Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Dadakan – Klien Rewel
Pagi itu suasana kantor terasa sedikit lebih sibuk dari biasanya. Aldrich terlihat berbicara dengan nada rendah di telepon, wajahnya di tekuk seperti menahan kesal.
Audy yang baru saja menata beberapa dokumen di mejanya hanya bisa melirik tanpa mau bertanya, bukan takut, tapi Audy malas.
Beberapa menit kemudian, Aldrich menutup telepon dan berdiri tegap.
“Audy. Bersiaplah, kita akan berangkat dalam lima belas menit,” ucapnya datar.
Audy spontan menegakkan tubuh. “Ke mana, Pak?”
“Pertemuan dengan klien lama. Ia menolak menunda jadwal meskipun aku sudah menegosiasikannya sejak semalam.”
Nada suaranya terdengar sinis. “Aku butuh asisten pribadi yang bisa ikut mencatat dan—jangan terlalu banyak bicara.”
Audy mendengus pelan, tapi menuruti saja. Dalam hati ia bergumam, ‘baru satu minggu kerja, sudah dibawa perang.’
.....
Di dalam mobil, suasana seperti biasa: tegang dan senyap.
Aldrich memandang jalan, sementara Audy sibuk memeriksa file presentasi yang baru dikirim lewat email.
Ia tak tahan untuk tidak bertanya.
“Pak, klien kita ini… termasuk kategori ‘sulit’ kah?”
Aldrich menoleh sekilas, lalu menjawab dengan santai, “Kalau ada kategori ‘sulit luar biasa’, dia pemenangnya.”
“Bagus. Saya suka tantangan,” gumam Audy lirih.
“Dan saya suka orang yang tahu batas tantangan mereka,” balas Aldrich tanpa menoleh.
Audy mencibir dalam diam. Sarkas, level CEO.
....
Setibanya di lokasi pertemuan—Restoran Hotel.
Klien mereka, seorang pria paruh baya dengan logat bicara berapi-api, tampak langsung menyindir ketika Aldrich dan Audy tiba.
“CEO muda datang juga akhirnya. Saya pikir Anda terlalu sibuk menghitung saham untuk mengurus kontrak kecil ini.”
Aldrich tetap dingin. “Keterlambatan lima menit masih dalam batas sopan, Pak.”
Namun nada itu jelas membuat udara di meja makan mendidih.
Sepanjang pertemuan, Aldrich menahan diri untuk tetap formal, tapi si klien tampaknya menikmati permainan tensi tinggi itu.
Ia menuntut tambahan diskon, memotong penjelasan, bahkan melontarkan komentar sinis pada desain presentasi yang dibawa Audy.
“Siapa yang membuat rancangan visual ini? Terlalu muda untuk proyek besar seperti ini, bukan?”
Audy menunduk, tapi kemudian mendongak dan tersenyum.
“Benar, Pak. Tapi terkadang yang muda justru lebih cepat beradaptasi dengan selera pasar yang berubah. Kalau boleh, saya tunjukkan alternatif lain yang kami siapkan—mungkin bisa lebih cocok dengan karakter perusahaan Bapak.”
Klien terdiam sejenak, keningnya berkerut.
Aldrich menatap Audy sekilas—ada bayangan terkejut di wajahnya. Ia tidak memberi izin Audy bicara, tapi gadis itu sudah lebih dulu menyelamatkan situasi.
Audy lalu menunjukkan revisi yang belum sempat dibahas dalam rapat resmi—hasil kerja lembur diam-diamnya semalam.
Setelah melihatnya, si klien justru mengangguk-angguk.
“Hmm… ini jauh lebih masuk akal. Saya suka yang ini. Baiklah, saya pertimbangkan kontraknya lanjut.”
Aldrich menutup rapat dengan senyum tipis yang sangat jarang muncul.
“Terima kasih, Pak. Kami akan segera kirimkan versi finalnya.”
_____
Audy menatap keluar jendela, berusaha menahan tawa yang nyaris meledak.
Ia bisa merasakan aura Aldrich di sebelahnya—dingin, tapi anehnya tenang.
“Kenapa kau tidak bilang kalau sudah menyiapkan revisi?”
Nada suaranya tenang, tapi matanya melirik penuh tanya.
“Saya… tidak sempat lapor, Pak. Dan… saya pikir tadi situasinya mendesak. Saya improvisasi saja.”
“Improvisasi di depan klien besar,” Aldrich mendengus pelan. “Berani sekali kau.”
“Berani karena panik, Pak,” jawab Audy cepat.
Senyum tipis muncul di bibir Aldrich. “Ku rasa, itu keberanian yang patut dicatat.”
Audy melirik cepat, menahan senyum. “Apakah itu bentuk pujian?”
“Jangan terlalu cepat berasumsi, Audy. Tapi… mungkin aku tidak menyesal membawamu hari ini.”
Mereka berdua terdiam beberapa detik—udara mobil terasa hangat dengan canggung yang tidak ingin diakui.
Lalu Aldrich menambahkan, dengan nada setengah menggoda.
“Lain kali, beri tahu aku dulu sebelum kau menyelamatkan perusahaanku.”
.....
Kedua manusia yang hobi berdebat itu akhirnya tiba di kantor. Mereka jalan berdampingan, benar-benar bukan seperti CEO dan asisten.
Lift itu melaju seperti biasa—hening, hanya terdengar bunyi lembut mesin dan jarum angka yang berganti naik dari lantai ke lantai.
Audy berdiri di sisi kanan, memeluk map berisi berkas revisi kontrak, sementara Aldrich di sisi kiri dengan wajah datar khasnya, mata menatap lurus ke pintu logam.
Suasana awalnya biasa saja. Normal.
Sampai ting! terdengar bunyi aneh, lalu lift berguncang kecil.
Audy spontan menatap ke atas, “Eh… yang barusan itu apa?”
Aldrich menekan tombol open door—tak bereaksi.
Lalu close. Tak bergerak juga.
Angka di panel digital berhenti di “12”.
Lift diam.
Audy menegakkan tubuh, menatap sekeliling. “Pak… ini lift-nya kenapa?”
Aldrich sudah menekan tombol darurat, wajahnya tetap tenang.
“Tenang saja. Mungkin gangguan sistem. Akan segera menyala kembali.”
Namun lima detik… sepuluh detik… dua puluh detik berlalu.
Lampu di atas kepala berkelap-kelip sebentar, lalu padam setengah.
Audy menelan saliva.
Dada kirinya mulai terasa sempit. Tangannya mulai dingin.
“Kenapa… tidak ada udara?” suaranya bergetar.
Aldrich memalingkan wajahnya cepat, baru menyadari perubahan drastis pada ekspresi gadis itu.
“Hey, duduk dulu. Tarik napas pelan-pelan.”
“Pak, saya… saya tidak bisa—”
Suara Audy makin panik. Nafasnya tersengal, bahunya naik-turun cepat.
Aldrich langsung menekan tombol interkom, suaranya tegas, “Halo? Ada orang? Kami terjebak di lift 3B, lantai dua belas!”
Suara statis menjawab, “Baik, Pak Aldrich! Kami menuju ke sana!”
Namun bagi Audy, detik-detik itu terasa seperti jam.
Udara seolah menipis. Ia mundur menempel ke dinding, matanya mulai berkaca. “Saya—saya tidak bisa—saya… tidak bisa napas!”
Aldrich cepat menghampiri, melepaskan jasnya dan melingkarkan di bahu Audy.
“Lihat aku,” katanya tenang, menatap lurus ke matanya. “Tarik napas. Pelan-pelan. Ada aku di sini.”
Audy menggigil, wajahnya pucat. “Saya takut, Pak… saya—saya tidak suka ruang sempit…”
Napasnya semakin berat, tubuhnya gemetar hingga map di tangannya terjatuh.
Aldrich segera memeluknya—spontan, refleks, tanpa berpikir.
Satu tangannya menahan kepala Audy agar bersandar di dadanya, satu lagi menepuk-nepuk punggungnya pelan.
“Sudah, cukup. Kau aman. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku janji.”
Detik berikutnya, Audy kehilangan kekuatannya. Tubuhnya terkulai di pelukan Aldrich, pingsan.
Aldrich memeluknya lebih erat, membiarkan wajah Audy bersandar di bahunya.
Untuk pertama kalinya, Aldrich tidak peduli pada posisi, jabatan, atau citra.
Yang ada hanya napas pendek Audy yang semakin melambat, dan detak jantungnya sendiri yang ikut terburu.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara dari luar lift.
“Pak Aldrich! Kami akan buka pintunya sekarang!”
Lampu kembali menyala terang.
Audy masih di pelukannya, lemah, matanya masih terpejam.
“Sudah aman,” ujar Aldrich lembut. “Audy?”
Audy berusaha membuka matanya namun tak bisa.
Aldrich tersenyum samar, menatap wajah pucat di dekapannya.
Lift terbuka perlahan. Beberapa staf teknisi terpaku melihat pemandangan itu—CEO mereka membopong gadis galak itu dari dalam lift.
Audy benar-benar tak bertenaga, ia membiarkan Aldrich membawa tubuhnya.
Namun di dalam dadanya, ia tahu:
Itu bukan sekadar rasa cemas pada bawahan.
Ada sesuatu lain—sesuatu yang tumbuh diam-diam di antara rasa khawatir dan detak jantung yang saling menempel di lift tadi.