NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:274
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 - Jejak ke Timur

‎Raka kembali berkelana membawa tombak batu Rijang, pemberian Kakek Gajo untuk menjaga diri dari bahaya dan mengganti pakaian serat sukun model lama.

‎Di punggungnya tergantung bambu berisi air dan kain serat kantung berisi bekal pemberian dari warga desa.

‎Perjalanannya terasa sunyi. Hutan mulai menutup diri, dedaunan meneteskan embun seperti peluh bumi. Burung-burung tidak lagi bernyanyi; hanya suara serangga dari balik semak dan desir angin di antara pepohonan yang seolah berbisik tentang arah.

‎Beberapa hari berjalan, Raka mulai kehilangan arah mata angin.

‎Kabut menebal, hingga bayangan pohon memudar. Ia berhenti di sebuah batu besar di tengah hutan setengahnya tertutup lumut tebal, setengahnya lagi kering dan kasar.

‎Ia teringat kata Gajo di malam sebelum berangkat:

‎"Kalau kau tersesat, dengarkan batu.

‎Batu tahu dari mana datangnya angin."

‎Raka berjongkok memandangi batu itu.

‎Lumut yang menempel hanya di sisi barat, terasa sejuk bila disentuh.

‎Sisi lainnya, yang menghadap timur, hangat dan kering seolah menyimpan napas dari udara panas.

‎Dengan napas dalam, ia berkata pelan,

‎"Jika barat membawa sejuk, berarti timur adalah panas...

dan di sanalah luka bumi dimulai."

‎Raka memutuskan mengikuti arah batu yang tidak dilumuti lumut arah timur yang gersang, tempat angin membawa panas dan bisikan jauh dari wilayah Suku Yaka.

‎Langkahnya perlahan, tapi pasti.

‎Kabut membuka jalan sedikit demi sedikit, dan suara alam seperti menuntunnya ke sesuatu yang belum bisa ia pahami.

‎Raka menatap ke bawah lembah. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan tinggi, dan tanah mulai terasa lembab di telapak kakinya.

‎Ia tahu, di tempat seperti ini, kulit yang terbuka bisa menjadi santapan serangga dalam hitungan langkah.

‎Sebelum menuruni jalan setapak, pandangannya terpaku pada seekor laba-laba besar, hampir seukuran tapak tangan orang dewasa.

‎Hewan itu merayap perlahan di jaringnya yang mengilap lembab, sementara seekor nyamuk raksasa seukuran jempol tersangkut di antara benang halusnya.

‎Dalam sekejap, laba-laba itu menunduk, menggigit, lalu memintal tubuh nyamuk hingga terbungkus seperti kokon kecil.

‎Raka menghela napas pelan.

‎"Jika serangga di sini sebesar itu..." gumamnya, "kulit ini takkan bertahan lama tanpa pelindung."

‎Ia pun mengambil bambu kecil kecil dari dalam kain. Di dalamnya ada ramuan yang disiapkannya sebelum berangkat: campuran minyak kemiri, serai batu, dan sedikit getah damar.

‎Ia meneteskan beberapa titik ke telapak tangan, lalu menggosokkannya ke leher, tangan, dan kakinya.

‎Aroma tajam bercampur hangat menguar seperti tanah setelah hujan pertama.

‎Di lembah seperti ini, bukan cahaya yang melindungi, melainkan aroma yang membuat makhluk lain menjauh.

‎Ia tahu, di dunia di mana serangga besar berkeliaran, manusia harus belajar dari bau alam itu sendiri.

‎Sebelum turun ke lembah, Raka melilitkan tali dari serat pandan kering pada kakinya, mulai dari jempol hingga tulang kering dan juga melilitkan kedua lengan.

‎Bau minyak kemiri bercampur damar menguar lembut dari serat itu.

‎Ia tahu, sekali saja lengah, serangga lembah bisa menancap dan mengisap hingga demam.

‎"Inilah perlindungan para pengelana," ujar Raka pelan, sambil menatap lembah yang diselimuti kabut.

‎"Aroma tanah untuk melindungi darah manusia."

‎Dengan langkah tenang, ia mulai turun ke bawah, membiarkan embun menempel di rambut dan kainnya, satu langkah terburu-buru bisa mengguncang keseimbangan sunyi lembah itu.

‎sementara dari atas, laba-laba itu terus berjaga, menjadi pertanda bahwa lembah itu hidup, dan penuh mata yang mengawasi.

‎Raka tak menyalakan obor.

‎Di lembah lembab seperti ini, api hanya mengundang serangga raksasa turun dari kanopi.

‎Raka menunduk berjalan perlahan, membiarkan cahaya hijau jamur hutan memantul di bilah tombak batu rijangnya.

‎Setiap langkah terasa berat, tapi suara serangga menjadi penuntun arah.

‎Meski siang hari, lembah itu tak pernah terang.

‎Awan berkanopi menggantung rendah, menahan cahaya di balik lapisan daun raksasa.

‎Udara lembab menguar dari tanah, membentuk kabut tipis yang menelan warna-warna.

‎Di antara akar yang menjalar, terdengar dengung halus suara sayap serangga yang menyukai kegelapan abadi itu.

‎Di sudut lembah, di antara akar menjalar, Raka melihat sinar samar hijau kebiruan.

‎Bukan dari api, melainkan dari lumut yang menyala lembut di batang lapuk.

‎Cahaya itu berdenyut pelan, seolah bernafas bersama kabut.

‎Di dunia di mana matahari tak pernah menembus tanah, cahaya hening seperti itu adalah satu-satunya penuntun arah.

‎Di depan, sesuatu bergerak di antara akar.

‎Seekor lipan sebesar lengan orang dewasa merayap perlahan, sisik-sisiknya berkilau kehijauan oleh pantulan jamur hutan.

‎Hewan itu berhenti, mengangkat kepala, seolah tengah menghirup aroma tubuh Raka.

‎Beberapa saat dunia terasa membeku hanya terdengar desis halus dari rahang lipan yang saling bergesek.

‎Lalu, tanpa peringatan, makhluk itu berjalan melewati kaki Raka, menyusuri batu lembab menuju kegelapan lain.

‎Raka tak bergerak sedikit pun, hanya menatap keheningan yang kembali menelan lembah.

‎Tak jauh dari tempat lipan berlalu, dinding batang pohon tua berpendar samar.

‎Puluhan kumbang bersayap biru kehijauan merayap di permukaannya, tubuh mereka menyala lembut seperti bara hidup.

‎Sayapnya bergetar pelan, menebar kilau cahaya mengeluarkan aroma menyengat di antara kabut lembah.

‎Tak lama, datang lalat sebesar jempol yang tertarik pada aroma itu dan dalam sekejap, cahaya biru berubah riuh,

‎kumbang-kumbang itu menyambar mangsanya, menjadikannya santapan di bawah hutan gelap.

‎Kabut di depan perlahan menyingkir, menampakkan sebuah tebing tinggi yang dindingnya dipenuhi tumbuhan hijau, menjuntai seperti urat tambang alam.

‎Dari sela bebatuan di bawah, seekor kalajengking sebesar kaki manusia merayap perlahan, tubuhnya menyala biru pucat.

‎Ia berhenti di dekat daun yang bergetar seekor belalang hutan sedang melahap ujung daun.

‎Dalam sekejap, capit kalajengking itu menyambar, dan cahaya birunya berpendar di antara kabut,

‎menyantap mangsanya dalam sunyi yang menegangkan.

‎Seekor capung sebesar tapak tangan melintas cepat di atas kepala Raka, sayapnya memantulkan cahaya kehijauan sebelum turun rendah, meluncur di depan wajahnya.

‎Dalam sekejap, capung itu hilang seolah ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Raka menoleh ke belakang, dan di sana seekor katak setinggi lutut muncul dari balik akar.

‎Kulitnya berlendir, berpendar cahaya kuning samar.

‎Raka teringat pesan Kakek Gajo: "Berhati-hatilah pada katak yang menyala. Racunnya bisa membuatmu pingsan sebelum sempat berdoa."

‎Perlahan ia mundur, tapi tanah di belakangnya bergetar. Dari kegelapan muncul ular raksasa bersisik biru tua mengilap. Kepalanya menjulang tinggi, begitu besar hingga Raka harus mendongak untuk melihat matanya.

‎Jantungnya membeku. Ia pikir ajal sudah dekat. Namun, ular itu bukan menatapnya lidah bercabangnya menjulur ke arah katak bercahaya di belakang Raka.

‎Saat hewan-hewan itu saling menerkam, Raka segera kabur, menanjak tebing memegang tanaman yg menjuntai bagai tambang menjauh dari lembah yang seakan hidup dengan hukum alamnya sendiri.

‎Nafas Raka tersengal. Tangannya berlumur tanah basah, menempel di batu-batu lembab yang ditumbuhi lumut. Ia terus menanjak, tak berani menoleh ke bawah.

‎Suara dari lembah terdengar samar seperti desis panjang bercampur bunyi daging basah yang diremukkan.

‎Saat akhirnya mencapai punggung tebing, Raka terjatuh ke tanah, membiarkan tubuhnya terbaring menatap langit yang nyaris tertutup kanopi daun.

‎Dari celah-celah cahaya, terlihat kabut lembah berputar perlahan, memantulkan cahaya biru dari sisik ular raksasa di bawah sana.

‎Ia memejamkan mata. Hatinya berdebar, tapi juga dipenuhi rasa syukur.

‎Alam telah menunjukkan wajah liarnya dan sekaligus menyelamatkannya.

‎"Benar kata Kakek Gajo..." gumamnya pelan. "Hutan tidak membunuh yang menghormatinya."

‎Ia duduk, mengikat kembali tali di kakinya yang terlepas, lalu menatap ke timur. Kabut di depan tampak lebih tebal, tapi dari sela pepohonan terlihat sinar samar mungkin pantulan air, mungkin cahaya lembah berikutnya.

‎Dengan hati-hati, ia kembali berdiri. Tombak batu rijang di tangannya masih basah oleh embun. Perjalanannya baru separuh jalan, dan malam akan segera tiba.

Dari atas tebing, Raka mendengar suara lengking tajam di kejauhan. Ia menoleh, dan di antara pepohonan tinggi tampak seekor burung elang berdiri di atas batu besar, tubuhnya setinggi dirinya sendiri. Sayapnya separuh terbuka, menahan gerimis halus yang jatuh dari kanopi.

‎Bulu elang itu berkilau abu-keemasan, matanya tajam seperti batu rijang yang baru diasah. Raka menahan napas, tak berani bergerak. Dalam hatinya ia tahu, hewan sebesar itu bisa menerkam manusia dalam sekali lompatan.

‎Tapi elang itu tidak mendekat. Ia hanya berdiri diam, memandang ke arah sarang besar di cabang pohon rindang. Di dalamnya, dua butir telur sebesar tempurung kelapa bersinar pucat di bawah cahaya kabut.

‎Raka menunduk pelan, seolah memberi hormat. Alam tengah mengasuh keturunannya dan ia hanya seorang pengelana yang kebetulan melewati wilayahnya.

‎Tanpa suara, ia berjalan memutar melewati batu itu, menjaga jarak agar tak mengganggu induk elang. Sekilas, burung itu menatapnya sekali lagi, lalu mengeluarkan suara serak panjang, seperti peringatan sekaligus pengakuan.

‎Raka mencari tempat teduh di bawah akar pohon besar yang menonjol dari tebing. Tanah di situ cukup datar dan kering, terlindung dari embusan angin malam. Ia mulai mengumpulkan ranting-ranting lurus, menumpuknya miring seperti genteng. Di atasnya ia letakkan tumpukan rumput basah dan daun kering, hingga menyerupai gundukan tanah yang menyatu dengan sekitarnya.

‎Dari luar, tempat itu tampak seperti semak biasa. Tapi di dalamnya cukup hangat untuk menahan embun. Raka menghela napas lega, lalu mengoleskan sisa minyak kemiri di kulit agar serangga tak mendekat.

‎Ia berbaring sambil memegang tombak batu rijang di dada, matanya menatap langit yang samar terlihat di antara celah kanopi. Bintang-bintang bersembunyi di balik awan, hanya sesekali tampak berkelip redup.

‎Dari kejauhan terdengar suara elang kembali memanggil berat dan dalam, seolah sedang berbicara pada malam. Raka memejamkan mata perlahan. Di balik bahaya yang mengintai, ia merasa hutan ini juga punya sisi lembut...

‎"Mungkin setiap tempat punya penjaganya sendiri," pikirnya sebelum akhirnya terlelap.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!