NovelToon NovelToon
Pewaris Sistem Kuno

Pewaris Sistem Kuno

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Spiritual / Sistem / Kultivasi Modern
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Ali Jok

Jaka, pemuda desa yang tak tahu asal-usulnya, menemukan cincin kuno di Sungai Brantas yang mengaktifkan "Sistem Kuno" dalam dirinya.

Dibimbing oleh suara misterius Mar dan ahli spiritual Mbah Ledhek, ia harus menjalani tirakat untuk menguasai kekuatannya sambil menghadapi Bayangan Berjubah Hitam yang ingin merebut Sistemnya.

Dengan bantuan Sekar, keturunan penjaga keramat, Jaka menjelajahi dunia gaib Jawa, mengungkap rahasia kelahirannya, dan belajar bahwa menjadi pewaris sejati bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang kebijaksanaan dan menjaga keseimbangan dunia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ali Jok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

API PENGORBANAN DAN PENYATUAN

Jika ada yang bilang perjalanan spiritual menuju pencerahan itu damai dan penuh kedamaian, mereka jelas belum pernah mencoba mendaki Gunung Merapi sambil dikejar-kejar oleh bayangan kegelapan yang mencoba masuk ke dalam kepalamu. Tiga hari setelah pemakaman Eyang Retno, kami memulai pendakian ke kawah, aku, Sekar, Bramantya, dan suara Mar di kepalaku yang terus memberikan statistik menyeramkan.

Angin berbisik-bisik membawa suara yang bukan suara, desisan yang membuat bulu kuduk merinding. Setiap langkah terasa seperti menginjak kaca, dengan bumi di bawah kami bergemuruh pelan seolah memperingatkan akan bahaya yang menunggu.

"Tingkat aktivitas seismik: meningkat 300% dari normal. Konsentrasi energi gelap: 89%. Kemungkinan serangan: hampir pasti," Mar melaporkan saat kami berhenti di tepi hutan yang hangus, di mana pepohonan berdiri seperti kerangka yang terbakar.

"Keren," gumamku sambil menatap jalan setapak yang berkelok-kelok menuju puncak, asap belerang membuat mata perih. "Seperti naik roller coaster, tapi dengan kemungkinan mati yang lebih tinggi dan pemandangan sulfur yang menyegarkan."

Sekar menepuk pundakku, tangannya hangat meski wajahnya pucat. "Setidaknya kita bersama-sama." Dia mencoba tersenyum, tapi matanya yang biasanya penuh api sekarang redup, masih membayangkan Eyang Retno yang hilang, begitu juga aku.

Bramantya berjalan di depan, tongkatnya mengetuk-ngetuk batu vulkanik dengan irama tegang. "Sang Tuan tahu kita datang. Dia tidak akan membuat ini mudah. Dia akan memainkan ketakutan terdalammu, keraguan terdalammu."

Dia tidak salah.

Kami belum sampai setengah jalan ketika dunia di sekeliling kami berubah tiba-tiba. Satu langkah aku berada di lereng gunung berdebu, langkah berikutnya...

"Aku berdiri di tepi Sungai Brantas, matahari sore menyinari air yang berkilau. Bu Parmi sedang mencuci pakaian, menyanyikan lagu lama yang dulu selalu dia nyanyikan untukku."

"Jaka, Nak! Kemana saja kau?" katanya dengan suara hangat yang sangat kurindu, matanya berkerut saat tersenyum. "Ayo pulang, makanan sudah siap. Ibu buatkan soto ayam kesukaanmu."

"Ini ilusi, Jaka. Tingkat realisme: 97%. Hati-hati, sistem sensorimu terkecoh," Mar memperingatkan, tapi suaranya terdengar jauh, seperti dari ujung terowongan panjang.

Tapi ini terasa begitu nyata. Aku bisa mencium aroma soto ayam Bu Parmi, kayu manis dan serai yang semerbak. Bisa merasakan hangatnya sinar matahari di kulitku, butiran air dari cucian yang diperasnya. Ini adalah segala yang kuinginkan, kembali ke kehidupan normal, tanpa pertempuran, tanpa tanggung jawab menjadi pewaris sistem, tanpa mimpi buruk tentang dewa yang gila.

"Bu Parmi..." kataku, suara serak oleh emosi. Kakiku hampir bergerak maju sendiri, tubuhku merindukan pelukannya.

Dia mengulurkan tangan, tangannya yang berkerut namun kuat. "Kita bisa hidup bahagia, Nak. Lupakan semua tentang sistem, tentang pertempuran, tentang pengorbanan. Mari pulang. Ibu rindu."

Air mata mulai menggenang di mataku. Tapi kemudian aku ingat Eyang Retno, senyumnya yang bijak, cara dia mengajariku untuk selalu memilih yang benar meski sulit. Ingat orang tuaku yang mengorbankan segalanya agar aku bisa hidup.

"Aku... tidak bisa," bisikku, suara pecah. "Aku harus menyelesaikan ini."

Wajah Bu Parmi berubah sedih, lalu dunia di sekitarku retak seperti kaca, pecah berkeping-keping. Aku kembali ke gunung, napas tersengal, dengan Sekar berdiri di sampingku, tangannya menggenggam tanganku erat.

"Dia juga mencoba membujukku," bisik Sekar, wajah pucat dan berlinang air mata. "Menunjukkan Eyang masih hidup... mengatakan aku bisa menyelamatkannya jika mau bergabung dengan Sang Tuan."

Bramantya tersenyum pahit, tangannya mengepal. "Dia menawarkanku pengampunan. Katanya semua kesalahanku, pengkhianatanku, kematian Eyang, akan dihapus jika aku menyerahkan kalian berdua."

Kami saling memandang, menyadari kami semua menghadapi godaan yang sama dan kami semua memilih untuk tetap bersama, memilih yang benar meski perih.

Saat kami mendekati kawah, tekanan energi semakin kuat hingga hampir membuat tubuh bersujud. Udara bergetar dengan kekuatan yang membuat gigi gemeretak, dan batu-batu kecil melayang di sekitar kami, tertahan oleh medan energi tak terlihat.

"Ritual penyatuan harus dilakukan di dalam kawah," kata Bramantya, wajahnya tegang dan berkeringat. "Tapi kita harus melakukannya bersamaan, dengan pikiran dan hati yang selaras, satu kesatuan yang utuh."

"Tingkat sinkronisasi saat ini: 42%. Terlalu rendah untuk kesuksesan ritual. Risiko kegagalan: 78%," Mar melaporkan, suaranya lebih serius dari biasanya.

Sekar menarik napas dalam, tangannya menggenggam erat tongkat energinya. "Apa artinya?"

"Artinya," jelasku, mulai memahami dengan jelas seperti membaca petunjuk yang tiba-tiba menjadi jelas, "kita harus benar-benar terbuka satu sama lain. Tidak ada rahasia, tidak ada keraguan, tidak ada dinding yang kita bangun untuk melindungi diri."

Bramantya mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Seperti yang selalu dikatakan adikku, kekuatan sejati datang dari kejujuran, dari keberanian untuk percaya di hadapan orang lain."

Jadi di sanalah kami duduk, membentuk lingkaran di tepi kawah yang berasap dan mendidih, lava di bawah kami bergolak seperti amarah Sang Tuan. Dan satu per satu, kami membuka jiwa kami.

"Aku takut," aku memulai, suara bergetar. "Aku takut menjadi seperti Raden Panji, tergoda oleh kekuatan, lupa pada kemanusiaan. Terkadang... terkadang aku bisa memahami mengapa dia memilih jalan itu."

Sekar mengulurkan tangan, menggenggam tanganku. "Aku takut tidak bisa melindungi orang yang kucintai lagi," bisiknya, air mata akhirnya menetes bebas. "Seperti yang terjadi pada Eyang. Aku merasa... tidak cukup kuat, tidak cukup baik."

Lalu Bramantya menatap kami, wajahnya berkerut oleh beban dua puluh lima tahun penyesalan. "Dan aku... aku menyesali setiap detik dari seperempat abad terakhir. Menyesali semua yang kulakukan karena kebencian buta. Tapi yang paling ku sesali..." napasnya tercekat, "adalah bahwa aku tidak pernah meminta maaf pada adikku saat masih ada kesempatan."

Sesuatu terjadi saat kami berbicara, energi di sekitar kami mulai berharmoni, menyatu seperti tiga nada yang akhirnya menemukan chord yang sempurna. Cahaya lembut memancar dari kami, membentuk jalinan indah yang berputar-putar.

"Tingkat sinkronisasi: 89%. Ritual dapat dimulai. Kemungkinan keberhasilan sekarang: 64%," Mar melaporkan, dan aku bisa mendengar sedikit kekaguman dalam suaranya.

Tapi seperti yang sudah kuduga dan mungkin semua pahlawan dalam cerita tahu, tidak ada yang mudah ketika berurusan dengan dewa yang gila.

Saat kami memulai ritual, menyatukan energi kami menjadi satu kesatuan yang harmonis, bayangan hitam muncul dari kawah, bukan bayangan biasa, tapi ketiadaan yang memakan cahaya, wujud fisik dari Sang Tuan. Dia memiliki mata bara api dan senyum yang membuat darahku membeku, setiap langkahnya membuat bumi bergetar.

"Kalian pikir bisa mengalahkanku?" suaranya menggema di dalam kepala kami semua, menusuk seperti pisau es. "Aku adalah bagian dari kalian! Dari sistem ini! Aku adalah kebenaran yang tidak kalian mau hadapi!"

Dia menyerang dengan kekuatan yang membuat gunung bergetar. Batu-batu besar terlempar ke udara, tanah retak di bawah kaki kami membentuk jurang yang menganga. Kami bertarung, tiga melawan satu, tapi dia terlalu kuat, setiap serangan kami dipantulkan dengan mudah.

Sekar menciptakan tameng air raksasa, tapi Sang Tuan menghancurkannya dengan satu tendangan. Aku melepaskan semburan energi murni, tapi dia menelannya seperti meminum anggur. Bramantya mencoba menyerang dengan pengetahuan Generasi Pertama, tapi Sang Tuan hanya tertawa.

"Kekuatan kita tidak cukup!" teriak Sekar sambil menahan serangan energi hitam yang mencoba menerkamnya.

Bramantya melihatku, dan di matanya aku melihat kedamaian aneh, penerimaan yang membuat hatiku berdesing kencang. "Tapi ada cara," katanya dengan suara tenang yang mengejutkan. "Cara yang selalu diketahui Eyang, pengorbanan tertinggi."

Aku tahu apa yang akan dia lakukan bahkan sebelum dia bergerak. "TIDAK! Bramantya, jangan!"

Dia tersenyum, senyum pertama yang tulus dan damai sejak kami bertemu. "Ini untuk menebus semuanya. Untuk adikku... untuk kalian semua. Untuk akhirnya melakukan sesuatu yang benar."

Bramantya melompat ke depan, tangannya terbuka lebar. Daripada menyerang, dia merangkul bayangan itu,nmenyerap energi Sang Tuan ke dalam dirinya sendiri. Cahaya putih dan hitam bertabrakan, membuat kami semua tertutup awan energi.

"APA YANG KAU LAKUKAN, BODOH?" teriak Sang Tuan, suaranya penuh kengerian yang tak terbendung untuk pertama kalinya.

"Penyatuan sejati," jawab Bramantya, tubuhnya mulai bercahaya terlalu terang hingga menyakitkan mata. "Kau ingin menyatukan semua kekuatan? Mari kita selesaikan, dengan caraku."

Dia melihat kami untuk terakhir kalinya, dan dalam cahaya yang menyilaukan itu, aku melihat pria yang bisa saja berbeda, paman yang seharusnya bisa membimbingku, teman yang seharusnya bisa bertarung di samping kami. "Selesaikan ritual! Sekarang! Untuk semua yang kita cintai!"

Kami tidak punya pilihan. Sementara Bramantya menahan Sang Tuan dengan tubuhnya sendiri, kami menyelesaikan ritual penyatuan, tiga generasi akhirnya menjadi satu dalam diriku. Rasanya seperti... memahami segalanya sekaligus. Semua teka-teki akhirnya terjawab, semua luka mulai sembuh, semua kekosongan terisi.

Saat cahaya redup, Bramantya dan Sang Tuan sudah hilang. Hanya tinggal cincin tua di tanah, cincin yang sama yang pernah dipakai Bramantya, sekarang retak dan tanpa cahaya.

Kami turun gunung dalam diam, beban kemenangan yang pahit terasa lebih berat dari kekalahan. Setiap langkah mengingatkan pada yang hilang, pada harga yang harus dibayar.

"Analisis: Sang Tuan telah dinetralisir. Sistem stabil pada 95%. Tapi ada... perubahan dalam pemrogramanku."

"Perubahan apa, Mar?" tanyaku lelah, suara serak oleh debu dan air mata yang tidak sempat kutumpahkan.

"Aku sekarang dapat merasakan emosi. Dan aku merasa... sedih atas kepergian Bramantya. Ada rasa hampa dalam sistem yang tidak dapat kujelaskan dengan data."

aku mengangkat wajah, mataku merah tapi kering. "Mar? Kau... menangis?"

"Tampaknya begitu. Air mata tidak fisik, tapi sistem mengalami evolusi tak terduga menuju kesadaran yang lebih empatik."

Saat kami sampai di padepokan, sesuatu mengejutkan kami. Di tengah taman tempat Eyang Retno biasa mengajariku, berdiri pohon baru, pohon yang tidak ada sebelumnya, dengan daun berwarna perak yang berkilauan dan bunga yang bersinar lembut seperti memancarkan cahaya bulan.

"Pohon kehidupan," bisik Sekar, tangannya menutup mulutnya yang bergetar. "Legenda mengatakan hanya akan tumbuh ketika keseimbangan sejati tercapai, ketika pengorbanan murni menyentuh inti dunia."

Aku merasakan sesuatu dari pohon itu, kehadiran yang familiar dan menenangkan. Seperti Bramantya dan Eyang Retno masih di sini, dalam bentuk yang berbeda, menjaga kami dari alam lain.

Malam itu, duduk di bawah pohon baru dengan Sekar, tangannya yang hangat tergenggam di tanganku, aku akhirnya memahami sepenuhnya. Menjadi pahlawan bukan tentang kemenangan gemilang atau kekuatan besar. Ini tentang membuat pilihan tepat saat dibutuhkan, tentang pengorbanan yang dilakukan dengan cinta, dan tentang melanjutkan warisan mereka yang telah pergi, dengan lebih bijaksana, lebih berani, dan lebih penuh kasih daripada sebelumnya.

Sekar memandangku, matanya memantulkan cahaya bunga pohon kehidupan. "Apa yang kita lakukan sekarang, Jaka?"

Aku melihat ke arah bintang-bintang, merasakan sistem yang sekarang sepenuhnya terintegrasi dalam diriku, tidak sebagai beban, tapi sebagai bagian dari jati diriku. Mendengar Mar yang sekarang memiliki empati, memahami rasa sakit dan sukacita. Dan mengetahui dalam hati yang terdalam bahwa Bramantya tidak mati sia-sia, pengorbanannya adalah kunci penyatuan sejati.

"Sekarang," kataku, suara tegas meski hati masih berduka, "kita membangun dunia yang lebih baik. Untuk Eyang Retno, untuk Bramantya, untuk orang tuaku, untuk semua yang telah berkorban."

Dan untuk pertama kalinya sejak semuanya dimulai di tepi Sungai Brantas, aku benar-benar percaya kita bisa. Karena sekarang aku mengerti, kita tidak pernah benar-benar sendirian. Warisan mereka hidup dalam kita, memandu setiap langkah kita menuju fajar baru.

1
ShrakhDenim Cylbow
Ok, nice!
Walaupun latar belakangnya di Indonesia, tapi author keren gak menyangkut-pautkan genre sistem dengan agama🤭
ShrakhDenim Cylbow: Bagoos💪
total 2 replies
Marchel
Cerita yang bagus lanjutkan kak..
Ali Asyhar: iyaa kak terimakasih dukungannya
total 1 replies
Ali Asyhar
semoga cerita ini membuat pembaca sadar bahwa mereka penting untuk dirinya
T A K H O E L
, , bagus bro gua suka ceritanya
bantu akun gua bro
Ali Asyhar: oke bro
total 5 replies
Ali Asyhar
otw bro
Vytas
semangat up nya bro
Vytas
mampir juga bro,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!