NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17. Primadona Baru

Keesokan paginya, suasana di ruang makan terasa tenang dengan sinar matahari pagi yang menyelinap masuk melalui jendela. Sastra duduk sambil menyeruput kopi, matanya sesekali melirik ke arah Maha yang sedang menikmati sarapannya dengan setengah hati.

"Saya dengar minggu depan ada acara camping dari sekolah ya?" tanya Sastra sambil meletakkan cangkir kopinya.

Maha mengangguk singkat tanpa banyak bicara. "Iya, ada kegiatan dari sekolah," jawabnya datar.

Sastra menatap Maha sejenak, mencoba membaca pikirannya yang tampak jauh. "Kamu ikut?" tanyanya lagi, kali ini lebih lembut.

Maha menghela napas, ragu sejenak sebelum menjawab. "Belum tahu. Masih mikir," ucapnya sambil memindahkan sendok ke piring.

Sastra mengangguk pelan, tidak memaksa Maha untuk bercerita. "Kalau kamu butuh sesuatu buat persiapan, kasih tahu saya, ya," katanya, berusaha menunjukkan kepeduliannya meski tak ingin terlalu memaksa.

Maha mengangkat bahunya sedikit, tak benar-benar menatap Sastra. "Iya, nanti kalau perlu gue bilang."

Percakapan terhenti begitu saja, meninggalkan keheningan diantara mereka. Maha lebih dulu menyudahi sarapan pagi itu, disusul Sastra akhirnya mereka berangkat menuju sekolah.

•••

"Gimana Maha? Lo udah itu belum sama Mas Sastra?"

"Enggak lah gila! Gue tendang nanti barang punya dia kalau berani nyentuh gue!"

"Sadis banget sih lo Maha, haduh lo gak takut apa suami lo jajan diluar?" Keana menakuti-nakuti tentu saja di respon Maha biasa saja.

"Bagus dong, dia kan orang terkenal, ada berita jelek sedikit langsung kena skandal, itu keinginan gue buat cerai dari dia!"

Keana memutar matanya, tak habis pikir dengan sikap nyeleneh sahabatnya ini. "Seriusan, Maha. Lo gak khawatir kalau dia beneran selingkuh? Gimanapun juga dia suami lo, lho," ujar Keana, mencoba mengingatkan.

Maha hanya mengangkat bahu dengan santai. "Mas bodo lah, lagian ini bukan hubungan cinta-cintaan, kita tuh dijodohin Kea. Jadi kalau dia mau cari hiburan, silakan aja, asal nggak bawa masalah ke gue.”

Keana menggeleng-geleng, heran dengan cara Maha menanggapi semuanya. "Gue gak ngerti deh sama lo. Tapi ya, gue yakin Mas Sastra itu cowok setia sih."

Maha mengangkat kedua bahunya lagi, "bagus lagi kalau dia gak betah sama gue," tatapannya tetap penuh percaya diri. "Gue udah mempersiapkan diri Kea. Kalau dia berani main belakang, itu malah jadi jalan keluar buat gue."

Keana hanya bisa menghela napas panjang, menyadari bahwa apapun yang ia katakan, Maha sudah punya rencana dan prinsipnya sendiri.

Bel berbunyi nyaring, menandakan dimulainya pelajaran pertama hari itu. Siswa-siswi Cendana Maharaja bergegas memasuki kelas masing-masing, termasuk Maha dan Keana yang masih sibuk bercanda sebelum akhirnya masuk ke kelas mereka.

Saat Maha melangkah masuk dan duduk ditempatnya, suasana kelas terasa lebih ramai dari biasanya. Ada bisikan-bisikan dan tatapan penasaran tertuju pada sosok yang datang bersama Bu Siska, guru wali mereka.

"Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru. Kenalkan, ini Dyaln, siswa pindahan dari Surabaya, ayok Dylan perkenalkan dirimu,"

Dylan membuka suaranya, senyumannya menguar begitu ia berbicara. "Halo semuanya, perkenalkan saya Dylansyah Pratama Wironegoro, pindahan dari sekolah X. Salam kenal semuanya, mohon bantuannya, terimakasih."

Hampir kebanyakan di sekolah itu mengenai Dylan, putra seorang pejabat negara yang cukup disegani. Mereka tak menyangka akan kedatangan primadona baru yang bersekolah di SMA Cendana Maharaja.

Maha yang biasanya tidak peduli, mendapati dirinya sedikit terkejut saat melihat sosok Dylan. Dengan wajah tampan, postur tubuh tegap, dan senyum yang menawan, Dylan langsung menarik perhatian hampir seluruh siswa di kelas, terutama para siswi.

"Silakan duduk di sebelah siswi yang bernama Maha," lanjut Bu Siska sambil mempersilakan Dylan duduk di bangku kosong yang bersebelahan dengan Maha.

Dylan menatap arah yang ditunjukkan bu Siska, Saat pandangannya bertemu dengan Maha yang duduk di deretan tengah, ia tersenyum ramah. Tanpa ragu, Dylan melangkah menuju bangku kosong di sebelah Maha, membuat kelas seketika riuh dengan bisikan kagum.

Dylan duduk dengan santai, meletakkan tasnya di bawah meja sambil menoleh sekilas ke arah Maha. “Hai, Maha, kan?” sapanya dengan nada ramah.

Maha mengangguk singkat, dengan wajah datarnya. "Heum," jawabnya bergumam, lebih tepatnya ia jual mahal, ingin melihat bagaimana respon Dylan.

“Senang bisa duduk di sebelah lo,” lanjut Dylan dengan senyum simpul.

Maha menatap Dylan sekilas, mencoba menilai apakah pria di sebelahnya itu hanya sekadar ramah atau ada maksud lain di balik senyumannya. "Yah, enjoy aja di sini. Sekolah ini ya... gitu deh," jawab Maha, sedikit ketus.

Dylan tertawa kecil, iya tidak menjawab lagi. Namun sepertinya Maharani mengundang ketertarikan bagi seorang Dylansyah Wironegoro.

•••

Pertama kali masuk sekolah, Dylan sudah mendapatkan banyak penggemar apalagi saat laki-laki itu mengutarakan ingin bergabung dengan club basket di sekolah Cendana Maharaja, dengan segudang bakat dan prestasi disekolah sebelumnya akhirnya Dylan dapat bergabung dengan club basket yang terdaftar bergengsi itu tanpa perlu melakukan tes dan kualifikasi yang setara, karena Dylan sudah setara untuk bergabung dengan mereka.

"Gue denger anak baru itu putranya orang kepentingan negara, nah nama marga keluarganya yang ada dibelakang namanya itu, Wironegoro. Putra terakhir yang katanya paling pinter dari dua kakaknya." Bisik Keana mulai menggibah.

Maha hanya mendengarkan sambil mengunyah makanannya pelan. Ia tahu betul bagaimana hebohnya gosip di sekolah ketika ada murid baru yang memiliki latar belakang menarik seperti Dylan. Namun, kali ini ia tak terlalu menunjukkan antusiasme seperti teman-teman lainnya.

“Wajar aja ya kalau banyak yang nempel sama dia,” sambung Keana, setengah berbisik, matanya tak lepas dari Dylan yang tengah bersama dengan teman-teman basketnya di sudut kantin. “Pinter, ganteng, tajir pula. Lengkap banget, udah kayak tokoh drama Korea.”

Maha mendengus kecil. “Iya, iya. Terus kenapa? Mau jadi fans nomor satu juga?”

Keana tertawa, tahu Maha ini tidak menyukai sosok Dylan gara-gara mirip-mirip seperti Sastra. “Bukan begitu, Maha. Gue cuma penasaran aja. Lo duduk sebelahan sama dia. Gimana rasanya? Sering ngobrol gak? Gue gak bisa liat soalnya gue duduk didepan.

Maha mengangkat bahu, berusaha tetap cuek. “Biasa aja. Dia ramah sih, nggak sombong kayak yang gue kira. Tapi ya... gitu aja, ngobrolnya juga secukupnya.”

Keana mengangguk-angguk, mencoba mengerti. “Hmm, kayaknya Dylan tipe orang yang kalau udah suka sama sesuatu bakal fokus banget deh. Lo tau kan dia langsung masuk tim basket dan katanya bakal jadi andalan?”

“Iya, gue liat dia keliatan banget jago,” jawab Maha singkat, tidak sepenuhnya ingin berkata yang terkesan mengangumi. Sebetulnya, Maha pun tak bisa memungkiri bahwa Dylan memang beda dari kebanyakan anak laki-laki di sekolahnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Dylan menonjol, bukan hanya karena status keluarganya, tapi juga karena sikap dan prestasinya.

Dylan tengah mengobrol, sesekali tertawa bersama rekan-rekan setimnya. Maha mencuri pandang, namun tidak ada ekspresi yang ia berikan. Maha tentu tengah merancang suatu rencana, agaknya dia akan memanfaatkan laki-laki itu untuk membantu menjalankan misinya.

Keana menyenggol lengan Maha pelan. “Lo liatin Dylan lagi, Maha. Jangan-jangan lo suka ya?”

Maha segera mengalihkan pandangannya, menggeleng pelan. “Gue nggak suka sama siapa-siapa. Lo aja yang heboh sendiri.”

Keana terkekeh, "ya gak boleh dong! Lo udah punya Mas Sastra. Di bandingin sama Dylan, suami lo nilainya jauh lebih besar."

Maha menghela nafas panjang, "tapi sama-sama orang penting tuh, gue gak terlalu suka."

"Persetan soal Dylan. Bagaimanapun lo tuh udah married sama Mas Sastra, suka gak suka lo tetep istri dia kok. Lagipula kalau cowok udah punya segalanya dalam hidup gak lega gimana coba buat kita hidup kedepannya apalagi Mas Sastra pasti punya tujuan, gak mungkin dong dia terus buat lo gak cinta sama dia." Bisik Keana, tidak ingin percakapan mereka ada yang mendengar.

"Gak akan tuh, dia masih gamonin mantannya. Gue sih sadar diri jauh banget sama tipenya itu, anggun, dan lemah lembut."

Keana memasang wajah kaget, "seriusan? Ah jangan-jangan lo yang ngada-ngada. Dia gak mungkin dong kaya gitu?"

Maha terkekeh pelan, "lo pikir seorang Sastra Hardjo mau ya nikah sama gue, yang dari sifatnya aja bertolak belakang sama dia. Beda deh sama mantannya itu." Maha tampak tenang sekali berujar dan memasang raut wajah biasanya, "lagipula gue kan udah bilang sama lo kalau kita nikah itu dijodohin, make sense dong?

"Iya-iya gue tau, tapi... kayaknya Lo terkesan mengada-ada deh. Kalaupun Mas Sastra masih gamonin mantannya, gue seenggak itu mikir sampai sana lagipula dia tuh berkeyakinan, dan gak mungkin milih sembarangan. Seharusnya lo bersyukur karena jadi pilihan dia."

Maha lagi-lagi mengangkat bahunya kali ini ia sedikit risih dengan ucapan Keana. "Gue bakal bersyukur banget kalo lo gantiin posisi gue, keliatannya Lo berpotensi banget setara sama Sastra,"

Keana mengerutkan wajahnya, kali ini tampak tak suka dengan jawaban Maha namun, ia sadar diri karena sudah memancing perempuan ini. "Gak deh, gue mau sodaranya aja, ada kan ya? Kalau gak salah adik cowok yang paling muda namanya Caraka."

"Oh dia, gue udah ketemu sama dia. Orangnya asik, beda sama kakaknya yang selalu buat gue darting."

Keana tertawa kecil, meski masih tampak terganggu dengan pernyataan Maha sebelumnya. “Ya ampun, Caraka itu paket hemat banget sih. Gue denger dia santai, beda sama kakaknya yang kayaknya terlalu kaku.”

Maha ikut tersenyum tipis, nada suaranya berubah menjadi lebih ringan. “Iya, Caraka itu lumayan nyambung kalo diajak ngobrol. Beda banget sama Sastra yang suka ngatur ini-itu. Gue ngerasa lebih bisa jadi diri sendiri kalo ngobrol sama Caraka.”

Namun Maha tak berkeinginan membicarakan tentang Sastra maupun saudaranya. "Udah deh gak usah bahas mereka, gue lagi gak terlalu mood nih." Katanya yang sebenarnya Maha tengah mengamati Dylan, laki-laki itu juga turut mencuri-curi pandang pada Maha. Si perempuan yang sudah menarik perhatian Dylan kala berkenalan singkat tadi didalam kelas.

Dan Entah kenapa, ada sesuatu tentang Dylan yang membuat Maha tertarik, bukan dalam hal romantis, tapi lebih kepada potensi yang bisa ia gunakan. Memanfaatkan Dylan tampaknya akan menjadi bagian dari permainan itu.

•••

Maha tampak lebih diam hari itu, Sastra sendiri jadi dibuat bertanya-tanya, namun melihat istrinya mengantuk dan akhirnya tertidur, Sastra mengurungkan niatnya untuk membuka suara.

Dia mengingatkan tadi saat menjemput Maha. Sastra cukup dibuat tidak suka pada laki-laki  yang berbicara dengan istrinya di parkiran, walaupun dari jauh namun ia mengenal sosok putra bungsu dari keluarga Wironegoro yang kepindahannya sudah ia ketahui lebih dulu. Informasi itu jelas ia dapatkan dari keluarganya yang pindah dari Surabaya untuk tinggal dan menetap disini.

Sastra tidak terlalu memikirkannya lagi, ia tetap fokus menyetir dan kali ini tujuannya adalah untuk pulang kerumah, ia tidak akan membawa Maha ke kantornya karena Maha terlihat sangat kelelahan.

Sampai didepan rumah, Sastra segera membawa Maha masuk kedalam. Ia gendong tubuh ringannya beranjak menuju kamar perempuan ini. Sampai disana, Sastra meletakkan Maha dengan hati-hati diatas ranjangnya, tak lupa ia lepas sepatu yang masih dikenakan Maha, lalu menutupi tubuh istrinya dengan selimut hangat. Sesaat, Sastra hanya berdiri di samping ranjang, memperhatikan wajah Maha yang terlelap.

Ia menarik nafas dan pergi dari sana, Sastra akan kembali ke kantornya dan membiarkan Maha berisitirahat dirumah.

Maha tidur dengan pulasnya, tanpa sadar waktu sudah berlalu lebih dari satu jam. Tubuhnya yang lelah seolah menemukan sedikit kedamaian di balik selimut hangat yang tersemat ditubuhnya.

Tetapi kenyamanan itu tak lama hengkang kala Maha sadar bahwa ia tengah berada didalam kamar. Matanya perlahan membuka, menyesuaikan diri dengan pencahayaan kamar dari jendelanya. Maha mengerjap beberapa kali, berusaha memahami situasi. Perasaan bingung segera menyergapnya. “Kenapa gue ada di sini?” gumamnya pelan, berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya.

Maha mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, sesaat, ingatan tentang perjalanan pulangnya bersama Sastra tadi mulai kembali. Rasanya tidak mungkin dia sampai ke sini dengan sendirinya—Sastra pasti yang menggendongnya masuk.

"Kalau gini caranya gimana gue mau cicil hutang gue sama Sastra coba?!" Maha kesal pada dirinya sendiri terlebih ia memang sangat mengantuk tadi saat didalam mobil.

Pikiran itu membuatnya mendesah panjang.  Maha bangkit dari tempat tidur, merapikan selimut yang sedikit berantakan. Ia melangkah keluar kamar, mencari-cari tanda keberadaan Sastra, tapi yang ada hanya keheningan.

Maha kembali ke kamarnya, berjalan dengan langkah sedikit terburu. Sesampainya di kamar, ia langsung menuju meja belajar di mana tas sekolahnya tergeletak. Tangannya merogoh ke dalam, mencari-cari handphone yang sempat ia simpan disana.

Begitu layar menyala, Maha melihat beberapa notifikasi pesan masuk—kebanyakan dari grup kelas dan beberapa dari Keana. Namun, bukan pesan-pesan itu yang menarik perhatiannya. Maha menatap dua pesan dari nomor Sastra dan yang tidak dikenal.

Maha segera menghubungi Sastra, dari sana, pria itu segera mengangkat panggilan dari istrinya. "Lo tuh gimana sih Sas? Kok malah biarin gue tidur, padahal lo bangunin aja gue. Gue kan harus kerja buat lunasin hutang gue sama lo." Maha kesal sekali karena Sastra malah membiarkannya berleha-leha seperti ini, ia anggap Sastra sengaja melakukannya dan itu membuatnya begitu jengkel.

Sastra menjawabnya dengan tenang dari balik telepon, "hari ini kamu libur saja. Saya juga tidak akan potong gaji kamu," jawab Sastra dengan tenang dari balik telepon.

Maha mendengus kesal, "Hutang gue banyak, dan gue nggak mau makin berhutang budi sama lo."

Sastra menghela napas, mencoba menenangkan istrinya. "Besok saya tidak begitu lagi, tapi sekarang kamu saya liburkan. Sudah ya? Ada yang mau dibicarain lagi? Saya ada janji temu dengan seseorang Maha."

Maha berdecak jengkel, "gak ada!" Maha segera mematikan telepon, ia mulai berbeo kesal pada Sastra yang tentu tidak akan tahu dan bisa mendengar.

"Huft...dasar si merasa paling dominan!"

Maha teringat sesuatu, ia kembali membuka layar ponselnya untuk membuka pesan masuk dari nomor tidak dikenal yang saat ia buka ternyata dari Dylan, ia mengiriminya pesan singkat berisi perizinan untuk menyimpan kontak Maha.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!