"Tubuhmu milikku. Waktumu milikku. Tapi ingat satu aturan mutlak, jangan pernah berharap aku menanam benih di rahimmu."
Bagi dunia, Ryu Dirgantara adalah definisi kesempurnaan. CEO muda yang dingin, tangan besi di dunia bisnis, dan memiliki kekayaan yang tak habis tujuh turunan. Namun, di balik setelan Armani dan tatapan arogannya, ia menyimpan rahasia yang menghancurkan egonya sebagai laki-laki, Ia divonis tidak bisa memberikan keturunan.
Lelah dengan tuntutan keluarga soal ahli waris, ia menutup hati dan memilih jalan pintas. Ia tidak butuh istri. Ia butuh pelarian.
Sedangkan Naomi Darmawan tidak pernah bermimpi menjual kebebasannya. Namun, jeratan hutang peninggalan sang ayah memaksanya menandatangani kontrak itu. Menjadi Sugar Baby bagi bos besar yang tak tersentuh. Tugasnya sederhana, yaitu menjadi boneka cantik yang siap sedia kapan pun sang Tuan membutuhkan kehangatan. Tanpa ikatan, tanpa perasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyonya_Doremi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Beberapa minggu kemudian, setelah Ryu dan Naomi memenangkan segala tuntutan yang ditujukan kepada mereka dan pernikahan mereka, semuanya berjalan lagi seperti biasa.
Pagi itu, Penthouse B tidak diawali dengan diskusi strategi bisnis atau laporan bursa saham. Sebaliknya, atmosfer ruangan dipenuhi dengan aroma bedak bayi, minyak telon, dan suara mesin pembuat kopi yang bekerja lembur. Naomi sedang berada di bawah tekanan besar, naskah novel terbarunya, sebuah drama rumah tangga yang ironisnya sedang ia jalani sendiri memiliki tenggat waktu yang jatuh tepat di sore hari.
"Ryu, aku benar-benar butuh waktu tiga hingga empat jam di ruang kerja tanpa gangguan sama sekali. Bisakah kita memanggil pengasuh cadangan?" tanya Naomi dengan nada ragu, sambil melirik Athala Rafka yang sedang asyik menarik-narik ujung dasi sutra Ryu.
Ryu Dirgantara melepaskan dasinya dengan gerakan elegan, lalu melemparkannya ke atas sofa. Ia menatap Naomi dengan tatapan yang penuh kepercayaan diri yang sangat maskulin, tipe kepercayaan diri yang biasanya ia gunakan sebelum mengakuisisi perusahaan saingan.
"Tidak perlu, Naomi. Aku sudah meliburkan tim pengasuh hari ini untuk memberikan mereka waktu istirahat, dan lebih penting lagi, aku ingin membuktikan sesuatu," ujar Ryu sambil melipat lengan kemejanya. "Aku mengelola ribuan karyawan, menghadapi negosiasi lintas negara, dan memantau aset triliunan rupiah. Menjaga satu manusia mungil berbobot tujuh kilogram seharusnya secara logistik masuk dalam kategori tugas yang sangat sederhana."
Naomi mengangkat sebelah alisnya. "Menjaga Athala tidak sama dengan mengelola rapat pemegang saham, Ryu. Dia tidak bisa diajak bernegosiasi."
"Semua makhluk hidup bisa dikelola dengan sistem yang tepat, Naomi. Pergilah menulis. Fokuslah pada naskahmu. Serahkan Athala padaku," ucap Ryu, memberikan kecupan singkat di dahi Naomi yang membuat wanita itu sedikit terpaku sebelum akhirnya menyerah dan masuk ke ruang kerjanya.
Begitu pintu ruang kerja Naomi tertutup rapat, Ryu segera mengambil alih Athala. Ia tidak sekadar menyiapkan perlengkapan bayi, namun ia benar-benar menjaga Athala. Di atas meja marmer, Ryu menyusun botol susu, kapas steril, tisu basah, dan berbagai ukuran popok berdasarkan urutan prioritas penggunaan.
Ia bahkan membawa iPad nya, bukan untuk melihat saham, melainkan untuk mencatat grafik asupan nutrisi dan durasi tidur Athala secara real time.
"Oke, Athala. Mari kita mulai audit harianmu," gumam Ryu sambil menatap putranya yang sedang duduk di karpet bulu. Athala hanya menatap ayahnya dengan mata bulat yang besar, lalu tiba-tiba mengeluarkan suara pffft dari mulutnya, membasahi dagunya sendiri dengan air liur.
Ryu segera mengambil tisu steril. "Pertama, produksi air liur meningkat. Kemungkinan pertumbuhan gigi. Kita perlu memantau suhu tubuh setiap tiga puluh menit." gumam Ryu mengamati.
Ketenangan itu hanya bertahan empat puluh menit. Bau yang sangat menyengat, tipe bau yang bisa meruntuhkan wibawa seorang CEO mulai tercium di udara. Ryu mengernyitkan hidung. Ia mengangkat Athala ke udara, memutar tubuh kecil itu seolah-olah sedang memeriksa cacat produksi pada sebuah produk.
"Terdeteksi kebocoran pada sistem pembuangan," gumam Ryu dengan wajah serius.
Ia membawa Athala ke meja ganti popok yang sudah dilapisi dengan alas sekali pakai. Ryu mengenakan sarung tangan latex yang biasanya digunakan oleh tim laboratorium Dirgantara. Ia membuka kancing baju bayi Athala seolah sedang menjinakkan bom.
Begitu popok dibuka, medan perang itu terlihat. Ryu hampir saja kehilangan ketenangannya saat Athala, yang merasa bebas tanpa popok, mulai menendang-nendang dengan riang. Salah satu kaki kecil Athala hampir saja menginjak limbah tersebut.
"Athala! Ini adalah instruksi langsung! Tetap pada posisimu!" perintah Ryu dengan suara otoriter.
Namun, Athala justru tertawa lebar. Ia melihat ayahnya yang panik sebagai sebuah hiburan menarik. Saat Ryu sedang meraih tisu basah dengan tangan gemetar, Athala melakukan serangan udara susulan. Cairan hangat menyemprot tepat ke arah dada kemeja putih Ryu.
Ryu mematung. Matanya menatap noda kuning yang merembes di kemeja putih seharga lima belas juta rupiah itu.
"Target melakukan manuver tak terduga," bisik Ryu pada dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. "Ini bukan kekalahan. Ini hanya hambatan teknis."
Setelah perjuangan melelahkan selama hampir satu jam hanya untuk mengganti satu popok dan baju, masalah berikutnya muncul, Athala mulai mengantuk, tapi ia menolak untuk tidur. Bayi itu merengek, lalu tangisannya perlahan naik menjadi raungan yang membuat telinga Ryu berdenging.
Ryu mencoba segala cara. Ia mengayunkan Athala dengan gaya ayunan kargo, lalu beralih ke gaya gendongan vertikal. Tidak ada yang berhasil. Ia teringat saran di internet bahwa bayi butuh suara yang menenangkan.
Masalahnya, Ryu tidak tahu lagu pengantar tidur selain lagu kebangsaan. Akhirnya, ia menarik napas dan mulai berbicara dengan suara baritonnya yang berat dan monoton.
"Laba bersih Dirgantara Holdings pada kuartal ketiga menunjukkan pertumbuhan sebesar dua belas persen secara year on year..."
Athala terhenti merengek. Ia menatap ayahnya dengan bingung.
"Ekspansi ke pasar Asia Tenggara akan difokuskan pada sektor infrastruktur hijau dengan nilai investasi awal sebesar lima ratus juta dolar..." lanjut Ryu, sambil mulai berjalan mondar-mandir di ruangan. "Suku bunga yang stabil memberikan sentimen positif bagi para investor..."
Ajaib. Suara Ryu yang membosankan saat membacakan angka-angka finansial ternyata memiliki efek hipnotis. Mata Athala mulai meredup. Baginya, laporan tahunan ayahnya mungkin adalah musik paling membosankan sekaligus paling menenangkan di dunia. Dalam sepuluh menit, sang pewaris Dirgantara pun tertidur lelap di pelukan ayahnya.
Di tengah kemenangan kecil itu, bel pintu berbunyi. Ryu dengan hati-hati meletakkan Athala di boks bayinya dan berjalan menuju pintu. Ia terkejut saat melihat ibunya, Helena Dirgantara, berdiri di sana dengan gaya ningratnya, lengkap dengan kacamata hitam dan tas bermerek.
Helena melangkah masuk dan langsung mengernyitkan hidung. "Ryu? Bau apa ini? Dan kenapa kemejamu... ada noda kuning di sana?"
Ryu berdehem, mencoba mengembalikan wibawanya meskipun rambutnya sudah sedikit berantakan. "Ini adalah noda perjuangan, Ibu. Aku sedang menjaga Athala sendirian."
Helena melepaskan kacamata hitamnya dengan tatapan tidak percaya. "Menjaga sendiri? Di mana istrimu? Di mana para pengasuh yang kita bayar mahal itu? Seorang Dirgantara tidak seharusnya belepotan dengan... kotoran bayi."
"Naomi sedang bekerja, dan aku yang meminta pengasuh libur," jawab Ryu tegas. "Aku ingin mengenal putraku sendiri, Ibu. Tanpa perantara."
Helena berjalan menuju boks bayi dan menatap cucunya. "Kau terlalu lunak, Ryu. Sejak kapan kau menjadi asisten rumah tangga seperti ini? Jika kabar ini sampai ke telinga dewan direksi, mereka akan berpikir kau kehilangan ketajamanmu sebagai pemimpin."
"Sebaliknya, Ibu," sahut Ryu, berdiri tegak di samping ibunya. "Jika aku bisa menangani kekacauan yang dibuat oleh satu bayi, aku bisa menangani kekacauan di perusahaan manapun. Dan soal ketajaman, aku baru saja menidurkannya hanya dengan membacakan laporan keuangan. Dia punya insting bisnis sejak dini."
Helena mendengus, namun ada binar bangga yang samar di matanya. "Setidaknya kau memberinya nama yang bagus. Athala Rafka. Tapi jangan harap aku akan diam saja jika kau membiarkan Naomi terlalu bebas. Seorang istri harus tahu tugas utamanya."
"Tugas utamanya adalah menjadi dirinya sendiri, Ibu. Dan tugasku adalah memastikan dia bisa melakukan itu tanpa khawatir tentang rumah tangga," balas Ryu.
Sore harinya, Naomi keluar dari ruang kerja dengan mata yang sedikit merah karena terlalu lama menatap layar komputer. Ia tertegun melihat pemandangan di ruang tengah.
Ryu sedang tertidur di sofa dengan posisi duduk, sementara Athala tertidur pulas di atas perutnya. Di sekitar mereka, berserakan tisu basah, beberapa botol susu yang sudah kosong, dan iPad yang masih menyala menampilkan grafik pertumbuhan bayi.
Ryu terbangun saat mendengar langkah kaki Naomi. Ia segera membetulkan posisi duduknya, meski noda di kemejanya sudah mengering.
"Bagaimana progres naskahmu?" tanya Ryu, suaranya serak khas orang bangun tidur.
"Selesai," jawab Naomi sambil tersenyum geli. "Dan bagaimana dengan progres Athala?"
Ryu menatap putranya, lalu menatap noda di kemejanya sendiri. Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak pernah ia tunjukkan di ruang rapat. "Aku harus mengakui, Naomi... ini adalah negosiasi paling sulit dalam hidupku. Tapi aku rasa aku memenangkan kontraknya."
"Kontrak apa?"
"Kontrak untuk menjadi pahlawan bagi anak ini," jawab Ryu pelan. Ia menarik Naomi untuk duduk di sampingnya, merangkul bahu istrinya dengan rasa posesif yang kini terasa hangat dan melindungi. "Besok, aku tetap akan membeli sistem pembuangan popok otomatis itu. Tapi untuk malam ini... mari kita pesan makanan saja. Aku terlalu lelah untuk menjadi CEO."
Naomi tertawa, menyandarkan kepalanya di bahu Ryu. Di tengah kemewahan penthouse yang biasanya dingin itu, akhirnya ada kehangatan nyata yang tercipta, bukan karena uang atau kekuasaan, tapi karena seorang ayah yang rela kemeja mahalnya terkena noda demi sebuah senyuman bayi.
Haiiii... Haiii.. Haiiii... Dibawah ini adalah bentuk visual dari Ryu Dirgantara yaaa guyyssshhh... Selamat menghaaaluuuu..