NovelToon NovelToon
Bound By Capital Chains

Bound By Capital Chains

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Obsesi / Percintaan Konglomerat
Popularitas:930
Nilai: 5
Nama Author: hellosi

Ketika takdir bisnis mengikat mereka dalam sebuah pertunangan, keduanya melihatnya sebagai transaksi sempurna, saling memanfaatkan, tanpa melibatkan hati.

Ini adalah fakta bisnis, bukan janji cinta.

​Tapi ikatan strategis itu perlahan berubah menjadi personal. Menciptakan garis tipis antara manipulasi dan ketertarikan yang tak terbantahkan.

***

​"Seharusnya kau tidak kembali," desis Aiden, suaranya lebih berbahaya daripada teriakan.

"Kau datang ke wilayah perang yang aktif. Mengapa?"

​"Aku datang untukmu, Kak."

"Aku tidak bisa membiarkan tunanganku berada dalam kekacauan emosional atau fisik sendirian." Jawab Helena, menatap langsung ke matanya.

​Tiba-tiba, Aiden menarik Helena erat ke tubuhnya.

​"Bodoh," bisik Aiden ke rambutnya, napasnya panas.

"Bodoh, keras kepala, dan bodoh."

​"Ya," bisik Helena, membiarkan dirinya ditahan.

"Aku aset yang tidak patuh."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hellosi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

Ruang rapat Aliston Corporation terasa dingin, hening, dan tegang.

Di tengah meja marmer hitam yang mengkilat, Henhard Aliston duduk di ujung, tampak tenang.

Di sisinya, Aiden duduk tegak, ekspresinya datar, seolah dia sedang mengamati pertandingan catur.

Di seberang mereka, para petinggi dan kepala divisi keuangan, wajah-wajah lama yang terbiasa dengan keuntungan instan tampak gelisah.

Di hadapan mereka tergeletak sebuah dokumen "Proposal Pinjaman Darurat" dari Nelson Corporation.

Syarat-syaratnya tercetak tebal dan tegas, suku bunga 15% (jauh di atas pasar), klausul pembayaran tiga tahun yang agresif, dan yang paling menyakitkan, Nelson menuntut hak akuisisi 51% saham dari Aliston Robotics, anak perusahaan teknologi paling menjanjikan milik Aliston.

Seorang petinggi senior, Nix, kepala keuangan yang biasanya tenang, memukul meja dengan frustrasi.

"Ini pemerasan, Tuan Aliston!" serunya, suaranya tercekat.

"Suku bunga ini konyol! Dan Aliston Robotics? Itu adalah masa depan kita! Kita tidak bisa menyerahkan aset paling berharga kita kepada mereka, apalagi kepada Nelson!"

Petinggi lain mengangguk setuju, bisikan penolakan menyebar. Mereka melihat ini sebagai penghinaan.

Henhard membiarkan kegaduhan itu mereda. Dia menyesap kopi hitamnya, matanya menatap dokumen itu sejenak, lalu beralih ke Aiden.

"Aiden," panggil Henhard.

Suaranya rendah, memotong ketegangan di ruangan itu.

"Kau sudah membaca proposal ini. Bagaimana menurutmu?"

Semua mata beralih ke Aiden.

Para petinggi menunggu sang pewaris yang dikenal sebagai sosok dingin dan rasional untuk memimpin penolakan.

Aiden tidak melihat dokumen itu, dia menatap lurus ke arah Pimpinan Divisi Keuangan.

"Setujui," jawabnya, suaranya tenang dan mantap, tanpa ragu sedikit pun.

Jawaban itu memicu kebingungan.

"Apa?! Setujui?" Nix bertanya, wajahnya merah padam.

"Tuan Muda, apakah kau tidak melihat angka-angka ini? Ini adalah kerugian finansial jangka pendek dan jangka panjang yang masif!"

Aiden kembali menatap Henhard, senyum predator tipis muncul di wajahnya, mereplikasi ekspresi ayahnya.

Henhard tertawa kecil, tawa yang tidak menunjukkan beban seberat 28% kejatuhan saham.

"Para Tuan," Henhard memulai, suaranya kini penuh wibawa.

"Kalian hanya melihat angka di permukaan. Kalian melihat kerugian hari ini."

Henhard menyandarkan diri di kursinya, matanya berkilat penuh kemenangan.

"Nelson Corporation tahu kita membutuhkan fondasi integritas mereka sekarang."

"Dan karena Fedrick adalah seorang moralis, dia mengira tuntutan ini adalah bayaran yang adil."

Henhard menggelengkan kepala.

"Jika aku adalah Fedrick, syarat yang kuajukan akan lebih tidak masuk akal, lebih menghancurkan. Suku bunga 15% dan Aliston Robotics? Itu harga yang murah untuk menyelamatkan citra kita saat ini."

Dia mengambil proposal itu, melipatnya dengan gerakan cepat.

"Fedrick Nelson baru saja memberiku tali penyelamat, dibayar dengan aset yang bisa kutarik kembali kapan saja. Pinjaman ini hanya sementara."

"Citra Nelson akan diikat pada nama Aliston selama kita membutuhkannya."

Henhard melihat ke arah Aiden.

"Aku akan setuju. Aku akan bayar bunganya. Karena di masa depan,"

Henhard menyeringai dingin.

"Apa yang mereka minta, akan aku ambil lagi, bukan hanya dengan bunga, tapi dengan seluruh kebunnya."

Aiden mengangguk pelan.

Para petinggi terdiam, baru menyadari bahwa dua Aliston itu tidak hanya setuju untuk kalah, tetapi setuju untuk memasang perangkap.

Mereka telah mengorbankan bidak kecil (Aliston Robotics). Nelson, dengan integritasnya, baru saja menjadi senjata termahal milik Henhard Aliston.

***

Dua bulan telah berlalu sejak skandal Reyhan pecah, dan Henhard telah berhasil menstabilkan Aliston Corporation, dibantu oleh perisai integritas Nelson.

Pagi itu, Aula Helios Academy dipenuhi euforia. Bendera dan pita menghiasi langit-langit, menandakan perayaan kelulusan siswa tingkat akhir.

Di antara mereka, Aiden Aliston menonjol, bukan hanya karena dia lulus dengan predikat terbaik, tetapi karena dia adalah pewaris yang menaklukkan krisis.

Helena, yang usianya masih dua tahun di bawah Aiden, berdiri di antara barisan tamu VIP, mengenakan suit dress yang elegan.

Matanya tertuju pada Aiden. Dia tahu, kelulusan ini bukan sekedar perayaan akademik, tetapi pelantikan resmi yang mengantarkan Aiden sepenuhnya ke arena kekuasaan.

​Setelah upacara singkat dan padat selesai, Aiden segera mendekati Helena, menghindari keramaian.

​"Selamat, Kak," bisik Helena, senyumnya tulus.

​Aiden mengangguk, sorot matanya tajam.

​Helena menggandeng lengan Aiden dengan gerakan yang natural dan terlatih, sebuah tontonan sempurna bagi siapa pun yang mengamati.

"Hari ini kau sangat tampan," ucap Helena memuji dengan nada asal yang mengabaikan formalitas jas mahalnya.

​Kini mereka berjalan di rooftop terdekat, jauh dari pandangan publik.

Udara segar menyambut mereka. Helena melepas gandengan Aiden, berjalan ke tepi atap, dan menatap seluruh kota yang terbentang di bawah.

​"Pada akhirnya, kalian semua meninggalkanku," pikirnya, senyumnya masih mengembang, tetapi matanya menunjukkan kesadaran pahit.

Reyhan telah pergi ke Swiss, dan sekarang Aiden akan terbang ke Boston.

​Aiden berdiri di sampingnya.

​​Saat Helena menoleh, senyum itu meninggalkan wajahnya.

"Jadi, kau akan melanjutkan pendidikanmu ke Harvard Business School."

​Aiden mengangguk.

"Aku akan mendapatkan gelar MBA dua tahun. Kau harus belajar dengan giat dan menyusulku."

​Helena tertawa renyah, tawa yang terdengar sedikit mencemooh.

​"Tidak, aku tidak akan menyusulmu," jawab Helena, matanya berkilat ambisi.

"Aku punya tujuan lain."

​Aiden menatapnya, rasa tertariknya terusik.

"Tujuan apa?"

​Helena menyandarkan diri pada pagar atap.

"London Business School"

***

Beberapa minggu setelah kelulusan, Aiden tiba di Harvard Business School (HBS) di Boston.

Dia segera tenggelam dalam program MBA dua tahunnya, kurikulum intensif yang diisi para elit ambisius dari seluruh dunia.

Tujuannya bukan belajar, melainkan menciptakan benteng dan mengumpulkan informasi.

Di asrama HBS yang mewah, Aiden ditempatkan sekamar dengan Noa Ryder.

Noa adalah pewaris Ryder Corporation, salah satu dari Lima Naga yang menguasai pasar domestik.

Secara strategis, dia adalah sekutu potensial yang sangat berharga. Namun, secara kepribadian, mereka bertolak belakang.

Aiden adalah es murni, terstruktur, dingin, dan hemat kata-kata.

Noa adalah api yang terkendali, cuek, santai, dengan selera mode yang jauh lebih edgy dibandingkan formalitas Aliston.

Aiden baru saja menata koper-koper mahalnya dengan rapi di sudut asrama HBS, ruangannya sudah terlihat seperti etalase minimalis.

Pintu terbuka dengan tendangan pelan, dan Noa Ryder melangkah masuk ke ruangan.

Dia sama tingginya dengan Aiden, tetapi alih-alih setelan formal, dia mengenakan varsity jacket yang usang dan celana kargo, kontras dengan tas duffel kulit mahal yang dia bawa.

Noa menyapu pandangannya ke ruangan, berhenti pada Aiden yang sedang menyambungkan tablet-nya ke jaringan.

"Kau pasti Aliston," komentarnya, suaranya sedikit serak.

"Ruangan ini sudah terlihat seperti ruang operasi yang steril."

"Dan kau pasti Ryder," balas Aiden kaku, tanpa menoleh.

"Bau cologne-mu terlalu kuat, dan kopermu menghalangi jalan."

Noa tertawa, tawa yang tidak meminta maaf.

"Dingin sekali. Aku tahu Aliston adalah freeze-dried ambition, tapi ini di luar ekspektasi. Santai saja, Bro. Kita sekamar selama dua tahun."

Interaksi mereka di hari-hari pertama didominasi oleh gesekan kecil yang menunjukkan betapa berbedanya mereka dalam hal kedisiplinan.

Minggu Pertama, rutinitas ketat Aiden berbenturan langsung dengan kekacauan santai Noa.

Aiden bangun pukul lima pagi untuk lari, sedangkan Noa baru tidur jam lima pagi setelah bermain video game dengan headset-nya.

Suatu malam, Aiden menemukan tumpukan bungkus makanan cepat saji di atas meja belajar Noa.

"Ryder," panggil Aiden.

"Aku tidak akan mentolerir kekacauan ini. Aturan pertama di sini, ketertiban."

Noa, yang sedang mendengarkan musik keras, hanya menurunkan headset-nya sebelah.

"Aku tidak mengganggu schedule belajarmu, Aliston. Kalau kau risih, pekerjakan saja pelayan. Ah, tunggu. Kau di Harvard, kau harus melakukannya sendiri."

"Aku tidak akan membuang waktu dengan pekerjaan remeh seperti itu," desis Aiden.

Noa tersenyum mengejek.

"Kau terobsesi dengan waktu dan efisiensi. Aku terobsesi dengan hasil. Selama kita dapat hasil A, siapa peduli dengan tumpukan bungkus mi instan?"

Meskipun saling mengkritik, ketertarikan intelektual mereka muncul saat mereka membahas studi kasus MBA, melupakan permusuhan kecil.

Mereka duduk di hadapan buku studi kasus tentang sebuah perusahaan ritel yang sedang mengalami penurunan.

Saat Aiden mulai membedah laporan keuangan dengan presisi dingin, Noa tiba-tiba memotong.

"Kau fokus pada likuiditas, Aliston. Itu kesalahan," kata Noa, menunjuk grafik dengan jarinya.

"Masalahnya bukan likuiditas. Masalahnya adalah brand. Kau tidak bisa menjual kemeja mahal kepada Gen-Z jika perusahaanmu berbau kotoran anjing. Itu masalah persepsi."

Aiden terdiam. Analisis Noa, meskipun disampaikan dengan bahasa yang ceroboh, menghantam inti masalah yang dia lewatkan.

Aiden hanya melihat angka, Noa melihat psikologi pasar dan timing.

"Persepsi," ulang Aiden, matanya sedikit menyala.

"Kau benar. Itu adalah variabel yang tidak bisa dihitung dalam neraca."

Noa menyeringai puas.

"Akhirnya, otak dinginmu mengakui ada hal lain di dunia ini selain angka. Kita berdua menginginkan penguasaan, Aliston. Hanya saja, kau menggunakan logika, dan aku menggunakan kultur."

Momen itu menjadi pemahaman tanpa kata, mereka berdua adalah predator, hanya menggunakan umpan yang berbeda.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!