Wulan Candramaya, seorang gadis belia yang terpaksa turun gunung atas permintaan bapaknya untuk menikah dengan seorang penguasa dari istana Nagari. Juragan Nataprawira, laki-laki dewasa yang berwajah tampan, tapi terkenal dengan kekejamannya.
Laki-laki berusia tiga puluh lima tahun, memiliki tiga orang istri dan satu orang anak. Wulan adalah istri keempatnya, istri tebusan hutang bapaknya.
Wulan dibuang ke gunung Munding sejak kematian sang ibu oleh bapaknya sendiri. Gunung yang tak terjamah oleh manusia dan konon dihuni oleh para demit. Wulan setuju menikah hanya untuk mengungkapkan misteri kematian sang ibunda tercinta.
Bagaimana Wulan menghadapi intrik licik dari para istri juragan di istana itu? Misteri apa saja yang Wulan temukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
"Benarkah begitu? Jangan lupa Anda masih mempunyai hutang kepada saya. Saya datang ke sini untuk mengambil apa yang sudah menjadi hak saya," tegas Wulan tak gentar meski bapaknya telah datang.
"Anak durhaka! Memangnya kamu lahir sendiri ke dunia ini, hah?" bentak Asep berapi-api, matanya merah menyala, emosi memenuhi kepalanya.
Bi Sumi bereaksi, tapi Wulan mencegahnya. Ia bisa mengatasi Asep sendiri. Wulan mengeluarkan kertas dari selipan pinggang, membentangnya di hadapan Asep.
"Hitam di atas putih dengan cap darah ini ... jangan sampai kamu lupakan. Saya bisa membawa ini ke hadapan tetua adat kalau kamu masih mau mengelak," ujar Wulan menunjukkan kertas polos yang kemarin diberi cap darah oleh Asep dan sekarang telah berisi tulisan tangan Wulan sendiri.
Asep membeliak, hatinya bergetar. Jika sampai ke pengadilan tetua adat maka ia dan keluarganya akan menjadi bahan olokan semua warga. Diasingkan dan tidak diakui selamanya.
"Bacakan, Bi!" titah Wulan kepada Bi Sumi.
"Baik, Nyai!" Bi Sumi mengambil kertas dari kulit binatang itu dan bersiap membacanya.
"Saya Asep, dengan darah saya memberikan tanah warisan Dewi--mendiang istri saya kepada satu-satunya anaknya yaitu Wulan Candramaya secara sukarela. Jika saya tidak memenuhinya maka saya bersedia menerima hukuman adat yang berlaku."
Deg!
Asep menegang, begitu pula dengan Patma dan Sari. Sumpah di dalam tulisan itu artinya menyerahkan nyawa sendiri jika bertolak belakang dengan isi di dalam surat.
Bi Sumi menyerahkan surat itu kembali kepada Wulan untuk disimpan. Senyum jahat tersemat di bibir gadis yang memiliki lesung di pipi itu.
"Kamu!" Telunjuk Asep bergetar, jantungnya terasa nyeri, napas menjadi sesak, kepala pening, penglihatan pun mengabur.
Ia ambruk di kursi sembari memegangi dada kirinya yang terasa sakit. Wajahnya pucat pasi, penyesalan mendalam ia rasakan di hati.
"Bapak!" Sari berteriak, berhambur mendekati Asep.
"Akang!" Disusul Patma yang terlihat cemas karena keadaan suaminya.
"Sebaiknya segera berikan akta tanah itu kepada saya hari ini juga. Jika tidak, maka saya akan membawa surat ini ke rumah tetua adat. Saya tidak ingin menunda lagi," ujar Wulan tegas.
Ia tidak peduli dengan keadaan Asep meski terlihat kesulitan bernapas. Dadanya kembang kempis memompa udara untuk menghilangkan sesak. Wulan tidak peduli sama sekali.
"Wulan, kamu tidak lihat Bapak kamu sudah seperti ini!" bentak Patma diiringi air yang berjatuhan dari kedua matanya.
"Siapa peduli! Bukankah seharusnya kemarin kalian menyerahkannya kepada saya? Kenapa harus menunggu saya datangi?" ucap Wulan membuat Patma bungkam.
Dengan tangan bergetar, Asep mengeluarkan sebuah dokumen kuno dari dalam kemejanya.
"Be-berikan, agar dia cepat pergi!" ucap Asep dengan suara lirih dan tersendat-sendat.
Patma menerima akta itu, memberengut tak rela. Tanah warisan ibu Wulan adalah sebagian besar harta yang mereka miliki. Kehidupan mereka selama ini adalah dari mengandalkan tanah itu, tapi sudah beberapa tahun mereka gagal panen. Asep dan Patma berniat untuk memberikan tanah itu kepada juragan sebagai tebusan hutang.
Namun, juragan menolak dan lebih memilih menikahi anak perempuan Asep. Maka pilihan jatuh pada Wulan, sebagai putri sulung dari Asep.
Dengan enggan Patma menyerahkan akta tanah itu kepada Wulan, tanpa menoleh. Terlalu muak melihat wajah Wulan yang tidak memiliki hati nurani. Bi Sumi mengambil akta itu atas perintah Wulan, memeriksa dengan saksama dan kemudian menganggukkan kepala.
"Cepat pergi dari sini! Kami tidak menerima kamu di rumah ini!" usir Patma menahan tangis.
"Pergi! Jangan biarkan saya melihat wajah kamu!" Asep turut berucap, betapa bencinya ia kepada Wulan. Entah apa yang telah dilakukan Wulan sampai Asep membencinya hingga ke tulang.
"Tidak semudah itu mengusir saya. Saya masih harus menuntut kalian!" ucap Wulan membuat ketiganya melotot.
"Apa lagi yang kamu inginkan?" Sari berteriak lantang.
"Tenang! Simpan tenagamu untuk nanti. Saya ...."
kita sambung esok🤭😅