NovelToon NovelToon
Di Atas Sajadah Merah

Di Atas Sajadah Merah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Maya Melinda Damayanty

Arunika adalah seorang wanita yang memendam cinta dalam diam, membangun istana harapan di atas sajadah merah yang pernah diberikan oleh Raka, pria yang diam-diam memikat hatinya. Setiap sujud dan lantunan doa Arunika selalu tertuju pada Raka, berharap sebuah takdir indah akan menyatukan mereka. Namun, kenyataan menghantamnya bagai palu godam ketika ia mengetahui bahwa Raka telah bertunangan, dan tak lama kemudian, resmi menikah dengan wanita lain, Sandria. Arunika pun dipaksa mengubah 90 derajat arah doa dan harapannya, berusaha keras mengubur perasaan demi menjaga sebuah ikatan suci yang bukan miliknya.
Ketika Arunika tengah berjuang menyembuhkan hatinya, Raka justru muncul kembali. Pria itu terang-terangan mengakui ketidakbahagiaannya dalam pernikahan dan tak henti-hentinya menguntit Arunika, seolah meyakini bahwa sajadah merah yang masih disimpan Arunika adalah bukti perasaannya tak pernah berubah. Arunika dihadapkan pada dilema moral yang hebat: apakah ia akan menyerah pada godaan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 – Media Gisela

Pagi ini, hari keduanya ia kembali kuliah, Purnomo sekali lagi mengantarkannya hingga depan lobi utama.

“Ayah, motor tua Ayah kan nggak kepake lagi tuh. Biar aku aja yang pake buat ngampus!” ujar Arunika pelan.

Purnomo hanya diam. Arunika tak berani menambahkan kata apa pun. Ia takut ayahnya malah marah.

Begitu ia turun dari mobil, terdengar teriakan ceria.

“Arunika!”

Arunika menoleh dan tersenyum melihat Medi melambai.

“Selamat pagi, Nik. Apa kabar?” tanyanya riang.

“Alhamdulillah, baik. Kamu?”

“Aku juga baik!” jawab Medi, lalu tanpa ragu mengait lengan Arunika. Mereka berjalan bersama menuju kelas.

Arunika membiarkan Medi bermanja padanya. Gadis itu sudah sempat bercerita sekilas tentang kakak laki-lakinya yang telah tiada, dan entah kenapa Arunika bisa merasakan beban itu masih tersisa.

“Kamu belum sepenuhnya ikhlas ya?” tanya Arunika hati-hati.

Medi menoleh sekilas, lalu menarik kursi di barisan paling depan. “Biar fokus!” katanya sambil duduk.

Ia tersenyum samar, tapi sorot matanya tak bisa berbohong.

“Kadang iya, kadang nggak. Rasanya… masih ada yang belum selesai.”

Arunika menatapnya lembut. “Kamu belum maafin dirimu sendiri, Medi.”

Medi menghela napas panjang. “Bisa jadi. Aku sibuk dengan yang lain… sementara Kak Irwan menahan rasa sakitnya sendiri.” Tatapannya kosong, seolah menembus jauh ke masa lalu.

“Med…” Arunika menyentuh tangannya pelan.

Medi justru tersenyum, menepuk balik tangan Arunika, seakan bergantian menenangkan.

“Insyaallah, aku sudah ikhlas. Kak Irwan udah nggak sakit-sakit lagi sekarang.”

Arunika ikut menghela napas lega, meski ia tahu luka itu tak akan pernah hilang sepenuhnya.

Suasana kelas perlahan ramai. Rata-rata mahasiswa di ruangan itu lebih banyak perempuan dibanding laki-laki. Mereka duduk dengan tertib, menyiapkan buku catatan masing-masing.

Empat mata kuliah berturut-turut tanpa jeda istirahat benar-benar menguras tenaga. Ketika dosen terakhir keluar kelas, terdengar desahan lega dari para mahasiswa. Beberapa langsung merapikan tas, sebagian lainnya masih bercanda meski wajah mereka tampak lelah.

Arunika meregangkan lengannya, berbisik kecil, “Hhhh… ternyata jadi mahasiswa nggak gampang juga.”

Medi terkekeh, menepuk pundaknya.

“Nik, ini baru hari kedua loh. Kita masih punya ribuan hari lagi.”

Arunika hanya menatapnya dengan senyum tipis, campuran lelah dan syukur.

Arunika tetap di kelas. Cuaca siang itu terik sekali, membuatnya enggan keluar. Taman kampus cukup jauh dari ruangannya, dan ia khawatir terlambat masuk kelas jika memaksa ke sana hanya untuk sendirian.

Medi sudah keluar untuk jajan. Ruangan terasa lengang, hanya tersisa beberapa mahasiswi yang asyik memamerkan kuku palsu mereka.

Arunika membuka bekal yang dibuat ibunya. Ia makan perlahan, sendok demi sendok, seakan ingin memanjangkan waktu.

Hampir habis, tiba-tiba kursi di depannya bergerak. Seorang gadis langsung duduk dengan keras, membuat Arunika kaget setengah mati.

“Astaghfirullah!” serunya spontan.

“Eh buset! Lu kira gue setan apa, sampe di-istighfar-in gitu?” sengit gadis itu, menatap tajam.

“Dia cuma kaget, Ren,” sela temannya menenangkan.

“Lagian lu usil banget sih,” celetuk yang lain sambil tertawa kecil.

Reni mendengus, masih menatap Arunika dari ujung kepala sampai kaki.

“Nggak! Heran aja, ada juga orang yang bisa diem lama… padahal jelas-jelas nggak bisu!”

Teman-temannya segera menarik Reni pergi. “Udahlah, biarin aja. Dia kan nggak ganggu kamu!”

Arunika menunduk. Seleranya langsung hilang. Kotak bekal yang tadi hampir habis, kini tak sanggup ia lanjutkan. Ia selalu begitu: sekali terusik, semua fokusnya buyar.

Tak lama, Medi masuk sambil membawa plastik kresek. Matanya tajam menyorot ke arah pintu, ke tempat empat gadis tadi menghilang.

“Nik, mereka nggak ngapa-ngapain kan?” tanyanya penuh selidik.

“Nggak apa-apa,” jawab Arunika lembut.

Medi tidak bertanya lagi. Ia duduk di samping Arunika, lalu mengeluarkan bungkusan dari plastik. Aroma kacang, jeruk nipis, dan cabai langsung menyeruak.

“Cobain deh, enak tau!” ujarnya sambil menyuap batagor ke mulut sendiri.

Arunika menatap ragu. Ia tak terbiasa jajan sembarangan. Tapi liurnya sudah menetes hanya dengan membayangkan. Akhirnya ia mencicipi satu potong, memejamkan mata menikmati gurih pedasnya.

“Enak?” Medi terkekeh melihat ekspresi Arunika.

Arunika mengangguk cepat.

“Nah kan! Untung aku beli dua. Kalau kamu nggak suka, aku yang habisin.” Medi menuang satu bungkus penuh di hadapan Arunika.

Arunika sempat menolak, tapi Medi hanya berkata pelan, “Ibunya kamu pasti sedih kalau bekalnya nggak habis. Jadi habisin aja sama ini.”

Perlahan, bekal dan batagor itu habis juga. Medi menutup dengan memberi es cekek rasa jeruk.

Arunika meminumnya sampai tandas, lalu mereka tertawa bersama.

“Jangan takut membuka diri, Nik,” ucap Medi tiba-tiba. Suaranya lebih dalam dari biasanya.

“Kalau nanti jatuh dan terluka, bangkitlah. Dari situ kamu bisa belajar.”

Arunika terdiam. Kata-kata itu menusuk, sekaligus menguatkan. Ia mengangguk kecil, mencoba meyakinkan diri kalau sudah waktunya keluar dari bayang-bayang kesunyiannya.

Sementara itu, di tempat lain, Raka masih menyusuri lorong-lorong kampus. Keringat membasahi pelipisnya, tapi langkahnya tak kunjung berhenti.

Ia menatap setiap wajah dengan penuh harap, mencari sosok yang seperti Arunika. Tapi lagi-lagi, ia gagal menemukan.

Menghela napas panjang, Raka bersandar di dinding, menatap langit-langit seakan meminta jawaban.

Sudah banyak cara ia tempuh, tapi tak juga berhasil.

Hatinya gelisah. Ia tahu, ia tak akan tenang… sebelum benar-benar bertemu sahabat lamanya itu.

Lalu matanya menangkap kantor data mahasiswa. Raka menepuk pelan dahinya. Seakan-akan baru timbul idenya yang brilian.

"Kenapa nggak nyari aja di situ. Bilang aja saudara sepupu!" gumamnya pada diri sendiri.

Raka berjalan menuju kantor dan langsung bertanya tentang keberadaan Arunika. Tentu saja staf di sana menolak keinginan Raka.

"Gila aja nyariin ribuan mahasiswi baru!'

"Tapi namanya pendek kok. Hanya Arunika!" sahut Raka masih bersikeras.

'Nggak ada. Nama Arunika itu bisa ratusan. Kamu cari Arunika yang mana?' sahut staf itu sengit.

"Dia anak lulusan angkatan sekarang. Baru lulus tahun ini!' seru Raka dengan mimik memaksa.

"Ini data nama-nama Arunika. Kamu boleh liat hanya dalam waktu dua ....satu!" staf membuka data lalu menutupnya lagi.

"Cepet banget Pak!" protes Raka.

'Eh .. Udah .. Saya bakal dipecat kalau buka.data lama-lama!" tolak staf itu.

Raka melangkah gontai meninggalkan kantor data. Pencariannya pada Arunika benar-benar mendapat jalan buntu.

Sore menjelang, semua mata kuliah selesai. Arunika keluar kelas bersamaan dengan Medi. Tangan Medi tak lepas dari tangan Arunika.

Pembawa Medi yang tomboy sementara Arunika yang kalem. Sangat kontras dan jadi pusat perhatian. Medi melotot pada siapa saja yang melirik lalu berbisik-bisik tak jelas.

"Lu kalau nggak suka. Ngomong depan Gue sini!' serunya kesal. Arunika harus menenangkan temannya itu.

Bersambung.

Next?

1
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
raka kenapa ya?
nurry
💪💪💪💪💪
nurry
maju terus Raka terjang rintangannya, kamu pasti bisa 💪
nurry
kaya manggul beras sekarung kali ya kak othor 🤭🤭🤭
Deyuni12
Raka
kamu bisa datang d saat kamu sudah siap dalam hal apapun,buat ayah Purnomo terkesan dengan perjuangan mu
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
datanglah saat kau siap raka.
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
ayah.. 🥹🥹🥹... pasti sulit mengajarkan mandiri pada putri yang selalu ingin kau lindungi seperti dalam bola kristal, ya kan?setidaknya dirimu sudah mencoba ayah
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
memang berat, raka. tapi kalau cinta ya berjuang donk.
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
ayah, jangan rusak mental arunika dengan ke posesif an muuuu
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
kalau perhatian di rumah cukup. tak perlu cari perhatian di luar lagi
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
arunika & media cocok
Deyuni12
keren
Deyuni12
butuh perjuangan,cinta tak segampang itu,,hn
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
sedikit lagi, raka. arunika di fakultas ekonomi.
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
arunika begitu banyak mendapatkan limpahan kasih orang tuanya. sementara raka?
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
kalian pasti akan dipertemukan oleh author. sabar ya
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
UI itu besar banget. wajar kalau pakai kendaraan. seharusnya ayah jemput di fakultasnya aja
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
kenapa kemarin gak tanya raka fakultas apa?
Ni nyoman Sukarti
ceritanya bagus....jadi kangen sm ibu dan bapak😇😇🙏
Ni nyoman Sukarti
Author....semua karya novel mu sangat bagus dan berkesan, baik dari alur cerita, tema dan karakternya, mempunyai value, edukatif dan motivasi bagi pembaca. Tidak membosankan. Sukses selalu ya Thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!