Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilema Dante!!!
Sudah begitu lama terjadi, tapi kenangannya masih menjadi bagian dari denyutan jantung. Sudah pasti aku juga menyimpan kenang-kenangan tetesan darah pertama itu di bilah kaca mikroskop.
Hal itu sering kulakukan. Si Suster Suci berjasa besar membukakan begitu banyak pintu-pintu keindahan. Mengantarku belajar dan menemukan banyak sekali hal-hal baru.
Kenapa pula seluruh rantai peristiwa yang kuhadapi sekarang seperti melecutku kembali ke mesin waktu? Yang jelas sekarang, aku butuh beraksi, membuat keputusan besar dan memulai tindakan-tindakan penting.
Tapi gara-gara nostalgia ini aku juga baru ingat tidak sempat mengambil kenang-kenangan dari Jonathan. Fatal sekali. Aku butuh kaca mikroskop itu. Kematian Jonathan akan sia-sia tanpanya.
Tidak lengkap.
Tidak ada bukti kerja berupa darah. Rasanya ingin membawa kapal jalan-jalan subuh. Mungkin cipratan air garam bisa menjernihkan kebodohan dari kepala.
Tapi aku malah bikin kopi.
Hhh... tidak dapat kaca mikroskop, ya lebih enak nongkrong dirumah saja sekalian. Tidak buruk juga, kok. Aku tersenyum mengenang jeritan tertahan Jonathan.
Dasar monster kecil gila aku ini. Belum pernah kejadian begitu sebelumnya. Bagus juga sekali-sekali bisa lepas dari rutinitas.
Lalu soal Abigail. Untuk yang satu ini aku tidak tau harus berpikir bagaimana, jadi tidak kupikirkan. Aku malah membayangkan geliat nyawa Jonathan, seorang kriminal tidak berguna yang hobi menyakiti anak kecil.
Sebenarnya hampir bisa jadi acara yang menyenangkan. Sialnya, sepuluh tahun lagi kenangan ini bakal lenyap. Apa lagi tanpa kaca mikroskop. Aku butuh suvenir itu.
Kita liat saja nanti.
Sementara menunggu kopi mendidih, aku membolak balik lembaran koran. Berharap beritanya sudah masuk.
Tidak ada koran, tidak apa. Toh aku tidak pernah tertarik mengikuti perkembangan petualanganku di media.
Tapi kali ini beda, karena aku telah melanggar aturan dengan bertindak gegabah dan kini aku cemas soal bersih tidaknya menghapus jejak.
Sekedar penasaran, apa kiranya komentar media. Jadilah aku duduk terdiam dengan secangkir kopi selama empat puluh lima menit sampai terdengar pengantar koran. Aku ambil koran itu dan segera kubuka.
Apa pun opini tentang wartawan atau jurnalis, dan percaya atau tidak, jumlah opini ini bisa setebal buku ensiklopedia kalau mau dikumpulkan.
Koran yang sama yang belum lama ini menghembuskan tajuk PEMBUNUH POLISI BERAKSI kini menjeritkan KISAH PEMBUNUH ES TELAH MELELEH!
Artikelnya dituturkan panjang dan indah, sangat dramatis, membeberkan detail penemuan sebuah mayat rusak di situs konstruksi di pinggiran Old River Road. "Juru Bicara Kepolisian Metro Shadowfall City", aku yakin yang di maksud pasti Sofia, menyatakan bahwa masih terlalu dini untuk memberi kepastian, tapi ada kemungkinan ini perbuatan copycat killer, pembunuh peniru.
Media lantas mengambil keputusan sendiri, dan bertanya-tanya apakah Henry Early, tersangka yang sekarang mendekam di tahanan adalah pembunuh yang asli atau tidak?
Kalau bukan, benarkah pembunuh sebenarnya masih berkeliaran, dengan bukti berupa penemuan mayat baru berkondisi identik? Lebih lanjut, media dengan sangat hati-hati mengajukan logika berikut: bagaimana mungkin ada dua pembunuh serupa bisa berkeliaran bebas dalam waktu yang sama?
Meskipun harus di akui pemberitaan ini punya bobot bacaan yang menarik. Aku jadi ikutan berspekulasi. Mungkinkah binatang gila itu masih berkeliaran bebas? Tidak ada lagi yang namanya aman.
Telepon berdering. Kulirik jan dinding, jam enam lewat empat puluh lima. Pasti Nadia.
"Aku sedang membaca beritanya sekarang." Jawabku di telepon.
"Kamu bilang bakal lebih heboh." Ketus Nadia.
"Yang ini tidak?" Tanyaku polos.
"Yang ini bahkan bukan pelacur. Cuma pesuruh sekolah paruh waktu dari SMP, dicincang di lokasi konstruksi. Apa-apaan, Dante?"
"Yah, aku kan tidak selalu benar, Nad."
"Polanya juga tidak cocok... mana elemen dingin yang kamu bilang bakal ada? Ruang sempitnya mana?"
"Ini kan Shadowfall City, Nad. Apa saja bisa dicuri orang."
"Pembunuh tiruan juga bukan. Sama sekali tidak mirip korban yang sudah-sudah. Bahkan Sofia juga paham itu... sampai di tulis di koran pula. Berengsek. Pantatku jadi taruhan! Ini cuma tindakan acak atau berkaitan dengan narkoba."
"Jangan salahin aku dong."
"Ya ampun, Dante!" Teriak Nadia, lalu membanting telepon.
Siaran TV pagi menampilkan kilasan sembilan puluh detik penemuan mengejutkan tubuh tercincang Jonathan. Tapi tidak ada hal baru atau lebih banyak dari apa yang sudah ditulis di koran.
Semua membiaskan kemarahan dan kemurungan yang bahkan terbawa sampai acara ramalan cuaca.
Satu lagi pagi hari yang indah di kota Shadowfall City tercinta. Penemuan mayat tercincang yang di akhiri dengan mandi tengah hari. Aku bersalin pakaian dan pergi kerja.
Berharap tiba cukup awal di kantor, dan seperti biasanya bisa mendahului Haruki Takahashi. Kupindai area kerjanya dengan cepat, mencari kotak barang bukti berlabel Jonathan bertanggal hari kemarin.
Dapat. Segera kusambar beberapa lembar sampel jaringan. Cukuplah. Kupasang sarung tangan lateks dan kuselipkan sampel itu ke kaca mikroskop.
Persis saat menyelipkan benda itu ke kantong plastik ziplock, terdengar derap kaki Haruki di koridor. Lekas kukembalikan semua barang ke tempatnya, lalu berputar saat Haruki Takahashi membuka pintu.
"Astaga. Kamu bergerak tanpa suara begitu. Ternyata benar kan kamu pernah latihan ninja, ya?" Kataku.
Ku acungkan kantung kertas putih berisi kue sambil membungkuk. "Master, saya bawa oleh-oleh."
Penasaran dia melihat ke arah kantong. "Hadiah apa kiranya?"
Kulemparkan kantong itu. Tepat menghantam dadanya dan jatuh ke lantai.
"Begitu saja latihan ninjanya." Aku berkomentar.
"Butuh siraman kopi sebelum tubuh seperti bergerak luwes. Apa isinya? Dadaku sampai sakit. Ini bukan potongan tubuh kan? Terima kasih. Utang yang terbayar adalah berkah bagi kita semua." Ujar Takahashi.
"Bicara soal utang. Kamu punya berkas tentang korban yang di temukan di Old River tadi malam?"
Haruki menggigit roti. "Mmmpp, merasa ditinggalkan ya?"
"Maaf master. Maksudnya apa?" Tanyaku.
Haruki mengunyah dan menelan. "Setidaknya kali ini ada banyak darah. Tapi kamu tetap tidak terpakai. Brandon yang tangani analisis darah."
"Boleh aku lihat berkasnya?"
Haruki menelan. "Korban masih hidup saat kakinya dipotong."
Kusambar berkas itu.
"Aku pergi dulu. Sebelum kamu bicara aneh lagi."
"Dari tadi dong," usir Haruki ceria.
Aku berjalan lambat-lambat kembali ke ruang kerja, sambil membaca berkas. Gervasio Martinez yang menemukan mayat korban. Pernyataannya diletakkan paling atas.
Dia seorang satpam yang disewa oleh perusahaan Sistem Keamanan Sago. Telah bekerja selama empat belas bulan dan tidak punya catatan kriminal. Gervasio menemukan mayat pada jam sepuluh lewat tujuh belas malam dan segera melakukan pencarian kilat sekeliling area sebelum menghubungi polisi.
Katanya ingin menangkap si keparat pelaku yang tega berbuat keji, apalagi saat dia bertugas. Rasanya seperti menjadi si korban itu sendiri, begitu dia bilang.
Dia jadi ingin menangkap monster pelakunya. Tapi jelas tidak mungkin. Tidak ada tanda-tanda kehadiran si pelaku di mana pun. Jadilah dia memanggil polisi.
Aku berkelok masuk bilik kerjaku yang sempit dan gelap, nyaris bertubrukan dengan Detektif Sofia.
"Heh, kok kamu kusut sekali." Sapanya garing, tanpa menyingkir dari jalan.
"Maklumlah, aku bukan jenis manusia pagi. Bioritmikku baru aktif saat tengah hari." Jawabku.
Dari jarak sekitar dua senti dia mengamatiku. "Tampaknya bagus-bagus saja kok."
"Kontribusi apa kiranya yang bisa saya sumbangkan bagi penegakan keadilan pagi ini?" Tanyaku berbasa-basi, setengah bercanda.
"Kamu dapat apa soal kasus tadi malam?" Tukasnya tiba-tiba.
Kuacungkan berkas Haruki. "Baru saja aku lihat. Belum sempat berpikir banyak."
"Kasus kali ini beda. Tidak peduli apa kata reporter-reporter sialan itu. Yang jelas Henry Early bersalah. Dia sudah mengaku. Kasus kali ini beda."
"Tampaknya memang seperti kebetulan, ya? Dua pembunuh brutal pada saat bersamaan."
Sofia angkat bahu. "Ini kan Shadowfall City. Mau bagaimana lagi? Kota ini memang tempat berlibur orang-orang seperti itu. Banyak penjahat di luar sana. Tidak mungkin kutangkap semua."
Aku menyengir masam dalam hati. Yang benar, memang tidak mungkin dia menangkap seorang pun, kecuali mereka melempar diri dari gedung dan mendarat di kursi depan mobilnya.
Sofia melangkah mendekat, menjentik ujung map dengan kukunya. "Temukan sesuatu dalam berkas ini, Dante. Tunjukkan bahwa kedua kasus ini memang beda."
"Tentu saja beda. Tapi kenapa minta bantuanku?"
Lama dia menatapku. "Aku izinkan kamu ikut pertemuan tujuh puluh dua jam. Daniel pasti bakal mencak-mencak, tapi peduli amat."
"Terima kasih banyak."
"Kamu tau kenapa? Banyak yang bilang kamu punya firasat bagus untuk kasus-kasus pembunuhan berantai macam ini, Dante."
"Oh, begitukah? Hanya tebakan mujur saja kok, sesekali."
"Selain itu, aku juga butuh bantuan orang lab."
"Kalau begitu, kenapa tidak minta bantuan Haruki?"
"Dia tidak cukup imut. Kamu usahakan yang maksimal ya."
Jarak antara kami masih begitu dekat sampai aku bisa mencium bau samponya.
"Baik," Aku mengangguk.
Tidak lama setelah Sofia pergi, ada pesan masuk ke ponselku.
~"Hai, Dante. Hmm... aku teringat kejadian semalam. Telepon aku, ya."~
Sepertinya aku punya pacar sungguhan sekarang.
Kapankah kegilaan ini akan berakhir?