NovelToon NovelToon
Cat Man

Cat Man

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Cintapertama / Sistem / Romansa
Popularitas:792
Nilai: 5
Nama Author: juyuya

Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.

haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hilang tiba-tiba

Shavira duduk di atas bebatuan besar, tak jauh dari bibir pantai. Deru ombak menghantam karang, memecah jadi buih putih yang terbawa angin. Semilirnya menyapu wajahnya hingga hijabnya berantakan, tapi ia tak peduli. Ia memejamkan mata, mencoba mengosongkan pikiran, menelan ketenangan yang diberikan alam sore itu.

Di sampingnya, Sam duduk tenang. Tatapannya lurus ke arah lautan, dalam dan tak terbaca. Seperti ombak yang terus berulang tanpa henti.

“Sam…” suara Shavira lirih memecah keheningan.

“Hm?” Sam menoleh sedikit, hanya sekadar mengalihkan atensi.

“Lo… punya keluarga?” tanya Shavira pelan, ragu.

Sam terdiam beberapa detik. Bibirnya tertarik tipis, seolah menahan sesuatu. Kemudian ia mengangguk pelan.

“Iya.”

Shavira menelan ludah, lalu memberanikan diri bertanya lagi “Terus… mereka di mana?”

Sam menarik napas, sorot matanya sedikit sayu.

“Ibuku… sudah tidak ada di sini.”

Shavira tercekat. Rasa bersalah langsung menyeruak.

“Sorry… gue nggak tau soal itu.”

Sam hanya tersenyum tipis, kembali menatap laut seakan tak ingin membahas lebih jauh.

“kamu nggak takut mati?” tanyanya tiba-tiba, datar tapi menusuk.

Pertanyaan itu membuat Shavira menoleh. Ia sempat terdiam, sebelum akhirnya menjawab lirih.

“Takut. Siapa sih yang nggak? Cuman… lo sendiri bilang, ini takdir gue. Mau sekeras apa pun gue berjuang, kalau waktunya datang… ya, gue nggak bisa lari.”

Ia menunduk, jemarinya saling meremas.

“Dulu gue nggak bisa nerima itu, Sam. Tapi sekarang… gue rasa, nggak ada salahnya gue belajar ikhlas.”

Sam melirik sekilas. Ada sesuatu di sorot matanya entah iba, entah kagum, tapi ia tak mengucapkan sepatah kata pun.

“Eh btw…” Shavira tiba-tiba ingat, lalu mengerutkan kening “Sem mana? Dua hari ini gue nggak liat dia.”

“Sem?” Sam mengulang.

Shavira mengangguk cepat.

“Iya, biasanya tiap lo ada… dia juga nongol. Tapi udah dua hari ini, nggak kelihatan.”

Sam menatap laut sejenak, lalu akhirnya menjawab datar,

“Dia mungkin… lagi balik ke dunianya sebentar.”

Shavira mengernyit.

“Dunianya? Maksud lo…?”

Sam menoleh, matanya menatap Shavira tajam, lekat.

“Sem… udah mati, Vira. Dia roh. Hanya saja, Sem punya dua dunia. Kadang dia bisa ada di dekatmu… tapi tidak bisa lama. Dunia roh akan selalu memanggilnya pulang.”

Shavira terdiam. Rasa getir bercampur kagum mengalir di dadanya. Ia menatap Sam, bibirnya sedikit mengulas senyum pahit.

“Hidup bareng malaikat maut ternyata… bikin gue makin banyak tau.”

Tak lama kemudian, Shavira menunjuk ke depan dengan wajah berbinar.

“Sam! Liat, sunset-nya cakep banget!”

Langit jingga keemasan memantul di permukaan laut. Shavira buru-buru mengeluarkan ponselnya, memotret pemandangan itu dengan semangat. Senyum lebarnya merekah, seperti anak kecil menemukan mainan baru.

“Indah banget…” gumamnya, lalu spontan mengarahkan kamera ke Sam. Ia menunggu layar ponselnya menampilkan wajah lelaki itu. Tapi… kosong.

Shavira tertegun. Bibirnya merengut kecewa.

“Lo… nggak bisa difoto?”

Sam menggeleng pelan, senyumnya tipis.

“Aku makhluk tak kasat mata, Vira. Kamera nggak bisa menangkap keberadaanku.”

Shavira mendesah, lalu menatap Sam langsung, kali ini tanpa perantara kamera.

“Yaudah, kalo gitu… gue simpan lo di sini aja.” Telunjuknya menyentuh dadanya sendiri, tepat di atas jantung.

Sam menoleh, menatap Shavira dalam-dalam. Untuk pertama kalinya, wajahnya yang dingin itu melembut, seolah tersentuh. Namun ia hanya diam, membiarkan suara ombak menutupi gejolak kecil yang muncul di dadanya.

.

.

.

___🍂🍃

Malam perlahan menelan langit pantai. Shavira melangkah keluar dari musolla kecil, Tatapannya berputar ke segala arah, mencari sosok yang sedari tadi memenuhi pikirannya. Namun, lelaki itu tak tampak di mana pun.

Langkahnya gontai menapaki jalan setapak, bahkan sempat menyusuri bibir pantai yang diterangi lampu-lampu temaram dari kafe kecil di sekitar situ. Tetap nihil. Akhirnya ia menyerah, lalu memilih duduk di sebuah pondok bambu sederhana yang menghadap langsung ke laut.

Lampu hias berwarna kekuningan menggantung di sudut pondok, menciptakan cahaya remang yang justru membuat suasana semakin sepi. Shavira merogoh tas kecilnya, membuka ponsel. Beberapa pesan masuk dari teman kantor, sahabatnya, juga bibinya. Dengan wajah datar ia membaca sekilas, lalu menutupnya kembali.

Ia merapatkan tubuh, merangkul kedua lutut, dagunya bertumpu di sana. Angin laut malam itu menusuk, membawa hawa dingin yang merayap hingga tulang. Sudah hampir dua jam ia menunggu, tapi Sam tak juga muncul. Rasa kecewa itu menumpuk diam-diam, bercampur rasa kehilangan yang tidak ingin ia akui.

Akhirnya, ia berdiri. Memesan taksi online, lalu menunggu di tepi jalan. Tak lama, mobil kuning berhenti di hadapannya. Shavira masuk tanpa banyak bicara. Sepanjang perjalanan, hanya suara radio yang menemani, sesekali sopir mengajaknya ngobrol basa-basi yang ia jawab seadanya.

Mobil berhenti di depan kontrakannya. Setelah membayar, Shavira turun, membuka pintu rumah. Seketika rasa hampa itu menyergap. Biasanya, Sem si kucing hitam sudah berlari menyambutnya. Kini, tak ada suara, tak ada gerakan kecil yang menandakan keberadaan makhluk itu. Rumah terasa asing, sunyi, seolah menolak kedatangannya.

Ia melangkah ke dapur, membuka kulkas, mengambil air jeruk dingin dan menuangkannya ke gelas kaca. Sambil duduk di kursi makan, ia meneguk perlahan. Namun belum sempat menghabiskan, ponselnya bergetar keras.

Tring! Tring! Tring!

Tiga pesan masuk berturut-turut. Dengan malas, Shavira merogoh sling bag hitamnya. Nama pengirim terpampang jelas Bi Mira.

📩

Bi Mira: Shavira! Kenapa kamu gak jawab telepon bibi?

Bi Mira: Paman kamu masuk rumah sakit!

Bi Mira: Bibi butuh uang buat tebus obat paman kamu, tolong kirim 2 juta segera!!!

Shavira mendengus kesal, lalu melempar ponsel ke atas meja dengan kasar. "Gak tau diri!" geramnya, suaranya menggema di ruang makan yang kosong.

Tanpa melanjutkan minumannya, ia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Air mengalir deras, membasuh penat sekaligus amarah yang ia simpan. Setelah selesai, Shavira menuju kamar, mengambil sajadah.

Isya kali ini ia kerjakan dengan lebih khusyuk. Suaranya bergetar dalam doa, panjang dan lirih, seolah seluruh isi hatinya ia curahkan pada Tuhan malam itu.

Setelah sholat, Shavira melangkah ke dapur. Perutnya terasa keroncongan. Ia membuka kulkas, mengambil satu butir telur dan beberapa sayur segar. “Buat salad aja deh… biar gampang,” gumamnya.

Tak lama kemudian, semangkuk salad sederhana sudah tersaji. Ia membawanya ke ruang tamu, meletakkan mangkuk di atas meja lalu menjatuhkan tubuh di sofa. Dengan remote, ia mencari serial yang pas menemaninya malam itu.

Suasana kontrakan sunyi. Hanya suara televisi yang bergema, berpadu dengan dentingan sendok garpu saat Shavira mulai menyantap makanannya. Dalam sepi, hanya ada dirinya dan pikirannya yang berusaha ia alihkan dengan layar kaca.

---🍃🍂---

Pagi datang dengan terburu-buru. Shavira berlari sekuat tenaga, wajahnya panik, napasnya memburu. Bus yang ditunggunya baru saja meninggalkan halte.

“Ya… yah! Pak! Tunggu saya!!” teriaknya serak, melambaikan tangan.

Namun bus itu terus melaju, tak menghiraukannya. Shavira memperlambat langkah, tubuhnya lunglai. Ia berhenti di trotoar, tangan kanannya bertumpu pada tiang lampu, napasnya semakin berat.

“Ah…” desisnya lirih. Rasa nyeri itu lagi, menusuk dadanya, menjalar ke seluruh tubuh. Pandangannya kabur, dunia terasa bergoyang. Ia mencoba mencari bangku untuk duduk, namun belum sempat melangkah, tubuhnya ambruk ke trotoar.

Tangannya menekan dada, wajahnya menegang menahan sakit yang tak tertahankan. Sesaknya makin parah, seperti ada tali yang mencekik dari dalam.

“Sa—m… tolong…” suaranya nyaris hilang.

“Vira!!” Suara perempuan panik terdengar. Derap kaki tergesa menghampiri.

Namun Shavira tak lagi sanggup membuka mata. Kelopak matanya menutup rapat, tubuhnya terkulai.

“Ya Allah, lo kenapa?! Vira!” Nadia sudah berlutut di sisinya, tangannya gemetar menepuk-nepuk pipi sahabatnya.

“Pak! Tolong! Teman saya pingsan! Bantu saya bawa ke mobil, cepat!” teriak Nadia dengan suara parau.

Beberapa orang lewat segera mendekat, ikut membantu mengangkat tubuh Shavira. Sementara Nadia tak berhenti memanggil namanya, suaranya pecah oleh tangis dan ketakutan.

1
Ceyra Heelshire
what the hell
Maki Umezaki
Terima kasih penulis, masterpiece!
Tae Kook
Perasaan campur aduk. 🤯
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!