Bagaimana caranya Hanum si preman pasar yang bar- bar seketika menjadi anggun saat dia harus menikah dengan anak majikannya.
"Ada uang Abang kucinta. Gak ada uang Abang kusita."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Galak- galak
Arya berdiri di dekat pembatas balkon dimana dia bisa melihat beberapa pelayan yang tengah beristirahat di gazebo di belakang rumahnya.
Matanya memindai satu persatu yang ada disana. Rata-rata usia pembantu di rumahnya dari 20 hingga 40 tahun, begitu pun para penjaga yang menjaga gerbang juga pengawal yang Ningsih pekerjakan semuanya memiliki usia yang masih terhitung muda.
Arya mengernyit saat melihat Hanum keluar dari perkumpulan pelayan yang tengah beristirahat setelah saharian penuh bekerja. Gadis itu berjalan ringan dengan sepotong gorengan yang dia masukan ke mulutnya.
Arya terdiam dengan tatapan datar, namun pikirannya tak lepas dari ingatan saat Hanum memeluknya, dia bahkan merasa tenang saat tangan Hanum menepuk punggungnya.
Ada apa dengannya, kenapa hatinya tiba-tiba terusik dengan gadis bernama Hanum ini. Padahal Hanum sama seperti gadis lainnya. Mendekatinya karena uang.
Arya merasa saat Hanum memeluknya ada perasaan kosong yang tiba-tiba terisi, tapi entah apa. Dia hanya bisa tertegun lalu diam karena merasa nyaman. Dia yang biasanya benci di sentuh bahkan jika itu tak sengaja, hanya diam saat gadis itu memeluknya. Bukankah harusnya dia membuang pakaiannya dan mandi dengan bersih, tapi setelahnya dia justru terlelap. Bahkan tanpa mimpi yang biasanya menghantui.
Setelah beberapa saat merenung Arya melangkah keluar kamar, menyusuri lorong lalu menuruni tangga. Butuh beberapa menit untuk mencapai tujuannya saat ini saking luasnya tempat tinggalnya. Hingga dia menghentikan langkahnya saat mendengar suara seseorang berbicara.
"Iya, deh, lo yang paling ganteng, paling baik—"
....
Hanum melangkah masuk ke rumah setelah beristirahat sejenak bersama teman-temannya di gazebo. Gorengan segigit lagi dia masukan ke dalam mulutnya lalu tangannya dia gunakan untuk meraih ponsel di saku apron yang dia gunakan.
"Lupa gue belum telepon Jono. Saking sibuknya gue bahkan lupa buat minta Emak Jono jaga bapaknya besok." Hanum segera menekan nama Jono dan menunggu beberapa saat hingga Jono menerima panggilannya.
"Jon, dimana lo?" tanyanya saat Jono menerima panggilannya
"Sape, nih?" terdengar suara Jono sedikit menggeram.
Hanum berdecak. "Gue Hanum." Hanum tebak Jono bahkan tidak melihat siapa yang menelponnya dan langsung menerimanya saja.
"Sialan lo, nelpon malem- malem begini, kagak tahu ape orang waktunya tidur."
"Alah, biasanya juga belum tidur jam segini, Jon." Hanum melangkah ke arah sebuah kursi lalu duduk disana.
"Hari ini gue lagi mager. Ada apa lo nelpon malem- malem?"
"Gue mau minta tolong, Jon."
Kali ini Jono yang berdecak. "Terakhir kali gue nolongin lo, gue di tangkep polisi. Dan itu masih anget di kepala gue."
Hanum terkekeh mengingat kejadian kemarin. "Tapi kan gak sampe sahari udah bebas, Jon. Dapet duit lagi."
"Bentar, Num ...." Terdengar suara gerasak-gerusuk sepertinya Jono bangun dari baringannya, lalu kembali bicara, "Siapa yang kemaren, Num? Bisa banget bebasin kita gak lebih dari satu jam di kantor polisi?"
"Nanti deh gue jelasin kalau kita ketemu."
"Halah, jangan bilang itu Daddy lo, Num?“ Tidak mungkin juga dia jelaskan siapa Lukman pada Jono, terlebih sekarang saat dia berada di rumah ini.
"Heh, kamprett! Gue gak senakal itu!"
Jono terkekeh. "Oke deh, gue percaya," ucapnya dengan nada mengejek, dan itu artinya Jono tidak percaya. " Terus sekarang apa?"
Hanum menghela nafasnya. "Jon, gue kan lagi kerja. Gak bisa tiap hari jagain Bapak. Kalau gue minta Emak lo jagain Bapak gue, mau kagak, ya?"
"Bisa aja, tapi kalau malem Emak pasti gak bisa."
"Kalau malem lo yang jaga. Tenang, gue kasih duit lah buat makan."
"Gue kagak mikirin itu, Num. Kalau bisa ya gue bantu."
Hanum terkekeh. "Iya, deh, lo yang paling ganteng, paling baik dan tulus sama gue—" ucapan Hanum terhenti saat seseorang berdiri di depannya dan menatapnya tajam.
"Jon, udah dulu, ya. Ntar gue telepon lagi," bisik Hanum dengan mematikan teleponnya, dia bahkan tak menunggu jawaban Jono lebih dulu.
"Ada apa ya, Tuan?" Hanum memasukan teleponnya kembali ke dalam saku, lalu berdiri menatap Arya yang tiba-tiba ada di depannya.
"Kamu, sudah aku peringatkan kalau jangan memiliki hubungan dengan pria lain selama kontrak kita berlangsung!"
Hanum mengernyit saat Arya menatapnya tajam. "Saya, gak punya pria lain, Tuan." Pria lain yang Arya maksud adalah pacar bukan? Boro- boro pacar, Hanum bahkan hanya punya Jono teman pria yang seusianya, sisanya para pedagang pasar yang kebanyakan seusia Bapaknya. Mereka boleh di sebut teman, kan?
"Lalu apa maksud kamu dengan memuji pria lain barusan?"
"Barusan? Maksudnya Jono?" gumam Hanum. "Oh, saya barusan nelpon sama temen saya, Tuan. Lagian saya beneran gak punya pacar." Hanum tersenyum. Kenapa dia seperti sedang menjelaskan kepada pacarnya. Apa urusannya dengan Arya.
Arya berdecak. "Aku gak peduli. Tapi, perkataanku sudah jelas kan. Kalau tidak ada yang tahu tentang kesepakatan kita. Jadi hati- hati kalau kamu bicara. Apalagi di rumah ini." Arya hendak pergi, namun suara Hanum kembali terdengar.
"Tuan gak mau bilang sesuatu sama saya?" Arya kembali menoleh dan menatap Hanum. "Siapa tahu Tuan mau ngomong?"
"Jangan karena kamu bisa menenangkan saya sekali, kamu merasa hebat ya, Hanum."
Hanum terkekeh. "Saya kan gak bilang ini tentang yang tadi siang itu, Tuan."
"Kamu!" Arya menunjuk wajah Hanum.
"Hati-hati, Tuan. Jangan galak- galak, nanti jatuh cinta lagi sama saya." Wajah Arya memerah, lalu segera pergi meninggalkan Hanum yang tertawa kecil.
Setelah memastikan Arya menjauh Hanum pergi ke arah kamarnya dengan menggerutu. "Kalau bukan mau bilang makasih, emang mau apa malem- malem kesini?" Hanum melihat sekitarnya, jelas ini kawasan kamar pekerja. Tiba-tiba Hanum merasa percaya diri.
"Gue mau tahu gimana kalau si Tuan muda yang jatuh cinta sama gue?" Hanum tertawa sambil menutup pintu kamarnya. "Pasti ketampar tuh muka si Nyonya. Lebih bagus kalau Si Tuan muda tergila-gila dan ngejar gue. 'Saya harap kamu bisa menempatkan diri kamu'. Cih!" Hanum bahkan memperagakan suara Ningsih, lalu kembali tertawa.
"Tapi, ya, gak mungkin lah orang kaya seperti si Tuan muda jatuh cinta sama gue." Kalau pun iya, Hanum akan menolak.
Hanum menaiki ranjang tanpa membersihkan diri untuk segera tidur. Besok saja dia mandi sebelum menghadap si Tuan muda.
Doble Up kalau boleh kak