NovelToon NovelToon
Cinta Dibalik Heroin 2

Cinta Dibalik Heroin 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Obsesi / Mata-mata/Agen / Agen Wanita
Popularitas:280
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pintu yang Tak Diduga

Bel apartemen berbunyi ketika Feni sedang menuang teh hangat ke dalam dua cangkir. Tangannya berhenti di udara, jantungnya berdetak lebih cepat dari seharusnya. Bunyi itu tidak keras, tidak mendadak—tapi cukup untuk membuat rasa tidak aman yang sejak tadi menempel kembali mencengkeram.

Ia menoleh ke arah Erlang.

Erlang sudah berdiri, wajahnya langsung berubah waspada. Tanpa bicara, ia memberi isyarat agar Feni tetap di tempat. Langkahnya menuju pintu pelan tapi tegas. Ia mengintip lewat lubang kecil sebelum membuka kunci pengaman.

Beberapa detik hening.

“Bun…?” suara Erlang terdengar tertahan.

Pintu terbuka.

Seorang perempuan paruh baya berdiri di ambang pintu. Rambutnya disanggul rapi, pakaiannya sederhana, tapi bersih dan elegan. Tidak ada perhiasan mencolok, tidak ada make-up berlebihan. Namun dari cara ia berdiri, dari sorot matanya yang tenang tapi tajam, Feni langsung tahu—perempuan ini terbiasa berada di posisi yang tak bisa diremehkan.

“Kenapa lama?” tanyanya ringan.

“Sekarang aku harus hati-hati,” jawab Erlang.

Perempuan itu tersenyum tipis. “Bagus.”

Ia melangkah masuk tanpa menunggu dipersilakan. Matanya menyapu ruangan, mencatat posisi pintu, jendela, sudut-sudut gelap—lalu berhenti pada Feni.

Tatapan itu tidak menghakimi, tidak mengintimidasi. Tapi membuat Feni merasa seperti sedang dibaca.

“Kamu Feni,” katanya, bukan bertanya.

“Iya, Bun,” jawab Feni pelan.

Bunda Erlang mendekat dan menggenggam tangan Feni. Sentuhannya hangat, membuat dada Feni terasa sedikit longgar, seolah ada sesuatu yang selama ini ditahan akhirnya boleh bernapas.

“Kamu kelihatan capek,” ucapnya lembut. “Dan kamu ketakutan.”

Feni menelan ludah. Ia ingin menyangkal, ingin bilang bahwa ia baik-baik saja. Tapi kebohongan terasa sia-sia di depan perempuan ini.

“Iya, Bun.”

Mereka duduk bertiga di ruang tamu. Apartemen itu mendadak terasa lebih kecil dari biasanya. Erlang duduk di sisi Feni, posisinya sedikit condong—sadar atau tidak, selalu siap melindungi.

“Kamu bawa dia ke sini karena keadaan sudah nggak aman,” ujar Bunda Erlang akhirnya.

Erlang mengangguk. “Ada ancaman. Kakak iparnya ditembak. Pelakunya belum ketemu.”

“Dan kamu yakin ini bukan kebetulan.”

“Iya.”

Bunda Erlang menyandarkan punggung, menyilangkan tangan. “Naluri Bunda juga bilang begitu.”

Ia menoleh ke Feni. “Kamu tahu keluarga kami bukan keluarga biasa.”

Feni mengangguk pelan. “Aku tahu, Bun.”

Ia memang tahu Erlang berasal dari keluarga kaya. Dari cara hidupnya yang rapi tapi tidak berlebihan, dari sikapnya yang terbiasa mengambil tanggung jawab. Tapi malam itu, kenyataan itu terasa berbeda—lebih berat, lebih nyata.

“Kalau ini kejahatan terorganisir,” lanjut Bunda Erlang tenang, “maka orang-orang di sekitar kalian juga berisiko. Termasuk kamu.”

Erlang mengepalkan tangan. “Itu sebabnya aku nggak mau dia sendirian.”

Feni menoleh cepat. “Lang—”

“Aku serius,” potong Erlang, suaranya lebih keras dari biasanya. “Aku nggak sanggup kalau kamu jadi sasaran berikutnya.”

Hening menyelimuti ruangan.

“Kamu ikut Bunda,” kata Bunda Erlang akhirnya.

Feni terdiam. “Ke rumah Bunda?”

“Iya.”

“Aku nggak mau merepotkan.”

Bunda Erlang tersenyum tipis. “Nak, melindungi bukan repot. Itu tanggung jawab.”

Kalimat itu menusuk tepat ke dada Feni.

Keputusan diambil malam itu juga.

Mobil melaju meninggalkan apartemen menuju kawasan perumahan yang dijaga ketat. Gerbang tinggi terbuka perlahan. Bukan rasa takjub yang Feni rasakan, melainkan kesadaran—tempat ini dibangun untuk satu tujuan: keamanan.

Di dalam rumah, suasananya hening dan tertata. Kamera terpasang di sudut-sudut, penjagaan tidak mencolok tapi terasa. Segalanya terlihat siap.

Di kamar tamu, Erlang membantu meletakkan tas Feni di atas ranjang.

“Aku minta maaf,” katanya pelan.

“Untuk apa?” Feni menoleh.

“Karena hidup sama aku berarti dekat sama risiko. Sama ancaman yang bahkan bukan ulahmu.”

Feni mendekat, menggenggam tangannya. “Aku sudah tahu itu dari awal, Lang. Dan aku tetap milih kamu.”

Erlang menatapnya lama. Ada rasa takut di matanya—takut yang jarang ia perlihatkan.

“Aku cuma takut nggak bisa jaga kamu.”

“Kamu sudah jaga aku,” jawab Feni pelan.

Ia memeluk Erlang lebih dulu. Pelukan itu erat, lama, bukan karena status atau nama keluarga, tapi karena dua orang yang sama-sama takut kehilangan.

Di luar kamar, Bunda Erlang berdiri sejenak. Ia tidak masuk, tidak menyela. Hanya mengamati.

Ancaman itu belum terlihat jelas.

Tapi ia tahu satu hal—

Jika seseorang berani menyentuh keluarga polisi,

maka cepat atau lambat, bayangannya akan sampai ke rumah ini.

Dan ketika itu terjadi, tidak akan ada lagi tempat untuk lari.

Hanya pilihan untuk bertahan.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!