NovelToon NovelToon
MR. LEONARDO

MR. LEONARDO

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta setelah menikah / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: nura_12

Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.

Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ruangan apa itu?

Di Singapura, sebuah gedung pencakar langit tampak megah dengan lampu kota yang berkilauan di bawahnya. Leo baru saja menyelesaikan rapat panjang bersama kolega bisnisnya. Jas hitam yang ia kenakan masih rapi meski wajahnya tampak lelah. Begitu keluar dari ruang rapat, Leo melangkah menuju balkon suite hotel tempatnya menginap.

Jam tangannya menunjukkan pukul 10 malam. Ia membuka ponselnya, menatap layar sejenak, lalu menghubungi salah satu bodyguard kepercayaannya di rumah mewahnya.

“Bagaimana keadaan nona Arinda?” suara Leo datar, tapi sarat dengan tekanan.

“Laporan, tuan,” jawab bodyguard itu cepat. “Nona Arinda ada di kamarnya. Sepertinya sudah tidur, karena tadi asisten pribadinya, Sofia, keluar dari kamar.”

Leo terdiam sesaat, hanya mendengarkan.

“Dan satu lagi, tuan,” lanjut sang bodyguard, agak ragu. “Nyonya Aurelia… sudah pergi ke Bali siang tadi.”

Mata Leo menyipit, sorot dinginnya semakin tajam. Namun suaranya tetap tenang, bahkan nyaris tanpa emosi.

“Biarkan dia. Aku tidak peduli apa yang dia lakukan.”

Ada jeda singkat sebelum ia menambahkan perintah baru.

“Besok, belikan ponsel baru untuk Arinda. Jangan ada alasan. Aku ingin dia punya sesuatu yang bisa membuatku menghubunginya langsung kapan pun.”

“Siap, tuan.”

Telepon ditutup. Leo masih berdiri di balkon, membiarkan angin malam Singapura menerpa wajahnya. Dari jauh, citylight berpendar indah, namun mata Leo tetap dingin dan tajam. Dalam diamnya, pikirannya hanya dipenuhi satu nama—Arinda.

Sedangkan di kamar, Arinda benar-benar tidak bisa tidur. Matanya menatap ke seluruh sudut kamar megah itu—terlalu asing, terlalu sunyi. Tidak ada yang bisa ia ajak bicara, kecuali suara hati kecilnya. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju balkon.

Udara malam menusuk kulitnya, dingin sekali. Arinda memeluk kedua lengannya, lalu mendongak menatap langit yang bertabur bintang. Tatapannya sayu, bibirnya bergetar lirih.

“...Ayah, Ibu… Arinda kangen kalian. Sekarang Arinda sudah menikah sama Mas Leo… dia itu… sangat menakutkan, Bu. Kadang Arinda takut…” ucapnya, suara seraknya terbawa angin malam.

Matanya mulai berkaca-kaca. Dalam kepolosannya, Arinda tidak tahu harus bagaimana menghadapi Leo. Hatinya campur aduk—antara bingung, takut, juga rindu rumah yang sederhana dulu.

Arinda menggigit bibirnya, lalu menunduk. “Kalau Ayah sama Ibu masih ada, mungkin Arinda nggak akan sendirian kayak gini…”

Setetes air mata jatuh, membasahi pipinya. Dalam diam, hanya bintang-bintang yang menjadi saksi keluguan dan kesedihan seorang Arinda.

Suasana malam semakin begitu sunyi. Jam dinding di koridor panjang lantai tiga menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas menit. Lampu-lampu gantung bergaya klasik berkilauan redup, memberikan bayangan panjang di dinding putih bersih. Arinda melangkah pelan dengan gaun tidurnya yang sederhana, kakinya berdecit pelan di atas lantai kayu yang mengilap.

Dia sebenarnya tahu, Leo tidak suka kalau dirinya berkeliling tanpa izin. Apalagi di lantai tiga ini, yang konon katanya hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan naik. Tapi rasa penasaran dalam dirinya jauh lebih besar dibandingkan rasa takut.

Koridor panjang itu terasa begitu asing. Satu per satu pintu yang ia lewati selalu terkunci rapat. Pegangan pintu dari kuningan dingin menempel di telapak tangannya ketika ia mencoba memutarnya—tetap tidak terbuka.

“Hmm… kok semuanya terkunci, ya?” gumam Arinda pelan, alisnya berkerut.

Matanya kemudian tertuju pada sebuah pintu kayu berukir yang terlihat lebih megah dari pintu lainnya. Ada ukiran naga emas yang melilit di sisi kanan dan kiri pintu. Entah mengapa, jantung Arinda berdegup kencang ketika berdiri di hadapan pintu itu. Tangannya gemetar saat menyentuh pegangan pintu, tapi tetap ia coba putar.

Terkunci. Lagi-lagi terkunci.

“Kenapa harus ada ruangan begini? Ada apa di dalam, ya?” bisiknya penasaran.

Namun, tiba-tiba terlintas wajah Leo di kepalanya. Tatapan tajam suaminya, suara dinginnya yang selalu bisa membuat Arinda ciut nyali. Ia teringat ucapan Leo,“*Jangan sekali-sekali mencoba hal bodoh, Arinda. Aku tidak suka orang ceroboh*.”

Arinda menghela napas panjang. “Arinda nggak boleh sembarangan, nanti kalau mas Leo tahu… bisa marah.”

Ia pun mundur perlahan, berbalik arah hendak kembali ke kamarnya. Namun baru saja dua langkah kakinya menjauh, tiba-tiba tubuhnya menabrak sesuatu yang keras dan tinggi.

“Ah!” Arinda terpekik kecil, hampir terjatuh.

Seseorang langsung menahan bahunya.

“Tenang, Nona,” suara berat seorang pria dewasa terdengar.

Arinda mendongak. Matanya membulat saat melihat seorang pria berpakaian serba hitam berdiri tegak di hadapannya. Tubuhnya tinggi besar, dengan wajah tegas dan tatapan tajam yang membuat bulu kuduk Arinda berdiri. Itu jelas salah satu bodyguard rumah ini.

Dengan wajah pucat, Arinda spontan berkata, “O-om siapa? Kenapa ada di lantai tiga? Nanti kalau mas Leo tahu ada orang lain di sini, katanya bisa dihukum. Itu… kata mbak Sofia…”

Suasana menjadi hening sejenak. Hanya terdengar detak jam dinding dan desir angin malam dari jendela besar di ujung lorong.

Bodyguard itu menatap Arinda dengan wajah datar, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Lalu perlahan, ia tersenyum samar—sebuah senyuman yang entah kenapa membuat Arinda makin gugup.

“Nona tidak perlu khawatir. Saya memang ditugaskan di sini,” jawabnya pelan, suaranya berat dan berwibawa.

Arinda berkedip bingung. “Ditugaskan? Tapi… tapi mbak Sofia bilang tidak ada orang lain yang boleh ke lantai tiga. Hanya mas Leo saja yang boleh masuk ke sini.”

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatap pintu berukir naga yang tadi sempat coba dibuka Arinda, lalu menatap kembali gadis muda di hadapannya. “Nona sebaiknya kembali ke kamar sekarang. Malam sudah larut, udara dingin bisa membuat Nona sakit.”

Arinda menggeleng cepat, masih penuh rasa penasaran. “Tapi om… sebenarnya ruangan itu apa? Kenapa terkunci semua? Apa mas Leo yang nyuruh om jaga di sini?”

Bodyguard itu diam cukup lama. Cahaya lampu temaram membuat wajahnya terlihat makin misterius. Akhirnya, ia menjawab lirih, “Ada hal-hal yang lebih baik Nona tidak tahu.”

Arinda semakin bingung. Hatinya berdebar keras, bukan hanya karena rasa takut, tapi juga karena rasa ingin tahunya yang semakin menjadi-jadi. “Kenapa… om bicara seperti itu? Apa mas Leo sembunyikan sesuatu dari Arinda?” tanyanya polos, matanya membesar seperti anak kecil yang sedang memohon jawaban.

Pria itu menarik napas dalam, lalu menepuk pelan bahu Arinda. “Jangan banyak bertanya malam ini. Nona masih muda, jangan biarkan rasa penasaran membawa masalah. Percayalah, Tuan Leo melakukan semuanya demi kebaikan.”

Jawaban itu membuat Arinda semakin tidak tenang. Bibir mungilnya bergetar, matanya menunduk, lalu ia menggenggam erat ujung gaun tidurnya. “Tapi… Arinda istrinya. Kenapa Arinda nggak boleh tahu? Apa Arinda begitu nggak penting… sampai rahasia sekecil apa pun harus disembunyikan?”

Suara Arinda terdengar lirih dan penuh luka.

Bodyguard itu terlihat sedikit tertegun mendengar kepolosan gadis itu. Ada rasa iba yang sempat melintas di wajahnya, namun segera ia sembunyikan dengan sikap kaku.

“Nona Arinda,” ucapnya serius, “saya hanya menjalankan tugas. Tolong, kembalilah ke kamar. Saya tidak ingin Nona mendapat masalah karena melanggar peraturan Tuan.”

Arinda menggigit bibir bawahnya, menahan rasa kecewa sekaligus takut. Ia menatap sekali lagi pintu besar berukir naga itu, lalu menghela napas panjang. Akhirnya, dengan langkah gontai, ia berjalan kembali menuju kamarnya. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan pria itu benar-benar hanya berdiri diam di depan pintu misterius itu.

Setelah masuk ke kamar, Arinda menutup pintu pelan-pelan dan bersandar di baliknya. Jantungnya masih berdegup cepat.

“Mas Leo… sebenarnya apa yang mas sembunyikan dari Arinda?” bisiknya sendu.

Ia berjalan ke arah ranjang besar, menarik selimut, lalu berbaring dengan mata terbuka menatap langit-langit. Malam itu, bukannya tidur, otaknya terus dihantui rasa penasaran tentang ruangan terkunci di lantai tiga dan sosok bodyguard misterius yang menunggunya di sana.

1
Khalisa
kyknya seru nih cerita
CantStopWontstop
Makin suka sama cerita ini.
Luna de queso🌙🧀
Gak sabar next chapter.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!