NovelToon NovelToon
JAGAT ROBOHERO INDONESIA

JAGAT ROBOHERO INDONESIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Balas Dendam
Popularitas:406
Nilai: 5
Nama Author: morro games

Di tengah reruntuhan kota Jakarta yang hancur, seorang pria tua berlari terengah. Rambutnya memutih, janggut tak terurus, tapi wajahnya jelas—masih menyisakan garis masa muda yang tegas. Dia adalah Jagat. Bukan Jagat yang berusia 17 tahun, melainkan dirinya di masa depan.

Ledakan menggelegar di belakangnya, api menjilat langit malam. Suara teriakan manusia bercampur dengan derap mesin raksasa milik bangsa alien. Mereka, penguasa dari bintang jauh, telah menguasai bumi dua puluh tahun terakhir. Jagat tua bukan lagi pahlawan, melainkan budak. Dipaksa jadi otak di balik mesin perang alien, dipaksa menyerahkan kejeniusannya.

Tapi malam itu, dia melawan.

Di tangannya, sebuah flashdisk kristal berpendar. Tidak terlihat istimewa, tapi di dalamnya terkandung segalanya—pengetahuan, teknologi, dan sebuah AI bernama Nova.

Jagat tua menatap kamera hologram di depannya. Wajahnya penuh debu dan darah, tapi matanya berkilat. “Jagat… kalau kau mendengar ini, berarti aku berhasil. Aku adalah dirimu

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon morro games, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak di balik dermaga

Fajar baru saja menyingsing di langit Jakarta. Cahaya keemasan menembus sisa kabut yang masih bergelayut di kawasan pelabuhan. Bau mesiu masih samar terasa, bercampur asin laut dan aroma besi terbakar. Di beberapa titik dermaga, garis polisi sudah dipasang, menutup akses bagi wartawan dan warga yang penasaran. Namun meski berita resmi hanya menyebut “gangguan kriminal bersenjata”, semua orang tahu ada sesuatu yang jauh lebih besar telah terjadi semalam.

Di ruang bawah tanah Istana, rapat darurat kembali digelar. Presiden Bowo Subianto duduk di ujung meja panjang, ditemani Menhan Prasetya Wibawa, Kepala BIN Surya Dirgantara, serta perwakilan TNI dan Polri. Wajah-wajah tegang memenuhi ruangan.

“Kesimpulan sementara?” tanya Presiden, suaranya berat.

Kepala BIN menghela napas. “Pak Presiden, jelas bahwa insiden tadi malam bukan sekadar kriminal lokal. Kami menemukan bukti keterlibatan agen asing, kemungkinan besar dari CIA dan MSS. Mereka berinteraksi dengan kelompok Bara Hitam untuk operasi penculikan target.”

“Target siapa?” tanya Menhan.

Kepala BIN menunduk sejenak, lalu menjawab pelan. “Belum bisa disebut nama, Pak. Tapi mengarah pada pihak yang berkaitan dengan riset almarhum Prof. Baskara.”

Ruangan hening. Semua orang tahu betapa sensitifnya kalimat itu. Presiden akhirnya menutup berkas di depannya. “Saya tidak ingin spekulasi bocor keluar. Fokus kita hanya satu: lindungi keluarga Baskara, apapun harga yang harus dibayar. Publik tidak boleh tahu.”

Para pejabat mengangguk. Perintah sudah jelas.

 

Di tempat lain, jauh dari hiruk pikuk rapat negara, Jagat duduk sendirian di kursi kokpit Arka One. Lampu neon kebiruan dari panel kontrol menyinari wajahnya yang letih. Pandangannya kosong menatap layar holografik yang masih menayangkan rekaman semalam—ledakan, dentuman peluru, dan robo 1.0 yang beradu di dermaga.

Nafasnya berat. Untuk pertama kali, ia menyaksikan pertempuran berskala militer nyata, bukan sekadar simulasi. Tubuhnya masih bergetar, bukan karena takut semata, tapi karena sadar ia berada tepat di tengah pusaran besar yang dulu hanya ia dengar dari cerita ayahnya.

Suara tenang Nova memecah keheningan.

[Nova]: “Rekaman dermaga sudah selesai dianalisis. Ingin saya tampilkan laporan detailnya?”

Jagat mengangguk lemah. “Ya, tunjukkan.”

Hologram berubah. Data visual memenuhi ruangan: grafik performa, diagram senjata, dan proyeksi kekuatan. Nova memaparkan dengan nada datar.

[Nova]: “Unit Robo 1.0 milik Brimob dan TNI cukup solid dalam formasi bertahan. Namun, kecepatan reaksi mereka masih kalah dibanding unit Bara Hitam. Penggunaan senjata otomatis belum maksimal—banyak tembakan meleset karena sistem targeting out-dated.”

Celine menimpali, suaranya lebih “hidup”, ada nada kecewa.

[Celine]: “Bukan hanya itu. Amerika dan Cina jelas lebih maju. Unit CIA menggunakan model Hybrid R-05 dengan integrasi senjata modular. MSS membawa varian Stealth Scout yang mampu menyusup tanpa terdeteksi radar lokal. Pemerintah Indonesia tertinggal dua langkah.”

Jagat menghela napas. “Lalu apa artinya semua ini buatku?”

Nova menampilkan grafik baru—garis merah melambung tinggi.

[Nova]: “Kesimpulan sederhana: jika kau bertemu musuh setingkat CIA atau MSS, Iron Suit 1.1 yang sekarang kau miliki hanya unggul karena teknologi Nova. Namun tanpa strategi, kau akan kalah jumlah.”

Celine menoleh padanya—seolah benar-benar menatap, meski hanya proyeksi.

[Celine]: “Jagat, kau tidak bisa lagi berpura-pura jadi mahasiswa biasa. Mereka tidak akan berhenti. Keluargamu sudah jadi taruhan. Kau harus memilih, apakah tetap sembunyi… atau mulai melangkah.”

Jagat terdiam. Dadanya sesak. Kata-kata itu menusuk.

Beberapa jam kemudian, Jagat pulang sebentar ke rumah. Pagi itu sederhana—ibu sibuk menyiapkan sarapan, Nadia masih setengah mengantuk tapi tak bisa lepas dari ponselnya. Namun ada perbedaan: dua pria berpakaian sipil tampak duduk di teras, jelas bukan tamu biasa. Jagat tahu mereka dari Tim Angsa, meski ibunya mengira mereka sekadar “pegawai pemerintah”.

“Gat, kamu pulang? Kok wajahmu pucat sekali,” sapa Bu Ratna lembut.

Jagat tersenyum hambar. “Cuma kurang tidur, Bu.”

Nadia langsung nyeletuk, “Ih, Kak, jangan-jangan kamu lagi trending tuh yang di berita semalam? Misterius banget loh, katanya ada ‘bayangan hitam’ di dermaga.”

Jagat tercekat. “Eh, apaan sih, Dek. Mana ada. Itu pasti editan.”

Ibu ikut menyahut, nadanya khawatir. “Jagat… kamu harus hati-hati. Kota ini makin aneh akhir-akhir ini. Jangan ikut-ikutan macam-macam, ya.”

Jagat hanya mengangguk. Dalam hati, ia tahu kebenaran terlalu berat untuk dibagi.

Malam menjelang. Di dalam Arka One, Nova memutar ulang data. Celine berdiri di samping Jagat, hologramnya tampak seperti android wanita berwajah tegas.

[Nova]: “Rangkuman akhir: Indonesia mampu bertahan, tapi jika musuh asing serius, mereka akan kalah. Dan kita—kau, aku, dan Celine—akan jadi target utama.”

[Celine]: “Aku menyarankan segera mempercepat pengembangan modul Switch. Minimal Wing Pack untuk mobilitas udara. Tanpa itu, kau hanya target berjalan.”

Jagat mengepalkan tangan. Ia menatap layar, wajahnya bercermin di hologram merah. “Kalau begitu, ayo kita mulai. Aku tidak akan biarkan semua ini jadi sia-sia.”

Lampu kokpit berpendar lebih terang, seolah ikut menyetujui keputusan itu.

Rumah kontrakan sederhana keluarga Baskara kembali tenang setelah semalam penuh rahasia. Bu Ratna duduk di ruang makan sambil menyiapkan teh hangat. Wajahnya masih menyimpan kelelahan, tapi ada senyum kecil ketika melihat Nadia sibuk membuka bungkusan belanja yang dibawa Jagat kemarin.

“Ih, Kak, mana kosmetik sama laptop baruku? Katanya ada uang banyak,” Nadia mengomel sambil mengaduk-aduk isi kantong plastik.

Jagat yang baru turun dari kamar menepuk kepala adiknya. “Hei, dasar tukang protes. Itu semua buat kebutuhan rumah dulu. Kalau kamu mau laptop, nanti aku pikirkan. Tapi jangan sekarang, kita harus hemat.”

Nadia mendengus. “Peliiiit! Padahal Kakak kayaknya sudah jadi crazy rich baru. Jangan-jangan beneran main judi online.”

Jagat melotot. “Dek, sumpah… kalau aku sampai main judi online, biar aku disambar petir Nova.”

Dari Arka One, suara Nova tiba-tiba masuk ke earpiece Jagat.

[Nova]: “Aku tidak merekomendasikan taruhan apapun, Jagat. Statistik peluang menangmu di bawah 1%.”

Jagat hampir tersedak roti. Ia buru-buru batuk dan melotot ke udara kosong, seolah Nova duduk di meja makan. “Nova, bisa nggak jangan nyamber di waktu salah begini?!”

Nadia dan Bu Ratna hanya saling pandang. “Eh, Kak, ngomong sama siapa? Jangan-jangan ada pacar virtual ya?” Nadia menyeringai nakal.

Jagat buru-buru berdiri. “Sudah-sudah. Aku berangkat kuliah. Jangan bikin gosip aneh!”

Kampus hari itu riuh. Berita tentang keributan di pelabuhan sudah menyebar, meski diberitakan sebagai “aksi terorisme lokal”. Banyak mahasiswa membicarakan, bahkan jadi bahan meme di grup kelas.

Jagat berjalan ke kantin, lalu disambut Bimo yang sudah melambaikan tangan. Di meja duduk juga Ardi, Satria, Yudha, dan Rani. Untuk pertama kalinya sejak lama, keenam sahabat ini kumpul lengkap.

“Eh, Jagat! Duduk sini. Kita lagi bahas insiden semalam. Gila banget, bro. Katanya ada robot-robot tempur,” kata Bimo bersemangat.

Satria menimpali dengan nada skeptis. “Ah, itu mah lebay. Palingan cuma hoaks biar berita rame.”

Yudha yang lebih kalem membuka ponselnya. “Nggak juga. Lihat nih, ada video bocor. Beneran kayak mecha perang.”

Jagat berusaha menahan ekspresi. Ia ikut duduk, tapi dalam hati tegang. Rani, yang biasanya peka, menatapnya curiga.

“Gat, kamu kok pucat? Jangan-jangan kamu ada di sana semalam?” tanyanya.

Jagat buru-buru mengelak. “Aku? Nggak lah. Aku di rumah. Mana mungkin aku jalan-jalan ke pelabuhan tengah malam.”

Ardi tertawa. “Kalau Jagat jadi robot tempur, aku ikut jadi sidekick-nya deh. Bisa dong?”

Suasana pecah dengan tawa. Jagat ikut tertawa, meski hatinya mencekam.

Di pojok kantin, seorang pria asing duduk sambil membaca koran. Pakaiannya rapi, mirip dosen tamu, tapi sorot matanya tajam. Di telinga kirinya terpasang earpiece kecil. Sesekali ia melirik ke arah Jagat.

Nova segera memberi peringatan di kepala Jagat.

[Nova]: “Jagat, perhatikan jam dua arah. Pria itu bukan mahasiswa, bukan staf kampus. Sinyal komunikasinya terhubung ke jaringan luar negeri.”

Jagat menyamarkan ekspresi, berpura-pura mengunyah gorengan. “Agen asing?” bisiknya pelan.

[Nova]: “Kemungkinan besar. Berdasarkan identifikasi wajah, cocok dengan database MSS.”

Jagat menelan ludah. Tubuhnya tegang. Ia tahu sejak rapat pemerintah, ia pasti jadi target. Tapi melihat agen asing duduk sepuluh meter darinya, di kampus sendiri—itu membuat ancaman terasa nyata.

Sementara itu, pria itu menyentuh earpiece-nya, berbicara lirih dalam bahasa Mandarin.

“Aku sudah menemukan target. Mahasiswa laki-laki, duduk bersama lima orang teman. Konfirmasi identitas… sesuai profil.”

Jagat mencoba tetap santai. Ia tersenyum pada sahabat-sahabatnya, ikut bercanda seolah tidak ada apa-apa. Namun otaknya bekerja cepat. Haruskah ia pergi? Atau menunggu?

Celine muncul di layar kacamata AR-nya, hanya bisa dilihat Jagat.

[Celine]: “Jagat, sebaiknya segera meninggalkan area. Aku bisa memanggil Tim Angsa Emas untuk pengawalan.”

Jagat menjawab lirih. “Belum. Kalau aku kabur, dia makin yakin. Aku harus pastikan apa yang mereka mau.”

Saat itu, pria asing berdiri. Ia melangkah perlahan ke arah meja Jagat. Jantung Jagat berdegup makin kencang.

“Permisi,” suara pria itu datar tapi sopan, dalam bahasa Indonesia dengan aksen asing. “Kamu Jagat, bukan?”

Sahabat-sahabatnya menoleh ke Jagat, bingung.

Jagat menarik napas. “Ya, saya Jagat. Ada perlu apa?”

Pria itu tersenyum tipis. “Saya ingin bicara sebentar. Hanya sebentar saja. Ini penting.”

Suasana meja mendadak sunyi.

Pria asing itu menarik kursi dan duduk di depan Jagat. Senyumnya ramah, tapi sorot matanya dingin. “Nama saya Li Wei,” katanya, bahasa Indonesianya lancar dengan sedikit aksen. “Saya hanya ingin menawarkan kerja sama.”

Bimo spontan berbisik ke Ardi. “Lho, ini dosen tamu baru ya? Kok kayak agen 007.”

Ardi menutup mulutnya menahan tawa. “Kalau agen, harusnya bawa pistol, bukan koran.”

Jagat menahan ekspresi, pura-pura santai. “Kerja sama apa, Pak?”

Li Wei meletakkan korannya. “Kami tahu siapa ayahmu. Profesor Baskara. Seorang ilmuwan luar biasa. Dunia sudah kehilangan sosok penting. Tapi warisannya masih hidup—melalui kamu. Saya bisa memberikan fasilitas, dana, dan perlindungan. Jauh lebih besar dari yang bisa diberikan negara ini. Cukup katakan ya.”

Meja jadi hening. Sahabat-sahabat Jagat saling pandang, bingung dan kaget. Rani membuka mulut, “Eh, ini beneran? Kok kayak film spionase.”

Jagat menatap lurus, nada suaranya tenang. “Kalau Anda tahu siapa saya, berarti Anda juga tahu… saya tidak mudah dipaksa.”

Senyum Li Wei melebar. “Tidak ada paksaan. Hanya tawaran. Lagipula, kalau kamu menolak, banyak pihak lain yang tidak sebaik saya. Mereka akan langsung mengambil, bukan meminta.”

Sebelum percakapan makin panas, terdengar suara lain dari arah pintu kantin.

“Cukup.”

Seorang pria berseragam sipil tapi berpostur militer melangkah masuk. Wajahnya tegas, tatapannya tajam. Ia memperlihatkan kartu identitas singkat sebelum memasukkannya kembali ke saku.

“Jagat, ikut kami.”

Itu suara Kapten Raka, pimpinan Tim Angsa Emas.

Bimo berdiri refleks. “Eh, apa-apaan ini? Jagat, kamu ngapain sih, kok kayak jadi tokoh penting gini?”

Li Wei berdiri pelan, nada suaranya tetap kalem. “Oh, rupanya pemerintah sudah mengawasi. Bagus. Tapi ingat, dunia luas, dan tawaran saya tetap berlaku.”

Kapten Raka mendekat, tubuhnya berdiri di antara Jagat dan agen asing itu. “Anda berada di wilayah Republik Indonesia. Segala tawaran, intervensi, atau upaya pengaruh terhadap warga negara kami—melanggar hukum internasional. Silakan keluar, sebelum saya perintahkan penangkapan.”

Suasana kantin mendadak tegang. Banyak mahasiswa berbisik, sebagian nekat mengangkat ponsel merekam.

Li Wei tersenyum tipis, lalu meraih korannya. “Saya pamit. Sampai jumpa lagi, Jagat.”

Ia berjalan keluar dengan tenang, tapi setiap langkahnya terasa seperti ancaman terselubung.

Setelah agen itu pergi, sahabat-sahabat Jagat langsung menyerbu dengan pertanyaan.

“Gat! Siapa tadi itu?!” tanya Yudha panik.

“Eh, jangan bilang kamu beneran agen rahasia,” Ardi menambahkan dramatis.

Rani menatap tajam. “Kamu sembunyiin sesuatu dari kita, kan?”

Jagat menghela napas panjang. “Aku… nggak bisa cerita semuanya sekarang. Cukup kalian tahu, ada orang-orang yang ingin manfaatin nama Ayah. Dan aku… harus hati-hati.”

Kapten Aditya menepuk bahu Jagat. “Untuk sementara, fokuslah pada kegiatanmu. Kami yang urus sisanya.”

Sore hari, Jagat kembali ke Arka One. Celine sudah menunggunya di ruang kontrol. Hologram Nova berpendar, menampilkan grafik dan laporan.

[Nova]: “Interaksi dengan agen MSS tercatat. Pola bahasa, intonasi, dan strategi bujukan—klasik. Mereka tidak akan berhenti.”

[Celine]: “Jagat, kamu harus siap. Mereka akan terus mendekat, dengan cara semakin agresif.”

Jagat menggenggam tinjunya. “Kalau begitu, kita harus lebih dulu bersiap. Aku tidak akan biarkan orang-orang asing merusak warisan Ayah.”

Status Host: Jagat Baskara

Level: 8

Vitalitas: 130 → 145

Energi Sinkronisasi: 85%

Skill Aktif:

Nanobot Repair (Lv. 2)

Combat Instinct (Lv. 1)

Progress Armor: Iron 1.1 (75% Sinkronisasi)

Like dan comment dung buar semangat

Modul Aktif: Basic Assault

Modul Terkunci: Tank / Agility / Wing

Nova Log

Catatan: “Intervensi MSS dikategorikan ancaman strategis. Prioritas: tingkatkan pertahanan personal dan perkuat jaringan sahabat Jagat. Agen asing kemungkinan akan menyamar lebih jauh—bahkan ke lingkungan kampus.”

1
Aanirji R.
Lanjutin si jagat
TeguhVerse: makasih, ini lagi kejar 20 bab, semoga klar 4 hari
total 1 replies
Grindelwald1
Duh, jleb banget!
Dani M04 <3
Suka alur ceritanya.
Bonsai Boy
Mengejutkan sekali!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!