Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 — Diam-Diam Menopang Dunia
Sudah bahagia hari ini??
Stay tune terus di cerita IT yaaaa.. selamat membaca..
***
Pagi masih gelap ketika Zahwa sudah terjaga. Embun belum sepenuhnya turun, namun ia sudah berdiri di dapur kecil itu, menyiapkan air panas, merapikan meja, dan memastikan rumah siap sebelum penghuni lainnya bangun. Sunyi adalah sahabatnya; di sini, hanya di jam-jam inilah ia merasa punya ruang untuk bernapas.
Zahwa bekerja cepat. Ada beberapa loyang kue pesanan Bu Rini, tetangga sebelah, yang harus ia antar sebelum jam tujuh. Tangan Zahwa cekatan membentuk adonan, memanggangnya, lalu membungkusnya rapi, semua dilakukan tanpa suara, agar tidak mengganggu Bu Nina dan Rita yang masih tidur.
Inilah salah satu pekerjaan sampingannya: membuat kue. Tak ada yang tahu, bahkan Farhan. Zahwa merahasiakannya karena ia tak mau membuat suaminya merasa malu atau tersinggung. Lagipula, sebagian uang Farhan tidak pernah sampai ke tangan Zahwa. Selalu ada permintaan dari Bu Nina, selalu ada drama dari Rita, dan selalu ada kebutuhan yang datang dari keluarga Farhan yang lain.
Zahwa menarik napas panjang ketika mengingat satu hal: tabungannya.
Ia sedang mengumpulkan uang, sedikit demi sedikit, untuk membuka usaha frozen food kecil-kecilan. Risol frozen, pastel frozen, pempek, cireng, apapun yang bisa diproduksi dari dapur mungilnya. Ia punya mimpi sederhana, punya penghasilan tetap yang bisa membuatnya berhenti menjadi tujuan setiap kali keluarga Farhan meminta uang.
Hanya saja, impian itu sering terasa jauh.
Setelah kue selesai, Zahwa bersiap dengan jilbabnya, lalu mengendap keluar rumah. Ia mengantar pesanan tepat waktu, menerima amplop kecil berisi bayaran. Tidak banyak, tapi cukup untuk ditambahkan ke tabungannya.
Sesampainya kembali di rumah, Zahwa belum sempat duduk ketika suara Bu Nina datang dari ruang tamu.
“Zahwaaa… sini sebentar, Nak.”
Zahwa menyimpan amplop itu cepat-cepat di saku terdalam tasnya dan berjalan menghampiri ibu mertuanya.
Bu Nina duduk sambil menonton TV, rambutnya masih acak, dan wajahnya tampak berminyak karena baru bangun. “Farhan kemarin kasih uang cuma dikit, Zahwa. Ibu butuh buat belanja hari ini. Kamu ada uang lebih?”
Zahwa tersenyum tipis. “Ada sedikit, Bu. Ibu mau berapa?”
“Nggak usah banyak-banyak, seratus aja cukup.”
Itulah kebohongan terbesar Bu Nina: “nggak usah banyak-banyak.” Tapi Zahwa tetap mengambil dompetnya, menyerahkan uang dengan tangan ringan. Bu Nina tersenyum puas lalu kembali menonton TV.
Zahwa meneguk ludah. Seratus ribu berarti satu minggu kerja sampingan lenyap begitu saja. Tapi ia tetap diam. Dalam diamnya, doa sering keluar: Ya Allah, kuatkan aku.
Belum sempat ia kembali ke dapur, seorang anak kecil tiba-tiba berlari masuk dari pintu depan.
“Bude Zahwaaa! Ayah suruh ambil ini!” teriaknya sambil menyerahkan secarik kertas.
Zahwa berjongkok, menerima kertas itu dengan bingung. “Dari Ayah kamu?”
Anak itu mengangguk. “Iya! Ayah bilang nanti telepon!”
Anak itu pergi lagi seperti angin, meninggalkan Zahwa dengan selembar kertas berisi daftar belanja: minyak, beras satu karung, susu anak, detergent, dan beberapa kebutuhan dapur.
Tak lama kemudian, ponselnya berdering. Nama yang muncul: Abang Farhan.
Zahwa langsung tahu.
“Assalamu’alaikum, Bang,” sapanya lembut.
“Wa’alaikumussalam. Zahwa, tolong beliin barang-barang di daftar itu ya. Nanti aku ganti kalau ada rezeki masuk.”
Kalimat terakhir itu selalu sama, dan Zahwa sudah hafal: ganti kalau ada rezeki, yang artinya sering tidak kembali sama sekali.
Zahwa mengusap keningnya. “Bang, ini agak banyak… saya coba belikan yang bisa dulu ya.”
“Iya. Soalnya lagi kepepet banget ini. Makasih, ya. Kamu baik banget deh.”
Panggilan berakhir. Zahwa menunduk. Ia tak tahu harus tertawa atau menangis. Keluarga Farhan memang baik padanya secara omongan, tapi ujung-ujungnya… selalu uang. Dan yang memberi bukan Farhan, Zahwa.
Ia tidak pernah mengadu pada Farhan, tidak pernah menuntut. Jika Farhan tahu, ia pasti marah, bukan membela Zahwa, melainkan marah karena merasa keluarganya terbebani.
Zahwa sudah hapal pola itu.
Siangnya, Zahwa menyelesaikan pekerjaan sampingannya yang lain: menyetrika pakaian tetangga, mencuci beberapa baju pesanan, dan merapikan rumah dua kompleks dari rumahnya. Semua dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, seperti pencuri yang mencuri waktunya sendiri.
Sore hari, tubuhnya mulai pegal. Ia pulang membawa dua kantong belanja besar untuk memenuhi daftar dari abang Farhan tadi. Uang tabungannya berkurang cukup banyak hari ini, tapi matanya tetap terlihat tenang. Zahwa selalu percaya, setiap yang ia keluarkan akan diganti Allah dengan cara yang lebih indah.
Saat ia hendak masuk rumah, suara meninggi menyambutnya.
“Zahwa! Kemana aja kamu?! Dari pagi rumah berantakan begini!” Rita berdiri dengan wajah kesal.
Zahwa menahan napas. Padahal tadi pagi ia sudah bersihkan semuanya sebelum berangkat.
“Maaf, Kak. Saya keluar sebentar, ada pesanan…”
“Nggak usah alasan! Kamu itu tinggal di rumah ini harusnya bantu, bukan pergi seenaknya! Kalau bukan karena kamu, Farhan nggak bakal susah begini!”
Zahwa tak membalas. Ia hanya melewati Rita pelan-pelan sambil membawa belanjaan.
Di dalam rumah, Bu Nina berseru, “Zahwa, kamu beliin kopi nggak tadi? Ibu nunggu dari pagi.”
Zahwa mengangguk. “Ada, Bu.”
“Bagus. Taruh di dapur ya.”
Begitu banyak tangan yang meminta, begitu banyak suara yang menuntut, tapi tak satu pun yang benar-benar melihat bagaimana Zahwa berlari dari pagi sampai senja.
Ketika senja turun, langit berwarna kuning pucat. Zahwa duduk di kamar sendirian, memeriksa amplop-amplop kecil berisi tabungan recehan dari hasil kerja sampingannya.
Hari ini ia harus merelakan sebagian besar dari uang itu hilang lagi. Tapi Zahwa tetap menuliskan angka-angka baru di buku catatannya, jumlah yang semakin kecil, tapi mimpinya tetap besar.
“Suatu hari nanti… aku harus punya usaha sendiri. Aku harus bisa berdiri tanpa membebani siapa pun.”
Zahwa menutup buku tabungannya, menatap ke luar jendela.
Sore itu, untuk pertama kalinya, ia bertanya dalam hati:
Jika aku terus begini, sampai kapan hatiku mampu bertahan?
Namun seperti biasanya, ia hanya tersenyum kecil,
senyum perempuan yang menyembunyikan luka paling sunyi.
***
Siapa yang mirip-mirip Zahwa.. Cung.. Kita sama 😆..