NovelToon NovelToon
DI UJUNG DOA DAN SALIB : RENDIFA

DI UJUNG DOA DAN SALIB : RENDIFA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / Romansa / Office Romance
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24. SUAMI IDAMAN BANGET

Setelah mereka kembali ke kamar masing-masing, suasana apartemen menjadi hening. Mungkin mereka kembali tidur. Waktu baru sekitar setengah enam pagi. Biasanya, Renzo akan mandi sekitar jam tujuh, Yuda menyusul tak lama setelahnya.

Nadhifa melangkah pelan ke dapur, membuka kulkas, dan mulai mengeluarkan bahan masakan. Ayam, cabai, tomat, bawang, dan beberapa bumbu lainnya. 

Hari ini ia ingin memasak ayam rica-rica—sedikit pedas, karena ia suka rasa itu untuk mengalihkan rasa nyeri yang terus menghantui perut bagian bawahnya sejak subuh.

Ia mengenakan apron dan mulai menyiapkan semuanya. Tangannya bergerak otomatis memotong, mengulek, menumis. Aroma tumisan mulai menguar. 

Nyeri di perut datang dan pergi seperti gelombang kecil, tapi ia memaksakan diri bertahan. Ini bukan yang pertama kali ia merasakannya. Ia tahu ritmenya.

Sambil menunggu ayam empuk dan bumbu meresap, Nadhifa duduk di bar stool dekat meja dapur, menghirup teh hangat yang telah diseduh tadi. Ia membuka ponsel, mengakses email kantor, dan mengisi form cuti khusus perempuan—untuk hari pertama datang bulan.

Namun begitu hendak menekan tombol ‘kirim’, perutnya kembali berdenyut, kali ini lebih tajam. Tangan kirinya mulai gemetar saat memegang cangkir teh. Ia mencoba menahan, tapi terlambat.

PRANG!

Cangkir jatuh dan pecah di lantai, teh tumpah ke kaki, serpihan porselen terpental ke segala arah. Nadhifa reflek mundur, mengelus perut, nafasnya pendek.

“Astaghfirullahaladzim …,” bisiknya, mencoba menenangkan diri.

Kekacauan itu terdengar jelas. Dua suara langkah terburu-buru datang dari arah berbeda. Pintu kamar mereka terbuka nyaris bersamaan.

“Nadhifa?!” Suara berat Renzo terdengar duluan.

“Bunda?!” Yuda menyusul dari sisi lainnya.

Ia masih jongkok, mencoba memunguti serpihan cangkir sambil menenangkan diri. Renzo langsung menghampiri, meraih tangannya, menyingkirkan pecahan dengan cepat dan hati-hati.

“Udah, sini aku aja. Kamu duduk,” katanya tegas tapi penuh perhatian.

Yuda yang melihat ayam di atas kompor langsung bertindak. “Bunda, ini udah matang belum? Aku aduk, ya?”

Nadhifa mengangguk pelan, suara tak keluar. Tangannya masih sedikit gemetar. Yuda membuka tutup panci, mengaduk rica-rica yang sudah harum, lalu mematikan kompornya setelah mendapat isyarat jika sudah matang.

Renzo membantu Nadhifa duduk kembali di stool, tangannya tetap menggenggam tangannya. “Kenapa nggak bangunin aku?” tanyanya.

Nadhifa hanya tersenyum lemah. “Nggak mau ganggu kalian…”

“Ganggu gimana? Sakit gini tuh bukan urusan sendiri, Nadhifa,” gumam Renzo lembut sambil membelai punggung tangannya. “Kamu nggak sendirian lagi.”

Nadhifa menunduk, matanya panas, tapi menahan air mata agar tidak tumpah pagi-pagi seperti ini.

Sementara itu, Yuda dari dapur menyebut, “Bund, kalau butuh air hangat, aku siapin ya?”

Nadhifa mengangguk, kali ini dengan rasa hangat menjalari seluruh tubuh. Mereka datang. Dalam sunyi dan sakit, mereka datang. Ia tidak merasa sendiri lagi.

...***...

Nadhifa berdiri di ambang pintu apartemen, sweater hangat menutupi daster tidurnya. Udara pagi dari lorong luar tak terlalu dingin, tapi tubuhnya masih menggigil sedikit karena nyeri yang belum reda.

Di depannya, Renzo sudah mengenakan jas kerja rapi. Wangi parfumnya sempat menyelinap ketika ia berjalan mendekat. Di sisi lain, Yuda siap dengan tas ransel dan sneakers putih favoritnya.

“Aku anterin sampai basement aja ya.” Suara Nadhifa terdengar pelan, lebih sebagai ajakan daripada perintah.

Renzo menoleh, tatapannya serius. “Nggak usah. Kamu kan lagi nyeri, Sayang.”

Nadhifa membuka mulut ingin membantah, tapi Renzo sudah lebih dulu menatapnya penuh perhatian. “Kalau kamu maksa ikut, aku kerja remote aja hari ini. Biar bisa jagain kamu.”

Ia menghela napas panjang. “Mas…”

Alis Renzo terangkat, menantang. “Beneran. Aku bisa batalkan meeting, atau atur via Zoom.”

Nadhifa cepat-cepat menggeleng. “Jangan. Kamu ada meeting penting sama klien baru, ‘kan? Jangan dibatalin cuma karena aku begini.”

Yuda, yang selama ini diam, mendekat dan menggenggam tangan Nadhifa. Ia tunduk, mencium punggung tangannya penuh hormat. “Bunda istirahat ya. Nanti sore Yuda beliin susu coklat.”

Nadhifa tersenyum kecil. “Jangan lupa minum air putih juga di kampus.”

Renzo ikut mendekat. Kedua tangannya menahan wajah Nadhifa pelan, lalu mengecup keningnya lembut. “Kalau makin sakit, kabari aku. Aku pulang.”

Nadhifa mengangguk, kemudian menunduk, menyentuh punggung tangannya dan membalas kecupan. Salim pada suaminya, seperti biasa.

Mereka berjalan menjauh. Yuda sempat melambai dari ujung lorong. Renzo menoleh sekali lagi sebelum lift menutup.

Begitu pintu apartemen tertutup, Nadhifa bersandar sejenak. Gelombang nyeri di perut mulai datang lagi, tapi tarikan nafasnya tetap tertahan-tahan. Ia menggenggam bantal kecil dan memeluknya di atas perut.

Masih jam tujuh lebih sedikit. Sunyi, tapi sisa hangat dari kecupan Renzo dan genggaman tangan Yuda tetap menempel di hatinya.

Nadhifa meringkuk di sofa, berharap rasa sakit mereda. Tapi lebih dari itu, ia merasa bersyukur. Ada yang pergi bekerja dan kuliah dengan hati yang tetap tertinggal di rumah. Untuknya.

...***...

Universitas Alverio

Yuda duduk di pojok kafetaria, nampan berisi nasi ayam lada hitam dan segelas teh dingin sudah setengah habis. Bara di depannya masih asyik mengeluh tentang dosen galak yang suka salah input nilai.

“Gue udah ngumpulin tugas lewat email. Tapi katanya gue nggak ngumpulin. Gimana nggak emosi?” Bara mendengus.

Yuda hanya mengangguk-angguk sambil mengunyah. “Coba print out aja besok. Jadi bukti keras.”

Belum sempat ia angkat sendok lagi, seorang mahasiswi dari jurusan sama tiba-tiba muncul di sisi meja. Wajahnya tegang. Ia menggenggam kotak susu stroberi.

“Kak Yuda … ini buat Kakak,” ucapnya, nyaris bergetar.

Refleks Yuda menyambut. Tapi gadis itu, mungkin karena gugup, malah menekan kotaknya terlalu keras.

Crot! Susu merah muda itu muncrat, menodai kemeja putih Yuda.

Bara spontan tertawa, sementara gadis itu menutup mulutnya, menjerit kecil. “Maaf! Maaf banget!”

Yuda berdiri buru-buru. “Nggak apa-apa. Gue ke toilet dulu.”

Dengan dada lengket dan aroma stroberi menusuk hidung, ia menyelinap keluar kafetaria menuju toilet pria. Begitu mendorong pintu, telinganya menangkap suara lirih, nyaris seperti bisikan.

Dan saat masuk. Yuda tertegun.

Di sana, Arshen.

Berdiri kaku, wajah tegang, bahunya sedikit membungkuk. Seorang gadis menempel erat padanya, merangkul lehernya dengan paksa. Bibir gadis itu hampir menyentuh pipinya.

Namun mata Arshen jelas-jelas menunjukkan penolakan. Ia menoleh sekilas ke arah Yuda, tatapannya tajam—jangan tanya.

Yuda buru-buru mengalihkan pandangan, melangkah ke balik seakan tak melihat apa pun. Tapi telinganya tak bisa menutup dari suara gadis itu.

“Aku udah tungguin kamu dari tadi, Arshen. Kenapa sih kamu dingin banget?”

Ada hening. Lalu suara langkah terburu-buru. Gadis itu keluar, meninggalkan bau parfum menyengat di ruangan.

Yuda akhirnya menoleh. Arshen berdiri di dekat wastafel, merapikan kerah bajunya. Pandangan mereka bertemu lewat pantulan cermin.

“Lo nggak lihat apa-apa,” kata Arshen datar.

Yuda mengangkat tangan, setengah bersumpah. “Gue cuma mau cuci baju yang bau susu stroberi.”

Arshen mengangguk sekali. Tapi raut tegangnya tetap menempel.

Yuda mengambil tisu, membasahinya, lalu mulai mengelap noda merah muda di kemejanya. Bayangan mereka berdua terpantul di kaca. Satu cowok korban susu cewek, satu cowok korban sasaeng kampus.

Dalam hati Yuda membatin, “pantas aja Arshen jarang senyum. Ternyata hidupnya sama ribetnya kayak sinetron.”

1
Esti Purwanti Sajidin
syemangat kaka,sdh aq vote👍
Marsshella: Makasi semangatnya Kaka, makasi udah mampir ya. Selamat datang di kisah Renzo dan Nadhifa 🥰
total 1 replies
kalea rizuky
najis bgt tau mual q thor/Puke/ kok bs alarik suka ma cwok pdhl dia bersistri apakah dia lavender marrige
Marsshella: di Alunala Alaric dia udah tobat kok dan punya anak kesayangan. Ini giliran ceritanya si Renzo 😭😭😭😭😭
total 1 replies
kalea rizuky
njirr kayak g ada perempuan aja lubang ta.... *** di sukain jijik bgt
kalea rizuky
gay kah
Wina Yuliani
tah ge ing ketahuan jg brp umur.mu nak
Marsshella: dah jadi pria matang ya 😭
total 1 replies
Wina Yuliani
emangnya mereeka beda berapa tahun ya thor?
Marsshella: seumuran mereka 😄. Kakeknya Renzo tuh punya simpanan muda dan itu Nadhifa anaknya Kakek Renzo ... ikutin terus ceritanya, ya, ada plot twist besar-besaran 🥰
total 1 replies
Wina Yuliani
ternyata ada kisah cinta terlarang yg nambahin kerumitan hidup nih
Marsshella: ada plot twist ntar 🔥
total 1 replies
Wina Yuliani
baru baca tapi udah seru, keren
Marsshella: Welcome to kisah Renzo dan Nadhifa, Kak. Ikutin terus ceritanya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!