"Lepasin om! Badan gue kecil, nanti kalau gue penyet gimana?!"
"Tidak sebelum kamu membantuku, ini berdiri gara-gara kamu ya."
Gissele seorang model cantik, blasteran, seksi mampus, dan populer sering diganggu oleh banyak pria. Demi keamanan Gissele, ayahnya mengutus seorang teman dari Italia untuk menjadi bodyguard.
Federico seorang pria matang yang sudah berumur harus tejebak bersama gadis remaja yang selalu menentangnya.
Bagaimana jadinya jika Om Hyper bertemu dengan Model Cantik anti pria?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta
Setelah kejadian itu, Gissele kembali ke kamarnya dengan wajah yang masih merah menyala. Ia mengunci pintu dan menjatuhkan diri ke kasur.
“Astaga… Om gila… kenapa sih harus cium-cium segala…” Gumamnya sambil mengubur wajah ke bantal.
"Aarghhh! Bibir seksi gue yang masih prawan dicium om-om!" Teriaknya panik Gissele sempat pergi ke kamar mandi untuk mencuci bibirnya berkali-kali.
Malam itu, Gissele gelisah. Berkali-kali membalik posisi tidur, memeluk guling, bahkan mencoba menenangkan diri dengan menonton video lucu.
Tapi semuanya gagal.. Yang terus terputar di kepalanya hanya ciuman itu dan wajah Federico yang senyum mabuk itu.
“Ya Tuhan, gue nggak bisa tidur…”
Pagi harinya, mata Gissele sembab dan kantung matanya seperti membawa beban hidup. Rambut acak-acakan, wajah kusut seperti gembel.
Meski semalaman tidak bisa tidur dan matanya sudah seperti panda, Gissele tetap memaksa bangun pagi.
“Gue nggak bisa terus-terusan ngelindur gara-gara om aneh itu… hidup gue masih panjang, tugas masih banyak!” Katanya sambil berdiri di depan kaca, melihat refleksi wajah sembab dan rambut awut-awutan.
"Gue harus mandi dan berangkat."
Setelah mandi kilat dan makeup seadanya, ia meraih tas dan keluar kamar—berjalan pelan-pelan, berusaha agar nggak ketemu siapapun, apalagi Federico.
Langkahnya ringan tapi penuh waspada, seperti misi rahasia. Dia melirik ke arah ruang tengah dan untungnya sepi.
Federico nggak ada. YES!
Tanpa sarapan dan tanpa suara, Gissele membuka pintu depan dan kabur, lalu memesan ojek online ke kampus.
Di atas motor, angin pagi menyapa wajahnya.
“Gue nggak mau ketemu om-om itu!”
Tapi, tak peduli seberapa jauh ia pergi, Gissele masih bisa merasakan bekas sentuhan bibir Federico di bibirnya sendiri. Dan itu… membuat wajahnya kembali memerah.
“Idih! Kenapa sih harus inget-inget lagi sih!”
Hari itu, Gissele hadir di kampus dengan mood campur aduk, wajah kusut, tapi tetap berusaha terlihat tegar.
Dan parahnya… notifikasi pesan dari Federico terus masuk.
Om m*sum: Nona dimana? Sudah sampai kampus? Kenapa pergi tanpa saya?
Gissele mendadak ingin melempar ponsel ke taman. Mau kemanapun ia pergi, pastinya pria itu selalu mencarinya.
...****************...
Di sidi lain, Federico panik saat mendapati Gissele nggak ada di rumah.
“Sudah kubilang… anak itu jangan keluar sendirian. Aduh nona, kalau kenapa-kenapa saya bisa gila,” gerutunya sambil langsung menyambar jaket dan kunci mobil.
Sementara itu, di kampus, Gissele duduk di kursinya dengan wajah kusut dan mata panda. Teman-temannya yang merasa aneh mulai bisik-bisik.
“Lho, Icel… itu mata lo kenapa kaya belum tidur tiga hari?” Tanya Lona penasaran.
“Eh… nggak papa, ini gara-gara ngerjain tugas numpuk aja,” Gissele tersenyum kaku.
“Luka di bibir lo tuh kenapa?” Celetuk yang lain sambil menunjuk samar ke bagian bibir Gissele.
Gissele langsung membeku, jelas sekali luka ini tidak dapat hilang dengan cepat
“Wah… lo diciumin Om Rico ya? Kenapa tuh? Ciumannya bringas banget kah?” Goda Zara sambil cekikikan.
Wajah Gissele memerah, ia jadi mengingat kejadian semalam. “Gue ke WC dulu ya!” Ujarnya buru-buru, kabur dari situasi itu.
Tapi saat di WC, saar ia melongok keluar jendela kecil… DEG!
“APA-APAAN?!”
Dari atap kampus, Federico berdiri sambil melambai heboh ke arah Gissele, memegang papan besar bertuliskan..
“Nona aman? Nggak ketemu mantan kan?”
“Orang gilaaa…” Bisik Gissele sambil wajahnya merah padam.
Ia buru-buru menghampiri pria itu, “OM! NGAPAIN DI ATAS SITU?! TURUN! NTAR KETAUAN SATPAM GUE KENA MASALAH LAGI!”
Federico tidak mendengar dengan jelas, ia menuliskan sesuatu lagi di papannya.
"Nona bicara apa? Hati-hati di belakang Nona ada dosen datang."
Gissele segera waspada dan langsung berbalik. Saat itu juga, Bu Dewi—dosen seksi seantero kampus muncul.
“Gissele? Kamu ngapain di sini?” Tanya Bu Dewi sambil menaikkan alis.
“Eh… anu Bu, saya lagi nyari barang. Barang penting… pemberian ayah saya,” Gissele ngeles cepat.
“Oh, yasudah. Nanti dicari lagi ya, kamu sekarang masuk kelas dulu. Pak Jefri lagi jalan ke kelas kamu.”
“Iya Bu. Siap.”
Bu Dewi pun berlalu, dapat diatasi Gissele dengan mudah. Saat itulah Gissele melirik ke atas… dan matanya langsung melotot lagi.
Di atas atap, Federico sedang menulis sesuatu di papan tulis itu dan mengangkatnya perlahan…
“Wow, dosen itu seksi sekali ya..”
“Najis!” Gissele merasa kesal membaca itu, ternyata dia tetap menjadi pria m*sun seperti biasanya. Entah kenapa ia merasa kesal. Pada akhirnya Gissele berbalik dan mengabaikan Federico.
Federico mulai panik dan memanggil Gissele dengan sedikit keras, "Nona mau kemana? Pembicaraan kita belum selesai!"
Gissele menggeram sambil mengacungkan jari tengah ke atas dan pergi begitu saja. Ia sama sekali tak ingin membalas pria itu, kepalanya sangat panas.
"Semua cowok emang sama aja!" Gerutunya lagi dengan kesal. "Bisa-bisanya dia cium gue terus masih mau mepet cewek lain?!"
“Jadi… Bu Dewi seksi, ya?” Gumamnya pelan sambil mengingat tulisan Federico di papan itu. Gissele berjalan ke kelas sambil menghentakan kakinya, ia merasa begitu kesal.
“Oh, jadi selera dia gitu? Kebangetan banget!” Desisnya pelan, kesal sendiri.
Gissele pun masuk kelas dan belajar seperti biasa hingga jam pulang tiba.
Federico sudah menunggu di depan gerbang dengan setelah anehnya, wig merah dan kacamata hitam.
Gissele tak menyapa, ia melengos saja dan duduk di kursi penumpang, masih dengan perasaan kesal. Sepanjang jalan, Gissele duduk di mobil dengan wajah cemberut. Ia terus memandangi layar ponselnya tanpa bicara.
Tidak biasanya, Federico merasa aneh dengan diamnya Gissele. Di perjalanan, Federico terus bicara sambil melirik ke arah gadis itu.
“Nona, saya khawatir loh. Nona ke kampus kok nggak bilang-bilang. Saya nyariin—”
Gissele tetap diam, memasang wajah cuek dan malah semakin asyik bermain ponsel.
Federico mendesah panjang, lalu tiba-tiba menghentikan mobil di pinggir jalan.
“Nona paham nggak apa yang saya bilang kemarin? Saya harus ada di dekat Nona dan Nona jangan keluar sendirian.”
Gissele akhirnya menoleh pelan dengan tatapan malas. “Ya, paham.”
Anak ini cuek sekali.. Apa moodnya sedang buruk? Atau saya ada salah? Federico menggaruk kepalanya dengan bingung.
“Apa hari ini ada jadwal pemotretan?” Tanya Federico mencoba mengalihkan.
“Lusa,” jawab Gissele datar, tanpa menoleh.
“Oke… pulang dulu aja, ya?” Tawar Federico.
Gissele tidak menjawab. Federico memutar kemudi pelan, sambil menghela nafas, memandangi gadis cantik yang sekarang sedang badmood.
Federico justru bingung setengah mati, ia merasa rindu dengan Gissele yang suka marah-marah.
Apa terjadi sesuatu kah..
Bahkan saat dirumah, Gissele masih enggan bicara. Ia mengurung diri di kamar, makan pun di sana. Federico hanya bisa menghela nafas dari ruang tengah sambil membaca buku yang tak benar-benar dibacanya.
Apalagi yang terjadi padanya, nggak biasanya dia begini.. Batinnya risau.
Sampai akhirnya sore menjelang, Gissele mendapat pesan dari temannya.
Lona : Cel, jangan lupa ya hari ini pesta ulang tahun Zara! Gue jemput lo jam 6 Sore
“Oh iya! Astaga…” Gissele terlonjak, hampir saja lupa karna moodnya yang buruk.
Segera ia bergegas mandi, skincare-an, lalu mulai merias wajah dengan tema pesta malam itu. Temanya itu pesta topeng dengan musik Jazz.
Gissele pun memilih dress hitam elegan yang sangat pas di tubuhnya. Bahannya jatuh, terbuka di bagian punggung, dan memberikan kesan dewasa yang menggoda.
Jam 6 sore, Gissele turun dari kamar dengan anggun, menuruni tangga sambil mengecek tas kecilnya.
Pembantu rumah yang melihat langsung terkesiap, “Aduh Non cantik banget… mau kemana nih?”
Gissele tersenyum dengan manis, "Ke ulang tahunnya Zara, Bi."
Tapi ada satu orang terpesona sekaligus terganggu. Federico, yang duduk santai di ruang tamu sambil memegang buku, langsung memicingkan mata. Matanya tak berkedip saat melihat Gissele turun dengan penampilan seperti itu.
“Cantik sekali…” Gumamnya pelan. Tapi nadanya bukan kagum. Lebih ke… khawatir bercampur jengkel.
“Nona mau ke mana malam-malam pakai baju… seperti itu?” Tanyanya, dingin.
Gissele menaikkan alis. “Bukan urusan Om.” Gissele masih merajuk dan enggan menjawab pertanyaan pria itu.
Federico berdiri pelan, lalu berjalan mendekat. “Apakah harus memakai pakaian… seterbuka ini?”
Ada rasa panas di dada Federico, begitu kesal apalagi melihat punggung gadis itu terlihat jelas.
Gissele melipat tangan. “Om ngatur?” balasnya sengit. “Udah ah, gue mau pergi. Temen gue mau jemput.”
TIINN!
Tepat saat itu, suara klakson mobil terdengar. Teman-teman Gissele sudah datang dan Gissele kembali melengos, melewati Federico.
Begitu pintu dibuka, terdengar jeritan yang kencang.
“GISELE ANJIR! SEKSI BANGET!!”
“Gila lo Cel, pantes Dion kelepek-kelepek sama lo!"
Gissele mendelik, "Hus! Jangan sebut-sebut dia lagi lah"
Federico berdiri mematung. Matanya menajam, rahangnya mengeras. Tangannya bahkan mengepal. Ia menatap Gissele yang tersenyum manis ke teman-temannya.
Pesta dimulai..
Gissele tampak begitu ceria di pesta Zara. Ia mengenakan dress seksinya. Wajahnya berseri, dipoles riasan halus yang bikin semua mata terpaku. Tak lupa, Gissele juga memakai topeng sesuai dengan tema pesta ini.
Begitu tiba, ia membawa kado kecil dalam paper bag berkilau dan disambut hangat oleh Zara.
“Eh ICEL!!!” Zara memekik sambil menepuk tangannya.
“Anjirr seksi banget temen gue satu ini! Lo tuh gila, Cel! Gilaaaa!” Seru Zara sambil menggandeng Gissele berputar.
Gissele tertawa, menepis-nepis pujian heboh dari teman-temannya.
“Udah, udah lebay banget!"
"Haha tapi tenang aja, Zar, gue nggak undang Dion kok—lo bebas ngacir ke dance floor sepuasnya!” Tambah Zara.
Pesta makin ramai. Musik berdentum, lampu disco berputar, dan para tamu saling berdansa.
Gissele awalnya duduk santai, menikmati minuman manis sambil mengobrol. Tapi saat lampu mulai diredupkan dan sesi dansa dibuka, suasana berubah jadi hangat dan menggoda.
Satu per satu tamu mulai berdansa dengan pasangan masing-masing.
Gissele hendak mengambil nafas di pojok ketika dari belakang seseorang berkata pelan, berat, dan dalam.
“Permisi… mau berdansa dengan saya?”
Ia menoleh. Pria bertopeng berdiri di belakangnya—tinggi, tegap, dan… suara itu. Gissele merasa familiar, tapi ia tak langsung yakin.
Suaranya mirip om m*sum itu.. tapi nggak mungkin kan dia kesini.. Batin Gissele curiga.
Pria itu mengulurkan tangan lagi.
“Maukah kamu berdansa dengan saya?”
Gissele ingin menolak tapi, teman-temannya—terutama Zara dan Lona sudah mendorongnya pelan dari belakang.
“Ayo dong, Cel! Seru-seruan aja! Udah, anggap ini Cinderella moment lo!” Seru Lona.
“Diterima aja! Liat tuh badannya, kekar berotot, mantep!”
Gissele menatap tangan itu. Detak jantungnya mulai tak beraturan.
Akhirnya, dengan sedikit ragu dan nafas pelan, ia menyambut tangan pria itu.
Jemari mereka bersentuhan dan terasa hangat. Mereka pun melangkah ke tengah lantai dansa, mulai bergerak pelan mengikuti irama, sementara pikiran Gissele… terus menebak-nebak.
Siapa sih dia? Kenapa jantung gue deg-degan kayak gini? Dan… kenapa perasaannya mirip banget kayak waktu deket sama Om m*sum itu…?
Mereka mulai berdansa perlahan. Lagu lembut mengalun, iramanya pelan namun menyentuh.
Langkah demi langkah, pria bertopeng itu memimpin Gissele dengan luwes. Tangannya kokoh menopang punggungnya yang terbuka, dan gerakannya—tidak kaku sama sekali.
“Hmm... kamu sangat cantik malam ini,” bisiknya rendah di telinga Gissele, suaranya dalam dan... tidak asing.
Gissele sedikit tersentak, matanya melirik ke wajah pria itu—meskipun tertutup topeng, suaranya terasa sangat familiar.
Tapi… mungkin hanya mirip. Gissele berpositif thinking jika pria itu tidak akan bisa masuk kesini. Dia juga tidak diundang.
“Gue kira lo orang yang kikuk ternyata jago juga dansanya.." Gumam Gissele, setengah menggoda.
Pria itu tersenyum samar. “Saya nggak terlalu mahir tapi, saya mengusahakan yang terbaik untuk gadis yang sangat cantik sepertimu.”
"Gombal banget."
Mereka terus berdansa, kaki mereka menyatu dalam ritme yang indah. Langkahnya selaras, bahkan sesekali berputar, membuat dress hitam Gissele berayun sempurna. Setiap gerakan terasa seperti mereka memang sudah terbiasa berdansa bersama.
Tangannya mulai naik, menyentuh lembut lengan Gissele, membuat gadis itu menelan ludah gugup. Punggungnya yang terbuka terasa hangat saat tangan pria itu menetap di sana lebih lama dari seharusnya.
“Lho, mereka romantis banget, ya ampun,” bisik Zara dengan senang.
“Bikin iri parah,” tambah yang lain.
Lampu-lampu redup, dan semua mata mulai menatap pasangan itu. Seolah panggung hanya milik mereka berdua.
Dan saat lagu mendekati akhir, pria itu menarik Gissele sedikit lebih dekat, memutar tubuhnya ringan, lalu menatap matanya dengan intens.
Gissele nyaris lupa bernapas. Duh jantung gue deg-degan banget anjir..
“Dari tadi kamu terlihat murung, apakah dansanya buruk?” Suara pria itu membuyarkan lamunan Gissele.
Gissele tersadar dan berkedip. “Ah, maaf… gue cuma lagi kepikiran sesuatu.”
“Apakah saya membosankan?” Tanyanya, nada suaranya ringan, tapi ada ketulusan di balik pertanyaan itu.
Gissele menarik napas panjang. “Nggak, gue suka kok dansanya cuman.. gue emang lagi punya beberapa masalah.”
“Mau cerita? Lagipula, kita juga enggak saling kenal, kan?” Senyumnya lembut, tapi ada yang dalam di baliknya.
Gissele mengangguk pelan, seolah-olah otaknya belum sepenuhnya yakin. Tapi pria itu benar, mereka juga tidak saling mengenal dan wajah mereka juga ditutupi topeng.
“Hari ini... perasaan gue kacau. Gue baru aja dicium sama orang yang gue benci.”
“Oh?” Suaranya terangkat sedikit, tapi tetap terdengar tenang. “Apakah dia mencium kamu dengan sadar?”
Gissele menggeleng. “Dia mabuk... dan kayanya dia bahkan nggak merasa bersalah. Malah sempat muji cewek lain.” Ia menunduk, suaranya bergetar karena kesal.
“Hahaha.” Pria itu justru tertawa
“Kenapa ketawa?” Tanya Gissele heran.
“Kamu terdengar… seperti orang yang sedang cemburu.”
“Nggak lah!” Elaknya sambil memalingkan wanah. “Bukan kaya gitu.”
Namun pria itu hanya tersenyum. “Kalau bukan, kenapa kamu kesal begitu saat dia memuji wanita lain? Itu namanya cemburu.”
Gissele menghela napas. “Gue juga nggak tau lagi. Perasaan gue belakangan ini aneh… jantung gue berdebar terus, gue susah tidur… rasanya nggak tenang kalau mikirin dia.”
Pria itu mengangguk pelan. “Sepertinya… kamu menyukainya.”
Gissele terkekeh kecut. “Mana mungkin? Orang tua itu kan... nyebelin dan gue benci banget sama dia.”
"Terus, kamu ingin dia bagaimana?"
Gissele mendengus kesal, "Ya tanggung jawab kek. Dia udah ngerebut first kiss gue tau, masa dia bisa enak-enakan sama cewek lain kaya nggak ngerasa bersalah!"
Saat lampu dinyalakan lebih terang, pria itu melepaskan genggaman, menatap Gissele dengan dalam.
Waduh, Gissele baru sadar jika dia mulai cerita secara berlebihan.
“Um makasih ya... udah dengerin cerita random gue,” ucap Gissele sambil hendak pergi.
Namun pria itu menahan tangannya. “Tunggu sebentar,” katanya pelan, lalu mendekat.
Wajah mereka hanya berjarak sejengkal, dan sebelum Gissele bisa berpikir lebih jauh, pria itu memegang pipinya dan..
Cup!
Tidak ada angin maupun hujan.. Pria itu mencium bibirnya secara tiba-tiba.
Gissele membelalak. “Eh—”
Dan saat pria itu melepas topengnya...
Mata Gissele membulat sempurna. “Om!” Jelas sekali, dia Federico. Pria yang sedari tadi Gissele bicarakan. Pria yang membuat perasaan gadis itu campur aduk.
“Jadi… mau saya tanggung jawab bagaimana, Nona?” Federico tersenyum nakal.
“Mau kita pacaran aja?” Tambah Federico dengan suara rendahnya.
..