Bunga yang pernah dikecewakan oleh seorang pria, akhirnya mulai membuka kembali hatinya untuk Malik yang selama setahun terus mengejar cintanya. Ia terima cinta Malik walau sebenarnya rasa itu belum ada. Namun Bunga memutuskan untuk benar-benar mencintai Malik setelah mereka berpacaran selama dua tahun, dan pria itu melamarnya. Cinta itu akhirnya hadir.
Tetapi, kecewa dan sakit hati kembali harus dirasakan oleh Bunga. Pria itu memutuskan hubungan dengannya, bahkan langsung menikahi wanita lain walaupun mereka baru putus selama sepuluh hari. Alasannyapun membuat Bunga semakin sakit dan akhirnya memikirkan, tidak ada pria yang tulus dan bertanggungjawab di dunia ini. Trauma itu menjalar di hatinya.
Apakah Bunga memang tidak diizinkan untuk bahagia? Apakah trauma ini akan selalu menghantuinya?
follow IG author : @tulisanmumu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Tak Di Sengaja
"Hari ini sepertinya OK jadi ruangan tersibuk," ujar Bunga.
"Sibuk banget, dok. Ada lima dokter kandungan rumah sakit, kelima nya full, dok," jawab salah seorang perawat ruang operasi yang sedari pagi menemani Bunga.
"Tiap tanggal cantik ini," ujar Ike, dokter anastesi. Kali ini mereka sedang beristirahat di ruang istirahat para tenaga kesehatan yang ada di ruang operasi.
"Selain check out belanjaan HARBOLNAS, jadi hari lahir juga," sambung perawat tadi yang mendapat kekehan dari Bunga dan Ike.
"Kamu sudah CO keranjang kuningnya, Ndah? Mumpung gratis ongkir," kata Bunga pada Indah, perawat tadi.
"Nggak, dok. Dompet menipis, donatur udah pergi," jawab Indah yang kembali mendapat gelak tawa dari Bunga dan Ike.
"Ciee yang baru siap putus," ejek Ike.
"Baru putus kok di ciein, dok. Udah la, dari pada di ceng cengin, saya keluar dulu aja. Nanti kalau pasien terakhir ini udah ready saya kabarin, dok." Indah yang malas jika akan di ejek akibat baru saja putus dari kekasihnya ini memutuskan untuk meninggalkan Ike dan juga Bunga di ruang istirahat.
"Kamu bilangin orang aja, Ke. Diri sendiri lupa kalau baru siap putus juga dari si Dafa," ucap Bunga. Bunga dan Ike memulai pertemanan mereka sejak bangku Sekolah Menengah Atas. Mereka berkuliah di kampus yang berbeda, dan kini bertemu kembali di tempat kerja yang sama.
"Ngapain juga pertahankan hubungan lama-lama. Bayangin aja, dari kita mau lulus SMA pacaran, sampai sekarang nggak mau diajak nikah. Alasan belum siap. KPR rumah udah lunas dari kapan tahun ini," jawab Ike yang memang Dafa, mantan kekasihnya ini juga merupakan teman sekolah mereka.
"Nggak sayang, Ke? Udah lama juga kalian pacarannya," tanya Bunga yang memang penasaran dengan akhir kisah percintaan teman seperjuangannya ini.
"Lebih sayang ke waktu yang terbuang aja, Nga. Bayangin aja sepuluh tahun lebih kita pacaran, umur juga udah lewat 30, tapi masih juga belum siap nikah. Dibilang belum mapan ekonomi, kurang mapan apalagi si Dafa, udah jadi Kapolsek dia. Teman-teman dia yang lain udah mau punya anak 3, dia nikah aja nggak siap," ujar Ike berapi-api. Dirinya sangat kesal jika mengingat tentang mantan kekasihnya itu. "Kata orang polisi udah cocok sama dokter. Ah apanya yang cocok, lihat nih, dokter spesialis tapi nggak di nikah-nikahin," sambungnya. Ia meneguk habis air dari gelas yang ia pegang guna meredakan emosinya yang sempat tercuat akibat obrolannya dengan Bunga.
"Ya berarti namanya nggak jodoh," jawab Bunga singkat, padat.
"Hmm. Kamu sendiri, nggak punya pacar?" tanya Ike balik pada Bunga.
Bunga hanya menggeleng sebagai jawabannya.
"Terakhir yang aku tahu cuma sama di kakak kelas kita, si Fadi aja. Setelah itu siapa lagi, pacar kamu?"
Memang ketika berpacaran dengan Fadi dulu banyak teman-temannya yang mengetahui. Namun Bunga malah menutupinya dari keluarganya.
"Nggak ada," jawab Bunga.
"Kok bisa?" tanya Ike.
"Apanya yang kok bisa?" tanya Bunga balik.
Ketika Ike akan bertanya lagi suara ketukan pintu mengalihkan atensi mereka. Ternyata Indah yang masuk ke dalam untuk memberi tahu jika pasien selanjutnya dan menjadi pasien terakhir itu telah siap.
"Oke, kita kesana." Bunga berjalan lebih dulu meninggalkan Ike yang masih duduk. Ia ingin segera meninggalkan Ike agar tidak perlu menjawab pertanyaan yang memang tidak ingin dirinya jawab.
Setelah lebih kurang selama satu jam Bunga melakukan operasi secar pada pasiennya, akhirnya seluruh operasi hari ini telah selesai.
"Terima kasih, semuanya," ucap Bunga ketika akan keluar dari ruangan operasi.
"Terima kasih juga, dok traktirannya," sahut para perawat yang berjaga.
Dengan tangan kanannya, Bunga membuat isyarat 'oke'.
Waktu menunjukkan pukul 8 malam ketika Bunga keluar dari rumah sakit. Cuaca malam itu sangat dingin. Rintikan kecil air hujan masih turun walau tak terlalu deras. Ia memutuskan untuk mampir ke warung bakso kecil yang letaknya di pinggir jalan.
"Nggak banyak yang berubah," ucapnya ketika baru saja turun dari mobil. Warung bakso ini merupakan langganan Bunga dulu, sejak ia masih SMA.
"Pakde," sapa Bunga pada pria tua yang sibuk membungkus pesanan milik orang lain.
"Eh si Mbak dokter. Lama banget nggak mampir ke tempat Pakde," ucap Pakde yang ternyata masih ingat dengan Bunga.
"Iya, Pakde. Aku baru pulang, kemarin lanjutin belajarnya di Singapura," jawab Bunga.
"Oalah, pantesan. Ini Mbak nya mau yang seperti biasa?" Ternyata selain mengingat wajah Bunga, Pakde ini juga masih mengingat dengan menu yang biasa dipesan oleh Bunga.
"Iya Pakde, seperti biasa, ya empat. Yang dua normal aja. Bungkus ya, Pakde."
"Sip, Mbak. Mbak tunggu aja disana," jawab Pakde sambil menunjuk ke arah kursi kosong yang ada.
Bunga berjalan menuju kursi kosong dimana sebelahnya telah duduk terlebih dulu seorang pria yang memakai kemeja hitam. Bunga tak terlalu memperhatikan pria itu maupun sekelilingnya. Terlalu malas baginya. Tanpa Bunga sadari, sedari tadi seorang pria sudah memperhatikannya, bahkan ketika Bunga baru saja keluar dari mobilnya.
Sedikit ragu, namun baginya ini adalah kesempatan yang tak ingin ia lewatkan. Pria itu berjalan pelan namun pasti, mendatangi Bunga yang kini sedang duduk sambil memainkan ponselnya.
"Flo..."
Jari-jari Bunga yang sebelumnya sedang menggulir layar ponselnya terhenti. Ia mengenal suara itu, dan ia tahu dengan panggilan itu.
"Flo..." Suara itu, memanggilnya dengan nada yang lembut, seperti biasanya.
"Flo..." Setelah tiga kali panggilan itu ia dengar, barulah Bunga mengangkat kepalanya ke atas, melihat wajah orang yang sedari tadi memanggilnya dengan sebutan yang berbeda. Hanya satu orang yang memanggilnya dengan sebutan 'flo', seorang pria yang dulu selalu menemaninya. Orang pertama dalam urutan tidak ingin ia jumpai lagi, dan kini orang tersebut sedang berdiri di depannya.
Bunga tak terkejut, wajah yang ia tampilkan adalah wajah datar untuk menutupi gemuruh hatinya kini.
"Bisa kita bicara sebentar," pinta pria itu.
"Maaf, saya tidak punya waktu!” jawab Bunga datar.
"Sebentar saja," ucap pria itu lagi dengan nada penuh permohonan.
"Tidak bisa!” Kembali Bunga menolak.
"Flo..."
"Maaf permisi." Pria berkemeja hitam yang sejak tadi duduk di samping Bunga meminta izin untuk menggeser sedikit bangku kayu yang mereka tempati agar bisa keluar.
"Ya silahkan." Bunga mempersilahkan pria itu untuk keluar.
"Sudah siap, Mbak. Lho ternyata benar, ini Mas yang dulu sering kesini bareng si Mbak. Saya tadi agak ragu-ragu gitu. Makin dewasa makin ganteng sekarang." Pakde datang membawa dua kantong kresek bakso pesanan Bunga dan sepertinya juga punya Fadi. Ya, pria itu adalah Fadi, pacar pertama Bunga.
"Ini Pakde." Fadi mengeluarkan tiga lembar uang berwarna biru untuk membayar pesanan miliknya dan juga milik Bunga.
"Kebanyakan ini, Mas," ucap Pakde sewaktu menerima uang itu.
"Nggak apa-apa, Pakde. Sekalian punya Mbak ini," jawab Fadi sambil menunjuk Bunga yang tengah mengambil uang dalam dompetnya.
"Nggak perlu bayarin punya saya. Saya bisa bayar sendiri." Bunga menolak dan memberikan Pakde selembar uang berwarna merah.
"Lho ini apalagi, Mbak." Pakde tentu saja menolak uang pemberian Bunga.
"Saya tidak mau berhutang dengan orang yang di samping Pakde itu," ucap Bunga tanpa mau melihat ke arah Fadi yang sedang berdiri di samping Pakde. "Sisanya untuk Pakde aja," sambungnya. Ia segera pergi meninggalkan kedua pria itu.
"Lho Mbak."
"Saya juga, Pakde," ucap Fadi. "Itu untuk Pakde aja."
"Lho Mas, Mbak..."
Fadi berlari mengejar Bunga yang kini sudah lebih dulu sampai di mobil dan mulai membuka pintunya.
"Flo, please sebentar saja." Fadi langsung menahan pintu mobil Bunga.
"Saya tidak punya waktu!” jawab Bunga tanpa mau melihat ke arah Fadi.
"Sebentar saja," pinta Fadi.
"Saya—“ Belum selesai Bunga berbicara, terdengar suara gadis kecil dan Fadi menoleh ke sumber suara.
"Papa..." Posisi mobil Fadi terparkir di tempat yang cukup gelap sehingga Bunga tidak bisa melihat dengan jelas wajah pemilik suara itu.
"Awas tanganmu dari pintu mobilku. Sata mau pulang. Keluargamu sudah menantimu!" Bunga menghempaskan tangan Fadi. Ia kemudian masuk dan mengunci pintu dari dalam. Fadi terus menggedor kaca, dan meminta Bunga untuk membukanya. Bunga tak peduli, setelah mobil menyala Bunga segera meninggalkan lokasi itu.
Fadi menatap mobil Bunga yang sudah pergi menjauh dengan perasaan yang sedih. Ia berjanji, lain kali ia harus bisa berbicara dengan benar dan baik dengan Bunga.
****
Double up nih 🤭
Like nya jangan sampai lupa ya 🫶🏻🫶🏻
Semoga masih ada harapan Bunga kembali ke Fadi
Mama nya Jelita hamil dengan orang lain dan Fadi yg menikahi nya
Jelita bertemu dengan tante Bunga di IGD & Bunga tidak menyangka kalau papa Jelita adalah Fadi sang mantan.
2 mantan berada di IGD semua dengan kondisi yang berbeda