Berawal dari seorang Pelukis jalanan yang mengagumi diam-diam objek lukisannya, adalah seorang perempuan cantik yang ternyata memiliki kisah cinta yang rumit, dan pernah dinodai oleh mantan tunangannya hingga dia depresi dan nyaris bunuh diri.
Takdir mendekatkan keduanya, hingga Fandy Radistra memutuskan menikahi Cyra Ramanda.
Akankah pernikahan kilat mereka menumbuhkan benih cinta di antara keduanya? Ikuti kelanjutan cerita dua pribadi yang saling bertolak belakang ini!.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18.
Waktu terus berjalan, suasana di mal tersebut makin ramai pengunjung. Sebagian di antaranya mengisi jam istirahatnya juga memilih makan di foodcourt.
Mungkin karena beragam pilihan makanan yang sesuai selera pengunjung, sama halnya dengan Cyra dan Nia.
Setelah keduanya selesai menyantap makanan dilanjut mengobrol santai membahas apa saja termasuk saat Cyra tidak hadir bekerja. Obrolan mereka pun kadang diselingi canda tawa.
Nia melirik jam tangannya. “Udah dikit lagi jam masuk kantor, kita balik yuk!”
Cyra mengangguk. “Ayuk aja aku sih.”
Kedua perempuan cantik itu kini sudah di dalam mobil Nia.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang.
“Nanti tolong bantu aku ya Nia, ada beberapa berkas yang dikasih Dina tadi belum kupahami.” Cyra menatap harap ke Nia.
Dahi Nia terlihat berkerut seolah heran. “Kenapa gak kamu tanya langsung ke Dina?” tanya Nia sambil fokus menyetir.
Cyra menggeleng keberatan. “Untuk sementara sama kamu dulu, aku lebih santai dan nyaman bahasnya gitu.”
“Oh gitu ya, baiklah gak masalah nanti pasti kubantu,” ucap Nia santai.
Tak lama kemudian mereka tiba di kantor. Keduanya berpisah menuju ruangannya masing-masing.
Cyra kembali membuka laptopnya, fokus dengan pekerjaannya lagi.
Pintu ruangannya diketuk, lalu Nia masuk dan menuju meja Cyra sambil memegang laptopnya.
“Apa yang kamu gak paham?” tanya Nia langsung begitu duduk dihadapan Cyra.
“Proyek iklan produk yang sudah diluncurkan apakah sudah sesuai permintaan klien dan target pasar secara global?”
“Hmm… sepertinya masih proses, karena baru juga diluncurkan. Nanti kamu cari informasi dan evaluasi lagi sama Dina dan juga tim.”
“Kalau kulihat tabel dan grafik performanya ini masih stabil, kita tunggu dan lihat hasilnya beberapa hari kemudian,” tambahnya.
Cyra mengangguk paham. “Oke baiklah. Termasuk proyek iklan baru sepertinya aku harus gali informasi lebih banyak lagi.”
“Iya benar begitu karena itu memang tugasmu. Jangan lupa kamu tinjau proposal dari biro iklan untuk kampanye iklan baru nanti, “ ujar Nia sambil menatap laptopnya.
“Ini sudah ada berkasnya tadi diberikan Dina,” tunjuk Cyra pada berkas yang tersusun di mejanya.
“Syukurlah sudah ada, timmu gerak cepat juga ya.”
Cyra mengangguk dan tersenyum. “Beruntung aku sudah dibantu mereka dan juga kamu tentunya."
Nia ikut tersenyum. “Ya sudah, kamu lihat laptopmu lagi. Aku jelaskan sedikit tentang proyek iklan terbaru.”
Cyra menuruti maunya Nia. Kini keduanya fokus di laptop masing-masing.
Nia dengan sabar memberi tahu dan menjelaskan strategi pemasaran berdasarkan hasil studi riset pemasaran departemen terkait.
“Nanti kamu pelajari dulu semuanya, lalu kembangkan konsep, menulis copywriting, dan menyetujui beberapa desain yang sudah ada ini."
"Aku yakin kamu pasti bisa mengerjakan dan mengatasi semua ini.”
“Iya Nia, makasih ya udah bantuin aku.”
“Iya sama-sama Cyra. Semangat terus, Bu Manajer… hehehe,” canda Nia sambil tertawa.
Cyra pun ikut tertawa. “Kamu ini bisa aja bercandanya.”
Keduanya lalu kembali fokus dengan laptop masing-masing, memandangi beberapa folder file iklan dan desain yang diminta klien dan yang sudah dibuat timnya.
Jam demi jam berlalu, menunjukkan berlalunya sang waktu yang bergerak terus ke arah yang sama.
Tak terasa dua jam lebih kedua perempuan cantik ini membahas pekerjaan dengan sangat serius.
Nia menutup laptopnya. “Aku rasa udah cukup, kulanjut balik ke ruanganku ya,” kata Nia sambil beranjak bangun dari kursi.
Cyra ikut berdiri dan tersenyum tipis. “Makasih Nia udah bantu aku.”
“Iya sama-sama. Pamit ya,” tukasnya cepat dan berlalu keluar dari ruangan Cyra.
Cyra kembali duduk lalu meraih ponsel dan membuka galeri fotonya.
Rupanya diam-diam di ponselnya banyak foto candid Fandy. Dia pandangi satu-satu foto suaminya itu dalam berbagai sisi dan pose yang tak biasa.
“Abang... aku kangen kamu, padahal belum sehari kita berjauhan,” keluhnya dalam hati.
Lama dia pandangi foto Fandy, spontan dia cium fotonya itu seolah suaminya ini nyata di depannya. “Cup… aku yakin kita bisa melewatinya. Rindu ini sebagai penyemangatku.”
Sementara di tempat lain, Fandy pun sama galaunya seperti Cyra. Tapi dia menumpahkan kerinduannya itu lewat lukisannya.
Ternyata saat ini, dirinya melukis ulang dari buku sketsanya ke kanvas semua gambar istrinya.
Satu demi satu Fandy melukis ulang gambar Cyra, dari pose saat tidur termasuk terbaring manja dalam pelukannya. Pelukannya yang erat pada tubuh Fandy tergambar dengan jelas.
Ada juga pose selepas mandi dan mengeringkan rambutnya, lalu saat dia makan dan minum dengan tenang, lalu saat Cyra merajuk dan menangis pun ada. Gambar terakhir foto pernikahan mereka.
“Aku melukismu ini dengan segenap perasaanku. Kamulah kanvas hatiku, wajah cantikmu sangat indah terlukis dalam kanvas,” batin Fandy tak henti memuji.
“Belum genap sehari kita saling berjauhan, aku sama rindunya denganmu. Lukisanmu ini sebagai obat rinduku padamu Cyra,” tutur Fandy dalam hati sambil menatap lukisan istrinya.
Tangannya bergerak lincah melukis, dia fokuskan hari ini memindahkan semua gambar Cyra ke kanvas. Mungkin esok hari fokus pewarnaan, setelah selesai baru dia akan memesan bingkai untuk pelengkapnya.
“Sabar ya Cyra, aku akan segera menemuimu jika semua lukisanku ini selesai,” batinnya lagi dengan masih menatap lukisan Cyra.
“Cup… aku yakin meski jarak yang memisahkan kita kini. Hati kita tetap terasa dekat,” ucapnya setelah mencium lukisan Cyra.
***
Waktu terus berlalu, jam demi jam terlewati dengan pasti. Jam kerja kantor berakhir tepat pukul 17.00 dan saatnya untuk pulang.
Cyra pun bergegas merapikan semua berkas di mejanya dan menutup laptopnya. Lalu meraih tasnya dan keluar dari ruangannya.
Kini dia sudah duduk manis di mobil BMW merah kesayangannya. Mengendarai mobilnya dengan santai, seolah tak ingin terburu-buru sampai rumah.
Ada notif pesan masuk di ponselnya, sepertinya balasan dari Fandy. Cyra sempat mengiriminya pesan sebelum mobilnya melaju tadi.
Pesan balasan dari My Husband
.
Hati-hati di jalan, santai aja bawa mobilnya agar selamat sampai rumah. Aku juga sayang kamu Cyra.
Cyra tersenyum senang seolah puas dengan balasan Fandy. Dia lalu membalasnya lagi.
Jangan lama-lama jauh dariku. Dunia kamu sekarang bukan hanya lukisan dan kanvas tapi ada aku, istrimu.
Tak lama pesan balasan Fandy masuk.
Iya Cyra aku sadar, duniaku tidak hanya lukisan dan kanvas. Sekarang ditambah ada kamu. Gemes banget jadi ingin meluk cium kamu.
Cyra tertawa pelan, meski mata menatap ponsel lalu beralih fokus menatap jalan raya. Cepat dia mengetik balasan dan mengirimnya.
Pulang ke aku dong kalau mau peluk cium.
Masuk lagi notif balasan dari Fandy.
Sabar ya cantik, aku pasti pulang menemuimu segera.
Cyra hanya tersenyum tak membalasnya lagi. Dia lalu fokus menyetir dan jalan raya yang dilalui mobilnya.
Tak lama kemudian Cyra sampai di rumah mewahnya. BMW merahnya sudah terpakir rapi di garasi. Lalu dia melangkah anggun masuk ke dalam rumah.
“Assalamualaikum,” salamnya begitu dia membuka pintu rumah.
“Waalaikumsalam,” dijawab Mama kemudian.
Cyra menghampiri mamanya yang sedang berada di dapur. “Masak apa Ma?” tanyanya setelah duduk dan menatap mamanya yang terlihat sibuk memasak.
“Opor ayam dan nasi uduk kesukaanmu dan papa,” jawab mama sambil menoleh ke Cyra.
“Asyik, dimasakin menu favoritku. Makasih Mama cantik,” pujinya sambil beranjak dan memeluk mamanya dari belakang.
“Tumben nih, bilang makasih sambil peluk Mama. Pasti lagi galau karena kangen Fandy ya,” tebak mama.
Cyra mengangguk lesu. “Iya Ma, kangen banget dia.”
“Telepon atau kirim pesan dong ke dia.”
“Udah Mama dari pagi juga sampai mau pulang tadi, gak tau kenapa beda banget rasanya di telepon sama lihat orangnya langsung,” rajuknya.
Mama mengelus lembut tangan dan pipi putri kesayangannya itu. “Sabar ya sayang, dia hanya sebentar itu pulangnya. Mandi dulu sana, terus kita makan habis ini.”
Cyra mengangguk dan perlahan melepaskan pelukannya. “Iya Ma, aku ke kamar sekarang.”
Setelah Cyra berlalu dari dapur, mama terdiam sesaat dan mendesah pelan. “Huh… baru pisah sama Fandy sebentar aja udah galau banget gitu. Gimana kalau lama pisahnya?”