan sekarang. Mama bisa menunggu. Lagi pula ada papa,” bisik Wira, menggigit kecil telinga istrinya. Bersiap memanjakan Naina meski konsentrasinya terpecah.
Bukannya lelaki itu tidak tahu, kalau Stevi akan memarahi dan mengabaikan putrinya imbas dari sikap dinginnya selama ini. Kalau bukan karena Nola, sudah pasti dia tidak akan menikahinya. Alasannya mempertahakan pernikahan sirinya dengan Stevi juga demi Nola.
Tanpa ikatan pernikahan itu, Wira yakin Stevi akan menyakiti Nola. Ingin rasanya mengambil Nola, tetapi dia tidak berhak apa-apa. Bahkan sampai sekarang, dia tidak mampu memberi status jelas untuk putrinya sendiri.
Lelaki itu sudah mendorong pelan tubuh Naina, berusaha memanjakan Naina dan membuang jauh-jauh semua hal tentang Nola.
“Nai, aku mencintaimu,” bisik Wira, menghempas kasar selimut yang sejak tadi menutupi tubuh pokos istrinya. Tatapan Wira bagai singa kelaparan disuguhkan daging segar. Sekali sentak saja, lelaki itu sudah menguasai tubuh yang memasrahkan diri padanya.
Kecupan demi kecupan dilabuhkan di sekujur tubuh telanjang Naina, membuat tanda kepemilikan yang menjadi kebanggaannya. Sentuhan demi sentuhan, membuat Naina melambung tinggi.
Keduanya masih saling memeluk, berbagi nafas dan rasa. Ketika logika itu sudah menghilang, berganti dengan gairah dan hasrat. Wira lupa sudah segalanya, saat ini hanya menginginkan Naina.
Pergulatan panas dengan nafas menderu dan peluh mengucur. Penyatuan indah setelah sekian lama puasa panjang. Bagaikan hujan di penghujung musim kemarau. Terasa indah, terasa nikmat, terasa begitu luar biasa.
Lenguhan dan desahan menyatu. Suara feminim itu menyatu dengan pekikan pelan yang terdengar begitu maskulin. Harmoni indah bagai alunan musik pengantar tidur di hening malam. Di puncak rasa, terdengar untaian kata cinta tanpa jeda, meluncur mulus dari bibir Wira, penyatuan indah disertai doa. Semoga hadir bayi mungil, buah cinta mereka.
“Terimakasih Nai, Sayang,” bisik Wira, masih belum rela berpindah. Membiarkan inti tubuh mereka tetap menyatu di bawah sana.
Lelaki itu tersenyum menatap perempuan cantik berhias bulir-bulir kelelahan, tampak indah dengan tubuh basah keringat.
“Nai juga mencintai, Mas,” ucap Naina dengan mata terpejam.
***
“Nai, mau ikut ke tempat mama?” tawar Wira.
Lelaki itu sudah berganti pakaian. Bersiap menuju ke rumah mamanya untuk mencari tahu apa yang terjadi pada putrinya. Memang selama ini dia lebih banyak bersama, tetapi rasa sayangnya pada Nola juga sama besarnya. Terlepas bagaimana anak itu terlahir di dunia, dia menerima dengan ikhlas kehadiran Nola dalam hidupnya. Dia menyayangi Nola.
“Nai capek, Mas,” sahut Naina, pelan. Mata indahnya masih terpejam. Kelelahan karena ulah suaminya membuat Naina tidak sanggup lagi bergerak, bahkan sekedar membuka mata. Wanita itu masih di posisi semula, tidak bergerak sedikit pun.
“Nai, Mas harus ke tempat mama. Nai tidak apa-apa Mas tinggal sendiri?” tanya Wira lagi.
“Iya Mas. Jangan pergi terlalu lama, ya,” sahut Naina dengan suara yang kian pelan.
Wira sudah berdiri di pinggir tempat tidur, tersenyum menatap istrinya yang tampak menggoda dengan tampilan polosnya. Menyusup kedua tangan kekarnya perlahan di balik punggung Naina, Wira menggendong istrinya ke kamar mandi. Membantu Naina membersihkan diri. Tidak tega melihat Naina tidur dengan tubuh basah keringat dan cairan penyatuan yang tertinggal.
Lima menit, Wira sudah kembali. Meletakan perlahan tubuh Naina yang melemas ke atas ranjang dan membantu istrinya berganti gaun tidur.
“Nai, Mas berangkat sekarang, ya,” pamit Wira. Tidak tega melihat Naina yang sudah mengantuk.
“Hmmmmm,” gumam Naina pelan. Kelopak mata itu terbuka perlahan.
“Mas hanya sebentar. Mas janji akan pulang cepat,” lanjut Wira, merapikan posisi tidur istrinya, kemudian mengecup dahi Naina perlahan.
Sebelum keluar dari kamar, Wira masih menyalakan kembali ponsel Naina, meletakannya di dekat nakas tepat di samping istrinya tertidur. Tak lupa menyalakan kamera cctv, supaya dia bisa memastikan istrinya baik-baik saja selama dia tidak ada di rumah.
***
Wira tiba di rumah mamanya saat waktu menunjukan pukul sebelas malam. Baru saja lelaki itu mengetuk pintu rumah, sang papa sudah menunggu di dalam.
“Mana mama, Pa?” tanya Wira, mengedarkan pandangannya.
“Sedang di rumah Stevi. Susul saja ke sana!” sahut sang papa.
Mendengar itu, Wira langsung memacu mobilnya menuju ke rumah Stevi. Tak butuh waktu lama, mobil Wira sudah masuk ke halaman rumhah Stevi.
“Ma ....” teriak Wira begitu masuk ke dalam rumah. Panik mendera saat mengetahui sang mama sudah terlebih dulu pergi melihat Nola. Khawatir sakitnya Nola tidak biasa.
Stevi yang baru keluar dari kamar, tersenyum menyapa saat mengetahui kedatangan Wira.
“Kamu datang juga, Mas.”
“Mama di mana? Nola kenapa?” Lelaki itu sudah bergegas masuk ke kamar putrinya, mencari tahu apa yang terjadi. Hatinya terenyuh saat melihat Nola yang tidur sambil merengek ditemani oma dan pengasuhnya.
“Apa yang terjadi?” tanya Wira, mendekati Nola dan mengusap tubuh mungil yang terasa panas.
“Nola sepertinya demam. Ini mau dibawa ke dokter atau bagaimana Wir?” tanya sang mama, terlihat panik.
“Sudah berapa hari sakitnya?” tanya Wira.
“Tiga hari, Pak. Nola rewel terus setiap malam, tidak mau makan, tidak mau minum susu. Muntah-muntah,” sahut sang pengasuh, menjawab pelan takut disemprot majikannya.
“Tidak dibawa ke dokter? Tidak minum obat?” tanya Wira.
Sang pengasuh menggeleng, menunduk ketakutan melihat tatapan mengerikan Stevi yang berdiri di tengah pintu.
“Mbak, tolong siapkan Nola. Aku akan membawanya ke dokter. Tunggu sebentar, aku akan membuat perhitungan dengan j’alang sialan ini!” umpat Wira, berbalik dan menyeret Stevi ke kamar.
Begitu pintu kamar tidur Stevi terbuka, Wira langsung mendorong kasar istri sirinya. Membuat tubuh Stevi terjerembab ke lantai.
“Mas, jahat kamu. Tega kamu, Mas!” omel Stevi, segera bangkit dan berdiri.
“Apa maumu, Stev? Kalau memang tidak menginginkan Nola, serahkan padaku. Mari kita bercerai. Katakan apa yang kamu inginkan. Aku akan memenuhi semua keinginanmu. Berapa yang kamu butuhkan!” ucap Wira dengan penuh emosi.
“Aku hanya mau kamu adil. Tidak mau apa-apa, tetapi kalau Mas memaksa bercerai, aku tidak masalah. Bercerai berarti istrimu tahu semuanya, Mas,” ancam Stevi tersenyum penuh kemenangan.
“Mas tahu apa resikonya kalau sampai Naina tahu segalanya.”
“Lalu apa yang kamu inginkan? Kenapa menyakiti Nola. Selama ini aku sudah berusaha baik padamu, kenapa mempersulitku!” gerutu Wira.
“Hahaha! Bukankah aku yang sudah baik padamu dan Naina, Mas. Kalau aku mau, sudah dua tahun yang lalu kamu bercerai dengan wanita itu, Mas. Tidak akan bertahan selama ini.”
“Kurang ajar! Kamu menjebakku, Breng’sek!!” umpat Wira.
“Sayangnya istrimu terlalu polos. Tidak peduli suaminya dijebak atau tidak, Nainamu pasti akan menceraikanmu.” Stevi terbahak.
“Ayolah Mas, aku hanya meminta keadilan darimu. Sedikit saja, aku tidak berharap lebih. Aku juga istrimu.”
“Kenapa kamu bisa sejahat ini padaku dan Nola, Stev. Kalau kamu tidak kasihan padaku, setidaknya kasihan pada Nola. Dia putrimu, putri kita. Apa salahnya?” tanya Wira sedikit melunak.
“Aku hanya ingin Mas adil. Kalau aku tidak membiarkan Nola sakit, aku yakin Mas tidak akan menginjakan kakimu ke rumah ini. Kamu yang tega Mas, kamu yang tidak adil padaku dan Nola,” ucap Stevi terisak.
“Aku harus pulang. Aku meninggalkan Naina sendiri di rumah. Selama sakit, Nola akan tinggal bersama mama,” putus Wira.
“Tidak masalah. Kalau Nola di tempat mama, artinya aku juga akan tinggal di rumah mama. Ingat Mas, Nola putriku, hanya putriku. Mas bahkan tidak berhak apa-apa padanya.”
“Aku tidak mau berdebat Stev, aku harus membawa Nola ke dokter.”
***
TBC
Bahkan seakan ikut merasakan sakit yang sesakit itu bagi Dennis
full bintang ,subricrible, vote d tutup kopi
sebelum2 ni terlalu baik sampai tak peka langsung.